Warta

Santri dan Tantangan Modernitas

Selasa, 1 November 2016 | 16:58 WIB

Santri dan Tantangan Modernitas Oleh: Arief Rifkiawan Hamzah DALAM kurun waktu dua tahun ini kaum santri di Indonesia menjadi sorotan berbagai pihak, baik akademisi, praktisi maupun masyarakat pada umumnya. Pasalnya dengan ditetapkannya hari santri nasional yang jatuh pada tanggal 22 oktober, eksistensi santri di Indonesia semakin terkuak ke permukaan. Dalam sejarahnya, santri memiliki rekam jejak yang gemilang dalam kancah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pada saat itu mereka membaur dengan berbagai elemen masyarakat untuk bersama-sama berjuang mempertahankan Tanah Air Indonesia. Mereka mempertaruhkan jiwa dan raganya untuk menghadapi tantangan besar yang berupa penjajah negeri ini. Tekad bulat santri yang begitu menggelora tersebut tidak lepas dari peran pondok pesantren tempat dirinya menimba Ilmu. Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia dan mengiringi perjalanan Indonesia pada zaman penjajahan, sehingga santri yang didefinisikan sebagai orang yang melek huruf (sastri), harus dibekali berupa pengetahuan agar melek jihad pula untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Namun di abad 21 ini, pesantren mengalami tantangan yang tidak mudah, yaitu antara mempertahankan tradisi lama dan menyeimbangkan pola pendidikan modern. Pendidikan di era modern merupakan pola pendidikan yang lebih bertransformasi menuju pendidikan yang lebih baik, lebih maju, lebih berkembang, dan lebih makmur. Sehingga di Indonesia sendiri gaya hidupnya juga banyak mengalami transformasi menuju kehidupan modern, pemikirannya lebih terbuka dibandingkan sebelumnya. Akibatnya pondok pesantren harus secara sadar merevisi visi dan misinya untuk mempersiapkan santri yang tangguh di era modern ini. Hal ini sangat berkaitan erat dengan semangat pribadi para pengasuh pondok pesantren. Bagi para pengasuh yang kurang memperhatikan kemajuan zaman, menurut Nurcholis Madjid (1997: 7) membuat produk-produk pesantren kurang siap untuk lebur dan mewarnai kehidupan modern. Sehingga para santri memiliki kamampuan-kemampuan yang terbatas di era modern ini. Oleh karenanya mereka harus bersama-sama menggali lebih dalam mengenai kehidupan modern ini agar para santri tidak terjerumus kepada pemahaman yang kolot dan bertindak rasis terhadap siapapun yang tidak sesuai dengan pendapatnya. Dengan demikian para santri harus secara optimis bergerak lebih cepat untuk bisa menjembatani tantangan modernitas ini dengan dirinya maupun pesantrennya. Maka, hal yang bisa dilakukan untuk menjembatani para santri tersebut agar bisa bergerak secara leluasa di kehidupan modern ini adalah, pertama; tetap mempelajari dan mempertahankan tradisi pesantren yang sudah mengakar di dalam dirinya. Kedua; jangan sampai menjadikan era modern ini sebagai sebuah tantangan  yang harus dimusnahkan dari muka bumi ini, tetapi harus dijadikan sebagai tantangan yang harus dihadapi dan disikapi dengan baik. Ketiga; jadikanlah era modern menjadi era untuk lebih mengembangkan diri, baik secara kognitif, afektif, maupun psikomotoriknya. Keempat;  tetap terus belajar. Maka pada tahun 2016 ini, santri perlu melakukan itu semua untuk menunjukkan eksistensinya kembali sebagaimana sejarah yang telah dilakukannya. Tantangan santri pada saat ini sangat berbeda dengan apa yang dialaminya dulu. Oleh karena itu pada saat ini santri jangan hanya berkaca kepada sejarah yang telah membesarkan namanya. Tetapi harus tetap konsisten dalam bertransformasi menjadi lebih baik dalam menetralisir kehidupan modern saat ini, agar tidak terjadi gap antara pihak-pihak yang menjalin hubungan erat dengan tradisi pesantren dan pihak-pihak yang lebih mengedepankan modernitas. Sehingga modernitas di Indonesia tidak dianggap tabu lagi oleh para santri, dan mereka bisa hidup di kalangan kaum modern lainnya.(*) *Penulis adalah koordinator IKA PMII Universitas Islam Sultan Agung Wilayah Yogyakarta dan saat ini mengajar di Universitas Terbuka Â