Warta

Ramadhan Proses Mendidik Diri

Rabu, 15 Mei 2019 | 11:40 WIB

Oleh : Akhmad Syarief Kurniawan ” HAI orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” Qs. Al Baqarah : 183. Tak terasa kini kita semua umat Islam khususnya telah sampai pada etape perjalanan yang akan membawa kita pada ke-rahmah-an, ke-maghfirah-an (ampunan), dan pembebasan Tuhan Sang Pencipta. Bulan Ramadhan 1439 H telah hadir, telah menyatu dengan ruh, denyut nadi kita. Bergumul dengan di tengah kehidupan kebangsaan yang semakin sulit dan terjepit. Misalnya banyak berita bohong (hoax), terorisme, radikalisme, merajalela narkoba, kasus-kasus korupsi yang belum kunjung tuntas, harga-harga kebutuhan pokok semakin naik, ditambah dengan situasi politik nasional menjelang Pemilu 2019 dan politik lokal di Provinsi Lampung, yakni pemilihan gubernur  2018. Namun harapannya, kita tidak terjebak dengan syahwat kepentingan sesaat, di bulan suci nan mulia ini, semuanya bisa cooling down. Antusiasme umat Islam untuk menyambut Bulan Suci Ramadhan beraneka ragam, dan memang terlihat jelas. Misalnya, dengan mempersiapkan diri dan meramaikan tempat-tempat ibadah secara bersahaja. Disetiap pojok-pojok pekon, kampung, kelurahan sering terlihat umbul-umbul atau spanduk banner yang bertuliskan Marhaban Ya Ramadhan, yang diartikan ”Selamat Datang Ramadhan”. Sejak awal puasa, umat Islam berbondong-bondong menuju tempat ibadah, terutama untuk shalat jama’ah Isya’ dan Sunnah Tarawih. Dipahami bahwa bahwa Shalat Sunnah Tarawih yang ditutup dengan Witir itu, sebagai salah satu ibadah sunnah yang utama selama bulan suci Ramadhan. Di sela Tarawih, biasanya diisi dengan ceramah agama atau juga dikenal dengan istilah  kultum (kuliah tujuh menit) sebagai upaya memanfaatkan waktu untuk memberikan siraman rohani dalam wujud menambah ilmu. Berbagai hal lainnya yang dapat ditemukan dalam puasa adalah adalah proses mendidik diri untuk menjadi mukmin sejati. Esensi Puasa Secara sederhana esensi puasa ada dua hal. Pertama, mempertajam keimanan dan kataqwaan yang diwujudkan dalam bentuk terbangun sentuhan dan hubungan erat  dengan Tuhan. Indikatornya, hati, dan nurani mampu merasakan getaran untuk menemukan diluar kita ada sesuatu yang tidak dapat kita jangkau tetapi dapat kita rasakan kehadiran, kebesaran, kearifan, kasih sayang, bimbingan dan pengawasan-Nya. Kedua, mempertajam sensitivitas sosial dalam bentuk ketajaman nurani dalam mendengar, melihat, dan menyikapi berbagai problem kemanusiaan disekitar kita. Indikatornya yang paling ringan adalah mampu berempati dengan kelompok masyarakat yang kurang beruntung seperti korban bencana alam, korban kekerasan, korban kebijakan kapitalis, dan korban ketidakadilan, baik kultural maupun struktural, (Maria Ulfa Ansor, 2007). Menurut Dr. KH. M. Quraish Shihab, M.A, dalam Membumikan Al Qur’an, 1992, puasa yang dilakukan umat Islam digaris bawahi oleh Al Qur’an sebagai ”bertujuan untuk memperoleh taqwa”. Tujuan tersebut tercapai dengan menghayati arti puasa itu sendiri. Memahami dan menghayati arti puasa memerlukan pemahaman terhadap dua (2) hal pokok menyangkut hakikat manusia dan kewajibannya di bumi ini. Pertama, manusia diciptakan oleh Tuhan dari tanah, kemudian dihembuskan kepadanya Ruh ciptaan-Nya, dan diberikan potensi untuk mengembangkan dirinya hingga mencapai satu tingkat yang menjadikannya wajar untuk menjadi khalifah (pengganti) Tuhan dalam memakmurkan bumi ini. Kedua, dalam perjalanan manusia menuju kebumi, ia (Adam) melewati ”transit” di surga, agar pengalaman yang diperolehnya disana dapat dijadikan bekal dalam menyukseskan tugas pokoknya di muka bumi ini. Pengalaman tersebut antara lain adalah persentuhannya dengan keadaan di surga itu sendiri. Disana telah tersedia segala macam kebutuhan manusia, antara lain sandang pangan serta ketentraman lahir dan batin. Kita jadikan momentum Ramadhan 1439 H ini menjadi obat mujarab bangsa Indonesia yang sedang dilanda problem sosial. Ramadhan adalah pintu perdamaiaan bagi saudara-saudara kita yang masih memendam benih-benih kebencian dan permusuhan. Ramadhan adalah cahaya pencerahan untuk seluruh umat yang masih tersesat, disesatkan dan menyesatkan diri. Karena Ramadhan adalah bulan keadilan, maka berhentilah kerakusan, bertobatlah koruptor, berkarya dan bangkitlah rakyat kecil. Melalui cahaya suci Ramadhan kita hendak berjuang untuk keadilan, mengangkat mereka yang terpinggirkan, menolong meraka yang tertindas dan membela mereka yang teraniaya. Melalui ritual puasa, kita hendak mentransendensi-kan pengalaman-pengalaman profan, imanen dan sekuler. Memberikan pencerahan sosial atas pancaran cinta kasih sayang sang pencipta. Puasa menjadi ibadah yang spesial bagi Tuhan karena sifatnya yang tersembunyi (hidden action). Allah SWT sendiri yang tahu dan akan membalasnya, puasa itu untuk-Ku dan Akulah yang akan membalasnya. Ramadhan merupakan pintu kebangkitan bagi siapapun yang masih terpuruk keimanannya, rezeki kehidupannya. Ramadhan adalah rahasia dari segala rahasia. Dibalik keutamaan, keagungannya dan kemuliannya, hanya Allah SWT yang tahu. Dengan Ramadhan mari kita semua berbagi kebahagiaan, kemesraan dan bersama-sama menuju Tuhan Yang Maha Esa, kita ciptakan pekon/kampung/kelurahan /desa Ramadhan sepanjang hayat (long life), selama jiwa kita adalah jiwa yang muthmainnah. Jiwa yang tenang, yang dipanggil Allah SWT menuju surga yang abadi. Amin. Wallahu a’lam. *) Penulis adalah Penggiat Lembaga Lajnah Taklim wa Nasyr (LTN) Nahdlatul Ulama (NU) Lampung Tengah.