KATA Assunnah secara etimologi adalah jalan, walaupun jalan tersebut tidak diridhoi. Menurut terminology, sunnah adalah sebutan untuk sebuah jalan yang diridhoi yang akan ditempuh dalam agama, sebagaimana jalan yang ditempuh oleh Rasulullah atau yang lainnya sebagai symbol dalam agama seperti sahabat nabi.
Hal tersebut sebagaimana dalam hadis “Kalian harus mengikuti sunnahku dan sunnah para al-khulafa al- rasyidin (sahabat yang mendapat petunjuk) setelahku. Secara `Urf sunnah adalah sesuatu yang dilakukan oleh yang menjadi panutan, baik orang tersebut nabi atau wali ( yang mengurus agama).
Sedangkan kata bid`ah menurut Al-syaikh zaruq dalam kitab `Udatul murid mengatakan, menurut syara` bid`ah membuat sesuatu baru dalam agama yang menyerupai bahwa sesuatu tersebut dari syara`. Padahal sesuatu tersebut bukanlah dari syara`, baik keberadaannya sebagai symbolnya atau substansinya. Hal tersebut sebagimana ditegaskan dalam hadist nabi: “Barang siapa yang membuat sesuatu yang baru dalam urusan agamaku, dan sesuatu tersebut bukan dari agamaku, maka akan ditolak.” Dan nabi juga bersabda : “ dan setiap yang baru adalah bid`ah”.
Para ulama telah menjelaskan mengenai dua hadist tersebut bahwa bid`ah bukanlah secara mutlak (general) ditetapkan dalam sesuatu yang baru. Akan tetapi dikembalikan kepada perubahan hukum dengan melihat aspek i`tikad yang bukan juga hanya sesuatu aspek ibadah semata. Karena seringkali didapatkan pokok-pokok syari`at dapat dijadikan sebagai analog ( qiyas) dari beberapa hal cabangnya.
Menurut syaikh Zaruq menjelaskan bahwa parameter bid`ah itu bisa dipertimbangkan dalam 3 hal yaitu; Pertama, dilihat dari masalah yang diperbaharui. Jika sumber syari`at dan dasar-dasarnya menjustifikasi, maka tidak termasuk bid`ah.
Namun sebaliknya jika syari`at dan dasar-dasarnya mengingkari dengan berbagai alasan, maka sesuatu tersebut batal dan sesat. Jika ada dalil yang memperbolehkannya, namun memunculkan keraguan (syubhat), dengan pertimbangan dan alasan yang sama kuat, maka yang lebih kuat diantara keduanya itulah yang dipakai.
Kedua, mempertimbangkan pedoman-pedoman para imam dan kaum salaf ( zaman dulu) yang selalu menjalankan sunnah. Barang siapa yang tidak sama alasannya dengan yang dilaksanakan oleh ulama salaf, maka tidak dianggap baik, dan siap yang sesuai dengan mereka, itulah yang dianggap benar, walaupun berbeda secara furu` (cabang) dan ushul (pokok), semuanya mengikuti dasar dan dalil.
Termasuk yang menjadi kaidah ulama salaf adalah sesuatu yang tidak boleh dikatakan bid`ah dan dicaci maki. Apa yang ditinggalkannya dengan alasan yang jelas, tidak sah (boleh), menjadi sunnah dan dipuji.
Apa yang mereka tetapkan dasarnya dan tidak dilarang mengerjakannya, menurut Imam Malik adalah bid`ah, karena mereka tidak meninggalkannya kecuali ada masalah pada mereka. Menurut Imam Syafi`i itu tidak bidah walaupun tidak dilakukan oleh ulama salaf, sebab mereka meninggalkan ada sesuatu, sebab dalam suatu waktu atau karena kerena yang lebih utama, sedang hokum yang diambil dari syari`at Allah dan sudah ditetapkannya.
Ketiga, parameter yang membedakannya berdasarkan legitimasi beberapa hukum. Hukum tersebut terinci yang terbagi menjadi 6 hukum syari`at yakni; wajib, sunnah, haram, makruh, khilaful aula ( berbeda dengan yang lebih utama) dan mubah. Maka setiap perbuatan yang mirip dengan hokum dasar, dengan alas an yang benar dan jelas serta tidak jauh dari kebenaran, maka sesuatu itu disamakan dengan ketentuan asal itu, dan jika tidak, maka ia adalah bid`ah. Parameter inilah yang yang disepakati para ulama yang sungguh-sungguh meneliti sebuah persoalan, supaya lebih dekat dengan kebenaran.
Selanjutnya syaikh zaruq menjelaskan bahwa bid`ah itu ada 3 macam;
Pertama, bid`ah sharihah ( jelas), yaitu perbuatan bid`ah yang ditetapkan tanpa dalil syara` untuk menandingi apa yang ditetapkan da;am syara`, seperti hokum wajib, sunnah dan yang lainnya. Bid`ah semacam ini dapat mematikan sunnah dan menghancurkan kebenaran. Ini adalah bid`ah yang paling jelek meskipun dilandasi oleh seribu sanad ( landasan) dari sumber pokok maupun cabangnya.
Kedua, bid`ah idhafiyah ( bid`ah yang disandarkan), yaitu perbiuatan bid`ah yang disandarkan pada sesutau yang dapat diterima dan tidak wajar untuk diperdebatkan kebenarannya, baik dalam konteks sunnahnya atau bukan bid`ahnya tanpa perbedaan sebagai yang berlaku pada pendapat ulama salaf.
Ketiga, bid`ah khilafiyah( bid`ah perbedaan), yaitu bid`ah yang didasarkan pada dua sumber yang salaing tarik menarik keduanya. Seperti masalah jam`iyyah dan dzikir berjama`ah.
Sementara imam Abdu As-Salam membagi hukum bid`ah menjadi 5 yaitu ;
Pertama bid`ah wajib seperti belajar ilmu nahwu, dan hal-hal asing dlam al qur`an dan hadist yang dapat memahami syari`at.
Kedua, bidah haram seperti madzhab qodariyyah, jabariyyah, dan mujassimah.
Ketiga, bid`ah sunnah seperti membuat pondok-pondok, madrasah-madrasah( sekolah) baru dan semua kebaikan yang tidak ada pada masa awal ( masa nabi dan sahabat).
Keempat, bid`ah makruh seperti menghiasi masjid dan menghiasi mushaf.
Kelima, bidah mubah seperti bersalaman( jabat tangan) setelah shalat asar dan subuh, memeperbesar tempat makan, minum, pakaian dan sebagainya.
Apabila kita semua telah mengetahui sesuatu yang telah disebutkan diatas, maka perbuatan seperti membuat tasbih, melafadzkan niat, tahlil ketika selametan terhadap orang meninggal dunia, dan tidak ada yang mengahalanginya, ziarah kubur dan sejenisnya, maka bukanlah semuanya itu dikategorikan bid`ah. Dan sesungguhnya apa yang dilakukan oleh orang sekarang seperti mengambil barang orang lain dipasar pada waktu malam, bermain dengan kelintingan, dan perbuatan lainnya, adalah termasuk bid`ah yang jelek. Wallahua`lam. (Sunarto; Sumber: risalah al bid`ah wa al sunnah karya KH.Hasyim Asy`ari. Penerbit subulussalam Indonesia)