SALAH satu tujuan menikah adalah memperoleh keturunan. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
تزوّجوا الودود الولود, فإنّي مكاثر بكم
“Nikahilah wanita yang penyayang dan banyak anak. Karena sesungguhnya aku bangga dengan banyaknya kalian (sebagai umatku).” (HR. an-Nasa`i, Abu Dawud dan dishahihkan syaikh al-Albani)
Cara mengetahui wanita itu subur atau tidak salah satunya adalah dengan melihat saudara-saudara perempuannya yang sudah menikah. Apakah saudara-saudaranya termasuk wanita yang subur (banyak anak) atau tidak.
Namun bagaimana jika wanita itu tidak dapat memiliki anak dikarenakan memiliki penyakit. Seperti rahimnya telah diangkat, Hbs Ag, Diabetes, Jantung dan penyakit yang lainnya?
Hukum nikah adalah sunah, sesuatu yang dilarang (diharamkan) bisa dimaafkan dalam keadaan dhorurot apalagi hal sunah. Dan tentu ancaman Nabi tersebut berlaku bagi orang yang tak mau nikah dengan niat meremehkan ajaran Nabi, dan mengecualikan orang yang tidak nikah karena udzur syar’i.
Hadist larangan tidak semuanya menjadikan hukumnya haram fiqih seluruhnya kembali ke dalam 2 hal : menarik kemaslahatan dan menolak kerusakan. Kalau kasus di atas meninggalkan nikah menjadikan dirinya rusak (seperti melakukan zina, masturbasi tiap hari) yang lebih bagus nikah, terus mempersilakan suaminya menikah lagi agar dapat memperoleh keturunan.
Kalau misalnya menikah menjadikan kerusakan, misalnya penyakitnya akan menular ke suami (seperti AIDS) maka perbanyaklah ibadah dan puasa.
Banyak tujuan Allah mensyariatkan nikah. Diantaranya untuk menjaga kelangsungan generasi manusia lebih-lebih kita sebagai umat Muhammad.
Dalam hadits yang lain Nabi menganjurkan kepada kita untuk memperbanyak keturunan karena kelak para nabi berlomba-lomba sebagai nabi yang paling banyak umatnya.
Oleh karena tujuan ini maka tidak heran jika jawaban Nabi semacam yang ditanyakan. Jawaban Nabi itu bukan merupakan larangan untuk menikahi wanita yang tidak dapat memiliki keturunan. Sebab tujuan nikah yang lain masih bisa dicapai, yakni penyaluran kebutuhan biologis.
Kembali kepada pertanyaan, dosakah jika tidak menikah dengan alasan adanya penyakit? tidak menikah boleh, bahkan ada waliyullah yang tidak menikah.
Yang tidak diperbolehkan itu jika tidak menikah karena enggan/tidak mau kepada sunnah rasul. Dalam fiqih ada qoidah yang menyatakan, “menolak mudarrat lebih diutamakan daripada mendatangkan kemaslahatan”. Jadi dalam kasus ini sikap dia yang tidak mau menikah bukan berarti tidak mau atau benci kepada sunnah rasul, tetapi lebih kepada menolak mudharrat (penyakit menular).
Pendapat yang lain adalah asal penyakit tersebut diketahui juga oleh pihak calon suami nantinya maka baginya boleh menikah dan tidak boleh bagi suami setelah pernikahan terjadi mengadakan fasakh (merusak nikah) gara-gara penyakit tersebut, hal ini sesuai dengan qoidah fiqiyah
الرضا بالشيء رضا بما يتولد منه
“Ridho atas sesuatu berarti juga ridho atas dampak yang ditimbulkannya”.
Namun bila dikhawatirkan akan membuahkan keturunan yang juga mengidap penyakit yang sama (bila memang sesuai petunjuk yang ahli di bidangnya -dokter red-) maka hukum menikahnya menjadi makruh berdasarkan keterangan yang di ambil dari :
– Asna AlMathoolib III/176 :
وَكَذَا بِالْبَرَصِ وَالْجُذَامِ غَيْرِ الْحَادِثَيْنِ لِأَنَّهُمْ يُعَيَّرُونَ بِكُلٍّ منها وَلِأَنَّ الْعَيْبَ قد يَتَعَدَّى إلَيْهَا وَإِلَى نَسْلِهَا
Hukum boleh tetapi makruh ini sesuai dengan hasil keputusan Bahtsul Masaail Nasional di Pringgarata Lombok Tengah NTB 17-20 Nopember 1997 M. Saat memutuskan masalah pernikahan bagi pengidap HIV/AIDS yang menghawatirkan berdampak pada keturunan mereka dikemudian hari. Tapi tidak ada yang lebih memberatkan bagi orang yang sakit kecuali keputusasaan.
Li Kulli Daa-in Dawaa-un setiap penyakit ada penawarnya. Dan yang jelas, bagi penderita semacam ini, hukum menikahnya memang diserahkan langsung pada yang menjalani karena antara nikah dan tidaknya hukumnya berkedudukan sama yaitu boleh. Wallahu A’lam.(Sumber : Pustaka Ilmu Sunni Salafiyah-KTB)