• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Kamis, 28 Maret 2024

Warta

Lebaran Ketupat, Tradisi dan Agama

Lebaran Ketupat, Tradisi dan Agama

Lebaran Ketupat, Tradisi, dan Agama

Oleh : Dr. Mualimin, M.Pd.I *)

HARI ini, Sabtu, 07 Syawal 1441 H bertepatan pada tanggal 30 Mei 2020 sudah memasuki hari ke tujuh syawal pasca umat islam merayakan Hari Raya Idhul Fitri.

Di sebuah perkampungan yang mayoritas bependuduk suku Jawa Desa Kotanegara kecamatan Sungkai Utara Kabupaten Lampung Utara terlihat aktivitas masyarakat yang sibuk membuat ketupat dari janur pohon kelapa masih muda. Sesekali diselingi saling bercengkarama sambil bersenda gurau, yang hakekatnya mereka mengajarkan bagaimana membuat ketupat kepada anak-anak generasi muda. Namun ada hal terpenting sebetulnya kenapa tradisi ini terus dilakukan secara turun temurun kepada generasi penerus mereka.

Dalam tradisi masyarakat Nusantara tidak lengkap kiranya melakukan Hari Raya Idhul Fitri kalau tidak membuata ketupat bersama opor atau lauk lainnya menjadi hidangan “wajib” saat hari raya Lebaran tiba.  Pada masa Kerajaan-kerajaan Hindu di Nusantara,  bahkan sebelum ada Mataram, Majapahit dan Pajajaran, ritus (ketika melakukan) penyembahan kepada Dewi Sri, diwarnai berbagai anyaman dari daun kelapa (yang masih muda) termasuk berbentuk ketupat.

Jadi, sebetulnya ketupat bukan merupakan ‘identik dan identitas’ Lebaran atau suku serta sub-suku tertentu. Melainkan, suatu hasil dan warisan leluhur; dan masih dipergunakan atau terpelihara hingga sekarang. Lalu, dalam perkembangan kemudian, sering dihubungkan dengan Idul Fitri; makanan wajib atau pun Lebaran Ketupat? Lihat Catatan Kompas, (di bawah). Bahkan menurut H.J. de Graaf dalam Malay Annal, “Ketupat merupakan simbol perayaan Hari Raya Islam pada masa pemerintahan Demak yang dipimpin Raden Patah awal abad ke-15.”

Pada masa lalu, di Jawa, Sunan Kalijaga memperkenalkan dua istilah Bakda kepada masyarakat Jawa, Bakda Lebaran dan Bakda Kupat. Bakda Lebaran dipahami dengan prosesi pelaksanaan shalat Ied satu Syawal hingga tradisi saling kunjung dan memaafkan sesama muslim. Bakda Kupat dimulai seminggu sesudah Lebaran.

Pada lebaran Idul Firi dan lebaran ketupat, masyarakat muslim Jawa umumnya membuat ketupat. Ketupat tersebut diantarkan ke kerabat terdekat dan kepada mereka yang lebih tua, sebagai simbol kebersamaan dan lambang kasih sayang. Ketupat menjadi simbol “maaf” bagi masyarakat Jawa, yaitu ketika seseorang berkunjung ke rumah kerabatnya, mereka akan disuguhkan ketupat dan diminta untuk memakannya. Apabila ketupat tersebut dimakan, secara otomatis pintu maaf telah dibuka dan segala salah serta khilaf antar keduanya terhapus.

Namun, ada makna yang terkandung dalam ketupat yang sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Muslim di Nusantara. Ada filosofi kuat, kenapa tradisi memakan ketupat saat Lebaran masih dilaksanakan sampai sekarang. Fadly Rahman, (Sejarawan Universitas Padjadjaran Bandung).

Awalnya ketupat bukan identik dengan tradisi Islam atau Lebaran. Ketupat sudah ada pada masa pra-Islam dan tersebar di wilayah hampir di Asia Tenggara dengan nama yang berbeda-beda. Selain itu, ketupat juga identik dengan tradisi animisme.

Dulu masyarakat agraria yang tersebar di Nusantara memiliki tradisi menggantung ketupat di tanduk kerbau untuk mewujudkan rasa syukur karena panen yang dihasilkan. Tak berhenti di situ, sampai sekarang juga masih ada tradisi dari masyarakat Indonesia yang melakukan tradisi yang sama dengan menggantungkan ketupat. Bedanya, mereka menggantungkan ketupat yang masih kosong di depan pintu rumah untuk menolak bala atau pengaruh negatif yang masuk.

Pengaruh Sunan Kalijaga: Pada abad ke-15 dan ke-16, Sunan Kalijaga sebagai salah satu pendakwah di Pulau Jawa menggunakan budaya untuk menyiarkan agama Islam. Ajaran Islam yang disyiarkan oleh Sunan Kalijaga terbilang berhasil karena melalui pendekatan yang banyak perhatian masyarakat. Karena ketupat identik dengan masyarakat agraria, Sunan Kalijaga mengkreasikan makanan itu sebagai kuliner yang khas dengan momen Lebaran. Cara inilah yang dianggap menarik minat masyarakat Jawa terhadap Islam.

Titik tolaknya ketika Sunan Kalijaga menyebarkan Islam di kalangan masyarakat Jawa yang saat itu masih transisi beragama Islam. Melalui langkah tersebut, banyak sejarah lisan yang berkembang, yang mengatakan bahwa Sunan Kalijaga yang kali pertama menggunakan ketupat sebagai aksesori khas Lebaran.

Tiap-tiap daerah di Nusantara memiliki penyebutan sendiri untuk makanan ini. Di masyarakat Jawa dan Sunda, biasanya mereka menyebutnya dengan nama kupat. Sementara di Melayu disebut ketupat. Masyarakat Bali juga mengenal makanan ini dengan nama tipat. Pada wilayah lain ada juga yang menyebutnya ketumpat. Rojil Nugroho, (Sejarawan Universitas Negeri Surabaya).

Ketupat memang semula diperkenalkan Sunan Kalijaga meski sebenarnya bukan tradisi Timur Tengah yang menjadi sumber datangnya Islam.Namun, dari tradisi lisan (cerita rakyat) mulai familiar saat Sunan Kalijaga dan nilai filosofinya tak ada kaitannnya dengan Islam.Sunan Kalijaga membudayakan 2 kali BAKDA, yaitu bakda Lebaran dan bakda Kupat yang dimulai seminggu sesudah Lebaran. Arti Kata Ketupat. Dalam filosofi Jawa, ketupat memiliki makna khusus. Ketupat atau KUPAT merupakan kependekan dari “Ngaku Lepat dan Laku Papat”. Ngaku lepat artinya mengakui kesalahan. Laku papat artinya empat tindakan. “Ngaku Lepat”.

Tradisi sungkeman menjadi implementasi ngaku lepat (mengakui kesalahan) bagi orang jawa. Sungkeman mengajarkan pentingnya menghormati orang tua, bersikap rendah hati, memohon keikhlasan dan ampunan dari  orang lain. “Laku Papat”. Mempunyai makna Lebaran, Luberan, Leburan, Laburan. “Lebaran”. Dimaknai sudah usai, menandakan berakhirnya waktu puasa. “Luberan”. mempunyai makna meluber atau melimpah, ajakan bersedekah untuk kaum miskin. Pengeluaran zakat fitrah. “Leburan” dimaknai sudah habis dan lebur. Maksudnya dosa dan kesalahan akan melebur habis karena setiap umat islam dituntut untuk saling memaafkan satu sama lain. Sedangkan “Laburan” Berasal dari kata labur, dengan kapur yang biasa digunakan untuk penjernih air maupun pemutih dinding. Maksudnya supaya manusia selalu menjaga kesucian lahir dan batinnya.“`

Kupat atau disebut juga Lepet secara filosofis mempunyai makna yang sangat mendalam, mengapa kupat mesti dibunkus  dengan janur. “Kupat” Janur, diambil dari bahasa Arab“` “Ja’a nur” (telah datang cahaya ). Bentuk fisik kupat yang segi empat ibarat hati manusia. Saat orang sudah mengakui kesalahannya maka hatinya seperti kupat yang dibelah, pasti isinya putih bersih, hati yang tanpa iri dan dengki. Kenapa, karena hatinya sudah dibungkus cahaya (ja’a nur).“` “Lepet” dalam bahasa Sunda yang mempunyai arti “silep kang rapet”. Mangga dipun silep ingkang rapet, mari kita kubur/tutup yang rapat. Jadi setelah ngaku lepat, meminta maaf, menutup kesalahan yang sudah dimaafkan, jangan diulang lagi, agar persaudaraan semakin erat seperti lengketnya ketan dalam lepet.

Dalam masyarakat Jawa dan Sunda percaya bahwa ketupat memiliki makna untuk mengakui kesalahan.Maknanya, ‘kulo lepat, ngaku lepat’ (Saya salah, saya mengakui kesalahan). Artinya seseorang bisa mengakui kesalahan kepada orang lain apabila mereka pernah berbuat salah.Apabila setelah mengaku salah, khilaf, dan minta maaf jadi ya harus menutup kesalahan yang sudah dimaafkan sehingga kekerabatan serta persaudaraan terjalin selalu.”

Jadi bagi masyarakat Jawa, terdapat dua kali perayaan pelaksanaan lebaran. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, lebaran ketupat ini biasanya dilakukan seminggu setelah hari raya Idul fitri, yaitu pada tanggal 8 syawal. Hal ini dilakukan dalam rangka merayakan selesainya pelaksanaan ibadah puasa 6 hari di bulan Syawal.

Puasa 6 hari di bulan Syawal yang dimulai pada hari kedua bulan Syawal akan berakhir pada tanggal 7 Syawal, sehingga makna tradisi lebaran ketupat ini adalah sebagai perayaan selesainya puasa 6 hari di bulan Syawal ini. Puasa 6 hari di bulan syawal ini merupakan ibadah sunah yang sangat dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW karena keutamaannya yang sangat besar.

Nabi Muhammad SAW bersabda: "Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh." (HR Muslim).

Sunan Kalijaga merupakan orang pertama yang memperkenalkan makna tradisi lebaran ketupat pada masyarakat Jawa. Saat itu ada dua istilah yang dikenalkan oleh Sunan Kalijaga yaitu, Bakda lebaran yang merupakan tradisi silaturahmi dan bermaaf-maafan setelah salat Idul fitri, dan Bakda Kupat yang merupakan perayaan seminggu setelahnya. Perayaan tradisi lebaran ketupat ini dilambangkan sebagai simbol kebersamaan dengan memasak ketupat dan mengantarkannya kepada sanak kerabat pada tradisi masyarakat Jawa. Berbagai macam ketupat disajikan dalam menyambut makna tradisi lebaran ketupat oleh masyarakat Jawa ini. Ada ketupat glabed yang berasal dari Tegal, ketupat babanci dari Betawi serta ketupat bawang khas Madura.

Tradisi lebaran yang dilakukan oleh masyarakat jawa ini yakni bakda lebaran dan bakda kupatan merupakan salah satu tradisi baik yang telah dilakukan sejak dahulu kala. Masyarakat jawa serasa belum lengkap merayakan Hari Raya Idul Fitri tanpa melaksanakan tradisi lebaran ketupat ini. Makna tradisi lebaran ketupat yang mengajak seorang muslim untuk menjadi pribadi yang baik dan luhur akhlaknya dan meningkatkan amalan ibadah tentunya layak untuk dilestarikan. Jangan sampai tradisi baik ini punah dan dilupakan masyarakat Jawa. Bahkan tradisi ini pula perlu diperkenalkan kepada masyarakat diluar suku Jawa, sehingga tradisi ini sebagai penciri bangsa Indonesia yang membedakan dari tradisi kupatan yang dilakukan oleh Negara lain seprti Malyasia, Thailand dan Singapure.

Selain itu, antara lebaran, lebaran kupatan, tradisi, dan agama tidaklah saling bertolak belakang. Karena tradisi ini merupakan pengejawantahan dari makna agama islam itu sendiri. Agama memerintahkan untuk menyambung silaturhami antar sesama, agama mengajarkan pentingnya saling memaafkan antar sanak saudara, agama mengajarkan agar berbakti kepada kedua orang tua.

فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلآخِرِ,مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia memuliakan tamunya, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maha hendaklah ia menyambung hubungan silaturahmi”

Bahkan Allah memerintahkan kepada kita untuk membalas setiap keburukan dan kesalahan orang lain dengan kebaikan dalam Q.S Fussilat: 34-35 dan Q.S Ali Imran 133-134.

وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا. هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ وَلَا تَسْتَوِي

“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” (QS. Fushilat: 34-35)

Memaafkan merupakan salah satu karakter orang bertakwa yang Allah janjikan balasan berupa ampunan dan surga (Q.S Ali Imran: 134).

الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِلِلْمُتَّقِينَ أُعِدَّتْ وَالْأَرْضُ السَّمَاوَاتُ عَرْضُهَا وَجَنَّةٍ رَبِّكُمْ مِنْ مَغْفِرَةٍ إِلَى عُواوَسَارِ

وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ

Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan meraih surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang bertakwa, (133) (yaitu) orang-orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan, (134) – (Q.S Ali Imran: 133-134)

*) Staf Pengajar Pendidikan Agama Islam Universitas Lampung


Editor:

Warta Terbaru