Bandar Lampung: Ā Pendidikan seks sejak dini yang tepat guna memang sangat diperlukan. Pendidikan seks di lingkungan pendidikan memiliki peran penting namun harus sesuai dengan usia peserta didik. Dalam hal ini, kurikulum pendidikan seks harus disusun sedemikian rupa oleh ahli yang bersifat multi-disiplin.
Demikian diantara hasil diskusi yang digelar oleh Lembaga Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PWNU Lampung bekerja sama dengan Perempuan Saburai dan PMII Komisariat Universitas Lampung, di Gedung 3 PWNU, Rajabasa, Bandar Lampung, Sabtu (05/10/2019).
Diskusi dengan tajuk āMasa Depan Perlindungan Seksualā, itu menghadirkan pematik diskusi yakni Dr. Siti Mahmudah, M.Ag, DosenĀ UIN Raden Intan Lampung dan Dr. Yusnani Hasyim Zoem, S.H., M.Hum., Ketua Pusat Kajian HUkum,, Perempuan, Anak dan Gender Universitas Lampung.
Dalam pembukaannya, moderator diskusi, Rudy, LL. , LL.D., menyampaikan bahwa isu perlindungan seksual sangat penting untuk dikaji karena mengalami perkembangan yang cukup signifikan. āTerlebih di Indonesia, isu perlindungan seksual sedang menjadi isu nasional karena penyusunan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang hingga saat ini belum disahkan. Kajian mengenai isu perlindungan seksual memiliki urgensi sebagai masukan terhadap RUU PKS yang sedang bergulir di lembaga pembentuk undang-undang,ā tutur ketua Lakpesdam PWNU Lampung ini.
Dr. Siti Mahmudah selaku ahli hukum keluarga menyatakan, terdapat relasi kuasa yang didominasi oleh kaum laki-laki dalam berbagai bidang. Pola patriarkhis seperti ini menempatkan perempuan hanya sebagai sub-ordinasi dari laki-laki dan akan mengakibatkan Ā ketimpangan peran.
āSehingga perempuan dianggap sebagai āhak milikā lelaki dan lelaki bebas untuk melakukan apa saja pada perempuan. Ini entunya mengakibatkan kian maraknya kekerasan seksual yang dilakukan oleh lelaki kepada perempuan, terutama bagi pasangan dalam hubungan marital,ā katanya.
Dalam konsepsi Islam sendiri, lanjut Siti Mahmujdah, muncul konsep āmubadaalahā sebagai upaya menyeimbangkan paham patriarkhi yang terlanjur mengakar di masyarakat. Meskipun demikian, terjadi pro dan kontra dalam diskursus mubadaalah itu sendiri antara ulama konservatif dengan ulama progressif.
āLepas dari perdebatan para ulama tersebut, relasi kuasa yang bersifat patriarkhis tersebut sudah seharusnya diseimbangkan sehingga perempuan tidak terus menerus mengalami kekerasan seksual,ā ujarnya dalam diskusi yang dihadiri oleh 35 peserta, terdiri dari mahasiswa, dosen, serta masyarakat sipil ini.
Di sisi lain, Dr. Yusnani menjelaskan, dalam perekspekstif gender, saat ini telah terjadi perkembangan isu kekerasan seksual. Bila dahulu di Indonesia kekerasan seksual hanya berupa pemerkosaan yang dilakukan oleh lelaki kepada perempuan, maka saat ini, kekerasan seksual menjadi lebih variatif.Ā āMisalnya pemerkosaan yang dilakukan oleh sesama jenis (lesbian dan gay), pemerkosaan yang dilakukan oleh 2 orang (threesome) atau lebih, atau pemerkosaan yang dilakukan oleh perempuan kepada lelaki. Perkembangan praktik kekerasan seksual tersebut harus sangat diperhatikan oleh pembentuk undang-undang agar RUU-PKS bias benar-benar mereduksi kekerasan seksual yang terjadi,ā ungkapnya.
Moderator menambahkan bahwa naskah RUU PKS yang saat ini sudah ada, tidak memisahkan gender sehingga memungkinkan terjadinya bias pelaku kekerasan seksual, yang disisi yang lain sebetulnya berusaha mengakomodir perkembangan praktik kekerasan seksual sebagaimana disampaikan oleh narasumber.
Dalam sesi diskusi terdapat beberapa masukan dari peserta, diantaranya mengenai pentingnya pendidikan seks sejak dini yang tepat guna. Pendidikan seks di lingkungan pendidikan memiliki peran penting namun harus sesuai dengan usia peserta didik. Dalam hal ini, kurikulum pendidikan seks harus disusun sedemikian rupa oleh ahli yang bersifat multi-disiplin. (Rudy Wijaya)
Ā