Kemunafikan Terhadap Allah
Oleh: Ust. Suparman Abdul Karim (Ketua LDNU Lampung)
PUASA adalah ibadah rahasia, sampai-sampai pahalanya pun dirahasiakan oleh Allah Ta’ala. Siapapun dapat mengaku berpuasa, tetapi hanya Allah Ta’ala yang mengetahui apakah ia benar-benar berpuasa.
Orang yang tidak berpuasa dapat saja mengaku berpuasa. Ketika keluar rumah ia berpura-pura lemas, lelah dan letih. Atau terkadang lebih banyak diam dan sedikit sering meludah. Namun ketika di rumah ia malah makan kanyang dan tidur nyenyak. Ataupun ketika ia berwudhu dan bekumur-kumur, ia korupsi sedikit dengan menelan air wudhu. Hal ini semua tidak ada yang mengetahui, kecuali hanya Allah Ta’ala dan dirinya sendiri.
Oleh karena itu, puasa adalah ibadah yang mengajarkan kejujuran. Tidak hanya penampilan yang seolah-olah berpuasa, tetapi lahir dan batin benar-benar berpuasa. Dengan demikian puasa adalah ibadah yang akan mendidik kita agar bisa selamat dari sifat munafik.
DEFENISI MUNAFIK
Imam Al-Ghazali dalam kitab Mukasyafatul Qulub mengungkapkan bahwa kata munafik diambil dari kata nafiqa’ul-yarbu’, yaitu lubang binatang seperti tikus, kakinya lebih panjang dari tangannya. Disebut yarbu’ karena memiliki dua lubang, satu lubang disebut nafiqa’ dan satunya lagi disebut qashia’. Binatang ini menampakkan dirinya pada lubang yang satu, lalu keluar pada lubang yang lain. Bagi orang Arab, hal ini mensifati perilaku orang yang munafik.
Menurut Imam Al-Ghazali, kemunafikan yang nyata dan paling besar adalah seseorang yang menampakkan dirinya sebagai orang Islam tetapi perbuatannya menyerupai orang kafir. Orang yang memiliki identitas sebagai muslim tetapi ia meninggalkan ajaran Islam, tidak berakhlak yang Islami bahkan benci dengan ketaan dan keshalihan.
Dalam peribahasa Indonesia, munafik biasa kita sebut dengan istilah bermuka dua, musang berbulu domba atau lidah bercabang dua. Tipe orang yang semacam ini sangat mengecoh, memperdaya bahkan sangat berbahaya.
Secara umum kita memahami bahwa orang munafik adalah orang yang suka berbohong, suka berkhianat dan suka ingkar janji terhadap sesama manusia. Namun ada munafik yang kelasnya lebih tinggi dari itu, yakni berbohong, berkhianat dan ingkar janji kepada Allah SWT. Inilah kemunafikan yang hakiki. Kedudukan mereka setara dengan orang-orang musyrik.
Sebagaimana Firman Allah Ta'ala yang artinya: “Allah akan mengazab orang-orang munafik baik laki-laki maupun perempuan dan orang-orang musyrik laki-laki maupun perempuan, yang mereka itu telah berprasangka buruk terhadap Allah. Mereka akan mendapatkan giliran (kebinasaan) yang sangat buruk dan Allah sangat murka kepada mereka dan melaknati mereka, serta akan menempatkan mereka kedalam neraka jahannam. Sebagai seburuk-buruknya tempat kembali” (QS. Al-Fath: 6).
KEMUNAFIKAN TERHADAP ALLAH
Kemunafikan terhadap Allah adalah hal yang pertama harus kita hindari. Karena kemunafikan ini dapat berbuah murka Allah. Telah disebutkan dalam Al-Qur’an bahwa: “Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka telah (mengaku) beriman, kemudian mereka ingkar lalu hati mereka terkunci karena itu mereka tidak dapat mengerti” (QS. Al-Munafiqun: 3).
Jadi munafik kepada Allah adalah orang yang telah mengaku beriman namun perbuatannya ingkar. Misalnya, ia mengaku Islam tetapi tidak menjalankan tuntunan Islam, mengabaikan Al-Qur’an dan membelakangi syari’at Allah Ta’ala.
Rasulullah SAW pernah ditanya tentang perbedaan orang mukmin dengan orang munafik?. Beliau SAW menjawab: “Pertama, Sesungguhnya orang mukmin tujuannya adalah shalat dan berpuasa, sedangkan orang munafik tujuan (hidup)-nya adalah makan dan minum seperti binatang dan meninggalkan Ibadah dan shalat; Kedua, Orang mukmin disibukkan dengan bersedekah dan mencari ampunan, sedang orang munafik disibukkan dengan kerakusan dan panjang angan-angan.
Ketiga Orang mukmin memutuskan harapan kepada apapun kecuali Allah, sedangkan orang munafik bergantung (berharap) kepada setiap orang (atau makhluk); keempat, Orang mukmin mukmin menyodorkan hartanya demi agama Allah, sedangkan orang munafik menggadaikan agama demi memperoleh harta.
Kelima, Orang mukmin merasa aman dari semua orang kecuali Allah, sedangkan orang munafik malah takut dengan orang-orang namun mengabaikan Allah; keenam, Orang mukmin berbuat baik tetapi tetap menangis, sedang orang munafik berbuat dosa tetapi masih bisa tertawa.
Ketujuh, Orang mukmin lebih suka merenung dan menginsyafi diri, sedang orang munafik lebih suka keramaian dan pesta pora; kedelapan, Orang mukmin menanam dan khawatir akan kerusakannya, sedang orang munafik malah mencabut tetapi berharap panen;
Kesembilan, Terakhir orang mukmin senantiasa menyeru kepada yang baik dan mencegah perbuatan maksiat, sedangan orang munafik malah mengajak kepada perbuatan maksiat dan melarang (atau membenci) perbuatan baik”. (hadits yang dikutip dari kitab Mukasyafatul Qulub karya Imam Al-Ghazali).
Penjelasan Nabi SAW dalam hadits ini sudah sangat jelas menggambarkan perbedaan orang mukmin dan orang munafik. Sehingga kita dapat bercermin dan menempatkan diri akan berada dalam posisi yang mana. Kemunafikan kepada Allah Ta'ala adalah masalah besar dan telah menjadi fenomena umat akhir zaman. Oleh karena itu kita mesti melihat pada diri kita masing-masing sudahkah kita setia kepada Allah Sang Maha Kuasa.
KEMUNAFIKAN KEPADA MANUSIA
Tidak kalah berbahayanya pula kemunafikan terhadap sesama manusia. Allah Ta'ala telah mengajarkan syari’at yang sempurna, selain dilarang munafik terhadap Allah, kita juga dilarang berbuat munafik terhadap sesama manusia. Rasulullah SAW telah bersabda yang artinya: “Ciri-ciri orang yang munafik itu ada tiga yakni : Pertama, Jika berbicara ia berdusta; Kedua, jika berjanji ia mengingkari, dan Ketiga, jika diberi amanah ia mengkhianati” (Shahih Al-Bukhari, no. 33 dan Shahih Muslim, no. 59).
Orang yang munafik kepada sesama manusia adalah jika berbicara membual, mengobral dan penuh dengan kedustaan. Berbicara ngalor-ngidul tidak ada gunanya dan membicarakan yang sia-sia. Jika berjanji ia malah mengingkari bahkan berani bersumpah demi merebut hak orang lain. Terleih lagi jika diberi amanah ia justru mengingkari. Ketika dipundaknya dipikulkan amanah rakyat, malah rakyat dikhianati. Bahkan orang mudah sekali berjanji dan bersumpah namun kemudian meningkari. Dalam pergaulan sehari-hari terhadap keluarga, antar teman, dalam bertetangga dan bermasyarakat serta dalam kehidupan bernegara sikap munafik harus kita jauhi. Orang munafik hanya mencari keuntungan pribadi. Orang tua dan saudara kandungnya sendiri bisa dikhianati apalagi orang lain.
Ada beberapa langkah yang dapat kita lakukan agar kita bisa terhindar dari penyakit dan sifat munafik tersebut. Caranya yang sederhana, yakni: Pertama, Agar selamat dari munafik kepada Allah, caranya tiada lain adalah dengan Taat; dan Kedua, agar selamat dari munafik kepada sesama manusia, caranya tiada lain adalah dengan Jujur. Dua hal yang ringan diucapkan, tetapi tidak mudah untuk direalisasikan. Namun kita mulai dari komitmen. Wallahua`lam. (**)