Warta

Insan Dan Kehidupan

Rabu, 26 Juni 2019 | 11:13 WIB

Oleh:Rudy Irawan, M.S.I. (Wakil ketua PCNU Bandar Lampung, Dosen Tarbiyah UIN Raden Intan Lampung) Hari ini musti kita memulai dengan perasaan bahagia. Kebahagiaan itu bisa kita awali dengan menjalankan shalat sebagai medium untuk mencurahkan hati atau curhat kepada Allah. Namun kadang sebagian kita ada yang suka curhat, tetapi salah alamat, karena curhat kepada sesama manusia, sementara tempat curhat kita, juga tidak lepas dari rundungan masalah. Karena setiap manusia pasti tidak bisa terhindar dan lepas dari masalah. Jika kita curhat kepada Allah, dengan rendah hati dan tawadlu’ serta banyak memohon maghfirah-Nya, pasti Allah akan menolong dan meringankan beban hidup yang menghimpit hidup kita. Kita sering merasa terbebani berbagai masalah, karena kita terjebak ke dalam suudhan atau buruk sangka kepada Allah. Padahal Allah senantiasa melimpahkan Rahman (Pengasih tidak pilih kasih, yang taat dan maksiyat, tetap dikasihi) dan Rahim (Penyayang, yang senantiasa menyayangi seluruh hamba-hamba-Nya). Dalam hadits qudsy, disampaikan oleh Rasulullah saw, bahwa Allah berfirman : “Aku (Allah) adalah menurut apa yang disangkakan oleh hamba-hamba-Ku kepada-Ku, apabila ia menyebut-Ku di khalayak, Aku menyebutnya di khalayak yang lebih besar, apabila ia mendekatkan diri kepada-Ku satu dzira’, Aku menjemputnya dengan sejengkal, apabila ia mendekatkan diri kepada-Ku dengan berjalan kaki, Aku menjemputnya dengan berlari”. Ini ditegaskan lagi di QS. Al-Hujurat 12, “ Wahai orang-orang yang beriman, hindarkanlah banyak berburuk sangka, karena sesungguhnya sebagian buruk sangka itu adalah dosa…”. Orang yang berburuk sangka kepada siapapun, hidupnya akan dirundung kekhawatiran, ketakutan, dan kecurigaan pada orang lain. Ini berakibat pada timbulnya ketidak tenangan dan ketidaknyamanan. Orang Jawa bilang “kemrungsung”. Ini akan menjauhkan diri kita dari kenyamanan dan ketenangan hidup. Apa yang kita lakukan hari ini, tentu tidak seluruhnya sesuai dengan proposal hidup kita. Karena kita hidup bersama, maka dalam banyak hal, kita lebih banyak merespon ajakan, undangan, atau kepentingan bersama. Karena itu peta jalan (routemap) hidup kita, musti dipilah. Dalam banyak hal kita sebagai manusia, harus lebih banyak menyisihkan waktu mengungkapkan kasih sayang — sebagai perwujudan kasih sayang-Nya pada hamba-Nya — baik ketika ada saudara kita yang sakit, atau mereka membutuhkan atensi dan bantuan kita. Apabila Allah SWT memerintahkan kepada kita untuk saling mengenal, saling menyayangi, saling tolong menolong, itu karena pada hakikatnya di antara kita itu laksana jasad yang satu, apabila ada satu anggota tubuh yang sakit, maka anggota tubuh yang lainnya juga ikut merasakan sakit. Namun sisi penting yang ini mesti kita tanamkan dalam hati sanubari kita, adalah karena pada titik ini, bahwa manusia itu saat lahir, tumbuh, berkembang, saat sakit, dan saat akan memasuki liang lahat kubur,  ia tidak bisa melakukannya sendiri. Karena itu, mari kita singkirkan dan buang jauh-jauh sifat sikap dan prilaku yang menunjukkan bahwa diri kita hebat, perkasa, jumawa, takabur, dan bisa mandiri. Karena kita ini sesungguhnya tidak memiliki kekuatan apapun, kecuali kekuatan yang diberikan oleh Allah pada kita. Tak ada pilihan lain, kecuali berusaha memenej delegasi otoritas atau kewenangan Allah itu untuk mewujudkan sifat Rahman dan Rahim Allah pada hamba-hamba dan makhluk-Nya. Kita diperintahkan untuk merencanakan masa depan. Ini pun tampaknya hanya relevan pada saat kita masih berada pada usia muda, ketika masih sekolah dasar atau ibtidaiyah. Orang tua kita sering bertanya sambil mengudang anaknya, “besok ingin jadi apa Nak?” Kala kita sudah memasuki usia-usia dewasa, sudah berkeluarga, maka etape atau tahapan perjalan hidup kita, adalah menapaki siklus kita hidup istiqamah, mengikuti jalan lurus yang sudah ditunjukkan dan gariskan, demi meraih masa depan kita yang saadah dan hasanah di dunia dan akhirat. Allah menjanjikan pada hamba-hamba-Nya yang menggenggam kuat akidah dan keimanannya bahwa Tuhan kami adalah Allah, ia beristiqamah, maka Allah memerintahkan kepada para Malaikat untuk menjaga kita agar tidak lagi khawatir dan bersedih hati, karena seharusnya kita sudah berbahagia dengan kehidupan yang nyaman laksana surga, dan tentu surga nanti di akhirat, karena kebahagiaan akhirat itu penampakan atau perwujudan awalnya, menurut keyakinan saya, adalah kala kita masih hidup di dunia. Mengapa? Karena dunia ini adalah lahan atau kebun akhirat. Al-dunya mazra’atu l-akhirah. Siapa yang menabur benih kebaikan, ia akan memetik kebaikan itu. Kebaikan akan dibalas kebaikan yang berlipat ganda. Sementara kejahatan atau keburukan, hanya di balas dengan balasan yang setimpal. Allah SWT membahasakan, apabila kita berbuat yang dhalim – dari kata dhulm artinya gelap, dan tidak sesuai dengan keadilan — kepada orang lain, maka pada hakikatnya kita sedang mendhalimi diri kita sendiri. Itu pun terkadang masih banyak terjadi, seseorang berbuat kebaikan pada orang lain,  balasannya belum tentu baik. Itu sisi gelap manusia. Padahal ajaran dasarnya, apabila Anda mendapatkan penghormatan, perlakuan yang baik, apakah itu hanya sekedar turut kata atau omongan lisan, ataukah penghormatan berupa pemberian materi, maka perintahnya, balaslah penghormatan atau kebaikan itu dengan penghormatan yang lebih baik, atau setidaknya sama dan sebanding dengan penghormatan itu (QS. An-Nisa’ (4):86). Mari kita songsong masa depan atau hari esok kita, dengan berusaha senantiasa mengikuti jalan dan kehendak Allah yang baik, maka kita akan meraih esuksesan, keberuntungan, dan kebahagiaan. Ujian dan cobaan itu pasti akan menghadang kita, akan tetapi komitmen dan sikap istiqamah kita, akan mampu menghadapi segala macam ujian dan cobaan hidup kita. Tekad (azam) dan ikhtiar yang sungguh-sungguh dan sikap tawakkal, adalah rambu penting, agar semua bisa kita lewati dengan penuh kebahagiaan dan kesejahteraan. Kita terima apa yang menjadi pemberian Allah dengan ridha dan ikhlas, maka hati kita nyaman, tenteram, dan kita nikmati kebahagiaan hidup dengan bertaqarrub, mendekatkan diri kepada Allah, karena kasih sayang-Nya, akan terus menyirami dan penuh kesejukan. Rabbanaa aatinaa fi d-dunyaa hasanatan wa fi l-aakhirati hasanatan wa qinaa ‘adzaaba n-naar. Wa adkhilna l-jannata ma’a l-abraar. Ihdina sh-shiraatha l-mustaqiim.