• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Rabu, 24 April 2024

Warta

Idul Fitri Momen Untuk Memaafkan Segalanya

Idul Fitri Momen Untuk Memaafkan Segalanya

Idul Fitri Momen Untuk Memaafkan Segalanya

Oleh: Rudy Irawan, S.PdI, M.S.I.

BERAGAM cerita pernah kita torehkan di atas kanvas kehidupan yang begitu bising. Ada pertautan rasa dan persentuhan raga. Ada tetesan harapan dan titian kenyataan. Ada tuntutan bathin dan tantangan lahir. Boleh jadi sebagian atau semuanya tidak tergapaikan yang mungkin telah menggumpal menjadi noda hitam, yang membuat kita sempat tak saling bertegur sapa. Dan sejumlah pergumulan yang mungkin amat tak menenakkan terpatri disana. Karena nya masih dimomen Syawal 1441 H ini masih ada secercah maaf diantara kita dengan saling menyambut kata mohon maaf lahir dan bathin.

Sesungguhnya pengertian kita tentang manusia dan kemanusiaan, amatlah terbatas. Itulah fitrah manusia. Serba tak terjangkau. Karenanya dengan mendahulukan memberi maaf adalah tindakan terpuji. Orang seperti ini telah melangkah di titian yang putih.

Kita layak malu dengan diri kita sendiri, malu terhadap ketulusan orang-orang semacam itu dalam berbuat baik. Malu atas kesegeraan mereka memberikan maaf sebelum kita meminta sebagaimana malunya sayyidina Umar Ibn al Khattab kepada sayyidina Abu Bakr yang selalu lebih awal dalam urusan  berbuat baik. Sejatiyah, orang yang tidak pernah meminta maaf apalagi memberi maaf, adalah orang yang mengaku tak pernah berbuat salah, yang mengaku tidak pernah berbuat salah, sesungguhnya dialah orang yang banyak melakukan kesalahan. Dalam momen idul fitri kali ini setidaknya mampu menjadikan diri kita kedepannya sebagai orang orang yang mampu menahan amarah dan orang orang pemberi maaf.

Penahan Amarah

Ramadlan yang baru saja meninggalkan kita, didalamnya kita ditempa, dididik menjadi orang orang yang mampu menahan hawa nafsu termasuk amarah. Karenanya di momen Idul Fitri ini mampu menjadikan diri kita semakin yakin bahwa setelah hujan pasti ada cerah, sesudah tangis pasti ada tawa. Dengan keyakinan tersebut seharusnya mampu mengikis habis segala rasa dendam dan kebencian, yang mungkin selama ini telah terpatri kuat dalam hati kepada orang orang yang telah membuat kita terluka. Membenamkan diri dalam dendam dan kebencian adalah sebuah kesia siaan.

Sebagaimana pepatah ”Menanam dendam untung untungan, hidup sukar matipun sesat”. Artinya hidup memdendam adalah perjudian, justru menanmbah penyakit dan penderitaan bathin baik dunia maupun akhirat. Hidup mendendam tak lebih dari menelan air garam, sekalipun diminum tak pernah memuaskan.

Hal inilah yang pernah disadari oleh Rasulullah SAW ketika mengalami kekalahan pahit di perang uhud. Dimana beliau melihat jasad paman belia Hamzah Ibn Abd al Muthollib terkoyak dengan dada robek da nisi perut tercincang. Nabi tertunduk dengan suara gemetar menahan kepedihan dan amarah beliau bersumpah : “Demi Allah ! andaikan suatu saat Allah memberikan kemenangan kepada kami, niscaya akan aku aniaya mereka dengan cara yang belum pernah dilakukan oleh seorangpun dari bangsa Arab”.

Sesudah bersumpah demikian turunlah firman Allah yang menegur sikap Nabi SAW:

“dan jika kamu memberikan balasan, Maka balaslah dengan Balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. akan tetapi jika kamu bersabar, Sesungguhnya Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar. bersabarlah (hai Muhammad) dan Tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan.(QS.An Nahl:126-127)

Belajar dari kasus ini, ada baiknya kita merefleksikan kembali situasi tanah air kita yang akhir akhir ini tampak seolah olah dipenuhi oleh suasana amarah yang tak kunjung habis. Seakan akan disetiap ujung kehidupan taka ada lagi suasana dan sikap damai. Perasaan saling curiga menjadi kenyataan sehari-hari yang tak mudah dihilangkan. Caci maki, ujaran kebencian dan provokasi terutama dimedia sosial terkesan menyulut amarah dari setiap para pemuja atas apa yang diberitakan. Antipati kepada pemerintah dan ormas keagamaan yang tak sejalanpun terkadang tak lepas dari hujatan dan caci maki bahkan tak sedikit yang bersikap RASIS.

Ditambah pula merebak fitnah dan adu domba dengan cara dan scenario yang berbeda beda antar elite politik. Entah untuk keperluan apa, atau semata mencari posisi bargaining agar bisa diperhitungkan secara nasional meski tak mendapat jabatanpun atau hanya sebatas popularitas. Yang pasti hanya mereka yang tahu. Tugas kita adalah mengingatkan agar para elite jangan menjadikan rakyat sebagai sasaran pelampiasan kemarahan dan kekecewaan atas kegagalan politik di tingkat nasional. Jangan pula memobilisasi massa hanya untuk menunjukkan besarnya dukungan ditingkat akar rumput. Karena setiap kali dilakukan, yang terjadi justru saling

Menepuk dada dan merendahkan, saling membanggakan peranan, pengaruh dan akses sosial. Dan bahkan merasa paling layak berkuasa, paling tepat menguasai asset asset ekonomi rakyat dan lebih berhak mewakili rakyat. Semua muncul akibat terbius oleh sikap cemburu, iri hati, kecewa dendam, lalu untuk menutupinya terkadang mendramatisasi dengan menyalahkan dan mengkambing hitamkan.

Sikap menahan amarah dalam konsepsi Islam adalah sentral sekali, karena kelanjutan dari sikap demikian adalah kita sanggup menahan diri untuk tidak melakukan tindakan tercela dalam bentuk apapun termasuk memandang rendah atau menghina orang lain. Sebab bisa jadi di mata Allah dia lebih baik dari kita. Tapi dalam Islam disebutkan sikap menahan amarah saja belumlah cukup, harus diikutu dengan kesadaran yang tulus untuk suka memaafkan kesalahan orang lain kendati orang tersebut acapkali memancing kemarahan kita.

Sikap Pemaaf

Medan kehidupan ini memang terkadang nampak tak lagi ramah, sungguhpun demikian sekali kali kita tidak dibenarkan bersikap pesimis dan negatif terhadap kehidupan ini. Apalagi membangun sikap permusuhan, walaupun kepada orang yang tidak membangun persahabatan kepada kita. Ini sejalan dengan yang dinyatakan oleh Allah dalam firmannya:

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.(QS. Al Hujarat:12)

Buya Hamka tatkala menafsirkan ayat ini khusus menyoroti lafal lahma yang digunakan Al Qur’an berarti daging atau bangkai  dalam bahasa Indonesia memberikan penjelasan menarik. Menurut Buya kata lahma dalam ayat ini, maknanya metaforik (simbolik) sekali. Karena daging merupakan symbol dari benda yang tak memiliki kekuatan apapun. Dia sudah tak bernyawa maka tidak mungkin lagi membelah diri, meski dibanting, dicincang dan digoreng.

Al Qur’an menggunakan kata “daging” dalam kaitannya dengan orang yang suka mencari cari aib dan kesalahan orang lain seraya menebar fitnah, menurut pandangan Buya Hamka adalah sangat tepat. Karena perbuatan mencari cari aib orang dan menebar fitnah merupakan tindakan yang sangat tidak sportif. Ia lazim dilakukan bukan di depan orangnya, maka wajar jika yang bersangkutan tidak bisa membela diri persis seperti daging atau bangkai yang tak berdaya itu. Ini semua disebabkan tiadanya sikap pemaaf dari setiap khilaf dan salah orang lain.

Itulah sebabnya, Islam jauh jauh hari menganjurkan kepada umatnya, bahwa memohon maaf memang baik namun jauh lebih baik justru memberi maaf. Memberi maaf kepada siapa saja yang melakukan kesalahan ia tidak berlaku mentang mentang. Malah menerima kebenaran di pihaknya dengan rendah hati. Ini pekerjaan berat, membutuhkan keberanian moral untuk melakukannya, tentu tidak semua orang bisa, hanya orang orang yang berjiwa besar, berhati lapang serta terbiasa dan terdidik dalam suasana kedewasaan sajalah yang berkenan melakukannya dengan senyum yang terkulum manis.

Orang demikian tidak memiliki halangan kejiwaan dalam berucap maaf, hambatan psikologis yang biasanya membungkus angkuh dalam diri setiap pribadi yang berada dipihak benar dipendam dalam dalam. Seolah hendak mengatakan: “Hari ini kamu yang salah, besok siapa tahu saya, inilah orang besar. Orang yang sanggup mengatasi egonya sendiri kemudian masuk ke dalam ego orang lain lalu dia berbahagia di dalamnya. Dari relung hatinya yang paling dalam terpancar kasih yang tulus yang oleh Albert Camus disebut sebagai “CINTA SEJATI”. Cinta kepada sesamanya tanpa menghitung hitung untung rugi. Kecuali mengharapkan cinta dan kasih Tuhan Semesta Alam.

Cinta yang memiliki makna yang paling hakiki, yakni merelakan dan mengampuni, mengerti dan memahami. Karena memahami berarti MEMAAFKAN SEGALANYA. Waalahu’alam.

* Dosen UIN Raden Intan Lampung/Sekretaris Komisi MUI Lampung/Wakil Ketua PCNU Bandar Lampung


Editor:

Warta Terbaru