• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Rabu, 24 April 2024

Warta

Hidup Memang Harus Diperjuangkan

Hidup Memang Harus Diperjuangkan

KISAH manusia, kemanusiaan, dan bagaimana usahakan mereka bertahan (mempertahankan) kehidupan selalu menarik. Perlawanan terhadap pandemi Korona saat ini dan juga berbagai penyakit melahirkan banyak kisah getir, tragedik,  dan rasa tak berdaya atas keadaan. Di sebalik peristiwa-peristiswa ini memunculkan rasa kepedulian,  heroisme, dan sikap-sikap yang membanggakan bagi peningkatan harkat manusia.  

Kehadiran buku Dia Menanti di Surga karya Ila Fadilasari (diterbitkan Pusaka Media, Bandar Lampung, Maret 2020) ini menemui momentum yang tepat. Dari buku setebal 266 halaman ini kita bisa belajar memahami hakikat kematian sekaligus kehidupan, mengenali penyakit sekaligus berupaya menjaga kesehatan, dan mengobati luka sekaligus menyadari kebesaran Yang Mahakuasa.

Ehm, saya mau titip sepotong puisi saya di sini dulu aahh (numpang narsis ceritanya, hahaa… ) sebelum meneruskan membincang buku ini.

tak ada kematian sia-sia
tapi hidup harus diperjuangkan
walau kehidupan tak pernah dikehendaki
sebab kehidupan nyatanya lebih menyenangkan
dari yang pernah kita bayangkan

ah, hidup ternyata maut begitu dekat dengan kita
mengapa kita harus takut ketika ajal menjelang
sebab kehidupan nyatanya tak seindah
apa yang pernah kita pikirkan

tak ada kematian sia-sia
tapi hidup tak harus menunda kepergian

(Udo Z Karzi, “Tak Ada Kematian Sia-sia” dalam Endo Senggono. 2005. Maha Duka Aceh. Jakarta: Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin. hlm. 173)

Demikianlah, siklus kehidupan harus sampai pada ujungnya: kematian. Saya beruntung juga saya mendapatkan hadiah buku Psikologi Kematian karya Komarudin Hidayat dari Dewan Redaksi Media Group (sekarang: Angggota DPRD Banyumas) Djadjat Sudradjat dalam sebuah pelatihan editing tahun 2006.  Saya lihat buku ini juga menjadi rujukan dalam buku ketiga Ila Fadilasari ini.  Sebelumnya, Ila telah melahirkan buku Talangsari 1989, Kesaksian Korban Pelanggaran HAM Peristiwa Lampung (2007) dan Dipasena: Kemitraan, Konflik, dan Perlawanan Petani Udang (2012).

Dia Menanti di Surga berisi curhatan Ila mengenai rasa kehilangan yang sangat atas kepergian bayinya, Alvin Rafa, pada 2010. Sepuluh tahun yang lalu. Waktu yang cukup untuk mengendapkan peristiwa dan kemudian menuturkan kembali dengan lebih jernih. Dan benar, buku ini tak sekadar curhatan. Ia tampil dengan bahasa yang menarik dengan data lengkap mengenai penyakit yang menjadi penyebab meninggalnya sang buah hati dan pengalaman beberapa orang yang pernah mengalami hal serupa.

Ila gitu lo. Kemampuan jurnalistiknya masih sangat terasah. Maklum, Ila sempat lama menekuni karir di dunia jurnalistik, yaitu sebagai jurnalis majalah TEMPO dan Metro TV. Sekarang Ila aktif di PWNU Lampung, yaitu sebagai ketua Lembaga Ta'lif wan Nasyr (LTN)--lembaga yang membidangi publikasi, komunikasi, dan penerbitan di PWNU.

Kebahagiaannya semakin lengkap. Setelah melahirkan Alvin, keluarga Ila kembali pindah ke pusat kota. Ujian tesis dan tawaran mengajar di sebuah perguruan tinggi membuatnya bertambah semangat.

Umur sebulan Alvin tiba-tiba sakit batuk, dirawat di rumah sakit lima hari, dan ketika sudah agak sembuh diperbolehkan pulang. Hanya penyembuhan batuknya perlu waktu lama. Tapi, cukup dirawat di rumah. Tapi, selang beberapa hari harus berburu rumah sakit. Di sebuah rumah sakit, Alvin dengan pelipis dan kening yang membiru masuk UGD terus ke ICU. Betapa galaunya memikirkan kondisi Alvin dan biaya besar untuk pengobatannya.

Segala daya dan upaya telah dilakukan. Tapi, takdir berkata lain. Alvin berpulang ke hadirat Allah Swt setelah berjuangan melawan penyakitnya. Innalillahi wainna ilahi rajiun.

Ibu mana yang tidak perih hatinya mengetahui anak yang dilahirkannya telah pergi untuk selamanya. Begitu pula halnya Ila. Untuk menenangkan hatinya, ia merasa perlu pulang kampung, mulai lagi mempelajari agama, berbagi kisah dengan ipar yang melahirkan dan pernah juga kehilangan buat hati, mulai menyadari bahwa dirinya tidak sendiri mengalami musibah serupa, dan mengambil ibroh dari serangkaian ujian yang ia terima.

Belakangan, setelah menelusurinya, Ila tahu penyakit yang merenggut nyawa Alvin ternyata bernama Pneumonia lobus super dekstra. Peneumonia adalah infeksi akut pada parenkim atau jaringan paru-paru, yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme, yang berdampak pada alveoli. Alveoli, yaitu organ yang berfungsi untuk menyerap oksigen dari atmosfer yang kemudian menyebarkannya ke keseluruh tubuh. Akibat infeksi ini, fungsi alveoli menjadi tergangggu karena terisi cairan, hingga mengakibatkan gangguan pernapasan.  (hlm. 192)

Pada bagian pertama, Ila menuliskan kisah pindah rumah dan kesepian yang menyergap di rumah baru.  Sunyi, hamil besar, ia lalu dihadapkan pada tiga pilihan kala itu: membeli rumah, melahirkan atau wisuda pascasarjana.  Sebenarnya, bukan pilihan karena toh ketiga-tiganya dilaksanakan  dengan sebaik-baiknya.

Di tengah kesulitan-kesulitan yang terus membayang dan usia anak pertamanya yang baru satu tahun, Ila hamil lagi. Ia menyebutnya  “kehamilan yang sepi” di sebuah perumahan yang hanya dihuni 60%, air leding yang mengalir seret, listrik yang payah untuk urusan liputan, sulitnya mendapatkan makanan, minuman, dan sayuran yang dekat. Menjelang kelahiran, ia bertambah sensitif. Ia merasa tidak betah di rumah.

Kelahiran Alvin Rava tentu menjadi kebahagiaan tersendiri bagi Ila. Ia menulis: Alhamdulillah. Aku tersenyum lebar. Terima kasih ya Allah. Kau kabulkan doaku. Kau memang Mahakuasa. Kau tahu apa yang kumau, bisikku dalam hati. Rasa sakit itu pun hilang, tertutup oleh kebahagiaan yang tiada tara. (hlm 50)

Berdasarkan letak penyakitnya di dalam paru (anatomis), pneumonia dibedakan menjadi tiga: pneumonia lobaris, pneumonia lobularis, dan pneumonia interstisial. Alvin menderita pneumonia jenis pertama, yaitu pnomonia lobaris. Ila menguraikan selengkapnya mengenai Pneumonia ini di bagian ketiga hlm 184—213

Begitulah, hidup dan kehidupan memang sebisanya diperjuangkan. Tapi, kita tak bisa menolak ketentuan Ilahi. Innalillahi wainna ilaihi rajiun. Sesungguhnya kami itu milik Allah dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Allah Swt.

Tabik!  []

(Udo Karzi/Jurnalis, penggiat budaya)


Editor:

Warta Terbaru