Warta

Berebut Pengaruh NU dalam Pilkada

Senin, 30 November 2020 | 11:15 WIB

Oleh: M. Iwan Satriawan

SEBENTAR lagi, organisasi Nahdlatul Ulama akan memasuki usia 95 tahun. Sebuah usia yang tidak lagi muda—bahkan melebihi usia kemerdekaan Indonesia—bagi sebuah organisasi sosial keagamaan yang telah mewarnai berbagai kancah sosial, agama dan politik di tanah air.

Tahun 2020 ini banyak disebut berbagai kalangan sebagai tahun politik di tengah pandemi Covid-19. Mesin politik partau politik (parpol) sudah mulai dipanaskan, bunyi meraung-raung dari berbagai jenis mesin politik acapkali memekakkan telinga rakyat karena kerasnya pedal gas diinjak untuk memanaskan mesin-mesin tersebut. Salah satu bentuk dari pedal gas tersebut adalah berebut pengaruh ormas keagamaan dan kepemudaan.

Demikian juga halnya yang terjadi di bumi Sai Ruwa Jurai ini. Ada 8 (delapan) kabupaten/kota yang akan mengikuti kontestasi dalam pilkada serentak yang akan digelar 9 Desember 2020 mendatangan. Yaitu Bandar Lampung, Metro, Lampung Tengah, Way Kanan, Lampung Selatan, Pesisir Barat, Lampung Timur dan Pesawaran.

Menghadapi tahun politik seperti ini, seringkali menjadikan pilihan yang cukup dilematis bagi NU. Antara masuk atau terjun ke dalam politik praktis dengan harapan dapat merubah kebijakan pemerintah atau tetap dalam posisinya sebagai lembaga sosial keagamaan yang harus menyuarakan politik tingkat tinggi berupa pemberdayaan masyarakat. Namun secara personal baik mereka yang aktif dalam kepengurusan maupun tidak diperbolehkan untuk masuk gelanggang politik praktis dengan terlebih dahulu meninggalkan lebel NU di belakanganya. Tetapi hal ini tidaklah mudah baik bagi pengurus yang secara strutural ke organisasi mendapatkan kedudukan maupun kultural pada masyarakat akar rumput.

NU dan PKB
Antara NU dan PKB yang didirikan pada tanggal 23 Juli 1998 di Ciganjur Jakarta atau tepatnya dirumah K.H Abdurrahman Wahid yang pada waktu itu masih menjabat sebagai ketua umum Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU) memiliki hubungan yang cukup erat. Maka tidak mengherankan antara PKB dan NU tidak dapat dilepaskan begitu saja meskipun dengan berbagai cara atau strategi untuk memisahkannya dengan menyatakan bahwa NU adalah organisasi sosial keagamaan sedangkan PKB adalah organisasi politik yang terbuka untuk semua golongan. Namun pada hakikatnya banyak rekrutmen politik PKB baik di tingkat nasional maupun daerah yang mengandalkan pengaruh NU sebagai senjata utamanya.

Sedangkan bagi NU sendiri keberadaan PKB adalah sebagai penyambung lidah pemikiran-pemikiran NU dalam tataran kebijakan di lapangan. Banyak dari hasil pemikiran NU yang dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah pusat karena di kawal oleh PKB. Seperti peringatan hari santri pada 22 Oktober, perhelatan liga santri nusantara, penolakan penerapan full day schooll, dan sebagainya.

Namun kedekatan NU dengan PKB akhir-akhir ini mendapat sorotan serius dari para ulama sepuh. NU yang dianggap sebagai orang tua pencetus lahirnya PKB justru banyak kebijakan-kebijakan NU yang dikendalikan oleh PKB. Cukup banyak kader-kader PKB yang akhirnya menduduki jabatan struktural strategis di NU sehingga banyak kebijakan NU yang akhirnya hanya untuk mendukung suksesnya PKB bukan sebaliknya PKB yang harus mendukung kebijakan NU. Atau dalam bahasa lain, orang tua (baca :NU) sudah mulai di dikte oleh anaknya (baca:PKB).

Berebut Pengaruh NU dalam Pilkada
Nahdlatul Ulama (baca:NU) adalah organisasi jam’iyah keagamaan yang didirikan oleh alim ulama pada tanggal 31 Januari 1926 di Surabaya dan menganut paham ahlussunnah wal jamaah. Dalam hal fiqh (hukum Islam) berkiblat pada madzhab 4 (empat) yaitu Hanafi, Maliki, Hambali dan Syafi’i meskipun dalam praktiknya madzhab Imam syafi’i lah yang sering kali digunakan khususnya di Indonesia. Sedangkan untuk masalah metode akidah merujuk pada Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi. Dan dalam bidang tasawuf, NU mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaedi Al-Bahdadi.

Sebagai organisasi sosial keagamaan yang telah tumbuh dan berkembang semenjak lama dengan pengikut yang tersebar dari Sabang sampai Merauke bahkan hingga ada cabang NU di Jepang, Australia dan Mesir menjadikan NU sebagai organisasi sosial keagamaan terbesar tidak hanya di Indonesia bahkan dunia. Sehingga sangat wajar jika hampir disetiap pelaksanaan pemilu baik nasional maupun lokal dukungan suara kaum nahdliyin selalu diperebutkan oleh para kandidat karena suara jamiah NU yang cukup signifikan dalam memenangkan pemilu. Mulai dari melakukan road show ke pondok-pondok NU meminta doa restu kyai sepuh, mengikuti MKNU atau PKPNU yang tiba-tiba banyak diadakan di kabupaten /kota hingga berlomba-lomba “mendirikan” MWC hingga ranting-ranting NU disetiap kota dan kabupaten di provinsi Lampung.

Fenomena seperti ini akan sangat baik untuk menunjukkan hirrah atau semangat dalam ber-NU namun disisi yang lain jika tidak disikapi dengan arif dan bijaksana akan banyak pemain yang mencoba mengail ikan di air yang keruh. Dalam artian berusaha mencari keuntungan dengan memanfaatkan NU untuk mendekatkan kepada salah satu calon yang implikasinya nama NU akan menjadi tergadaikan dan akhirnya NU secara kelembagaan hanya sebagai objek politik bukan subjek politik. Wallahu’alam..

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung