• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Senin, 13 Mei 2024

Syiar

Ini 9 Adab Mencari Ilmu dari Kisah Nabi Musa

Ini 9 Adab Mencari Ilmu dari Kisah Nabi Musa
Ini 9 Adab Mencari Ilmu dari Kisah Nabi Musa. (Ilustrasi: NU Online)
Ini 9 Adab Mencari Ilmu dari Kisah Nabi Musa. (Ilustrasi: NU Online)

Menuntut ilmu sangat penting artinya dalam aktivitas kehidupan ini. Setiap muslim laki-laki dan perempuan dikenai kewajiban untuk menuntut ilmu. Dengan ilmu seseorang bisa memimpin dunia.


Dalam Al-Qur’an dijelaskan Yarfa’ illahulladziina aamanu minkum walladziina utul ‘ilma darajat. Artinya, Allah akan mengangkat derajat orang beriman dan yang berilmu dengan beberapa derajat.


Sementara hadits tentang menuntut ilmu di antaranya “Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga” (HR Muslim) dan “Barangsiapa yang keluar untuk menuntut ilmu, maka ia berada di jalan Allah hingga ia pulang” (HR Tirmidzi).


Dalam hadits lain Rasulullah bersabda “Tuntutlah ilmu semenjak kamu terbaring di ayunan sampai beristirahat panjang di liang kuburan”.   


Namun, ada adab tersendiri bagi kita yang hendak menuntut ilmu, yang disebut adãb al-muta’allim. Al-Imam Fakhruddin ar-Razi, yang hidup di abad kelima hijriah, dalam kitabnya Tafsir al-Fakhru ar-Razi atau yang lumrah dikenal dengan Mafãtîh al-Ghaib, melakukan kajian yang sangat mendalam dan menakjubkan saat menafsirkan Surat al-Kahfi ayat 66 yang menceritakan bagaimana Nabi Musa sebelum berguru kepada Nabi Khidir ‘as.   


Dari firman Allah swt, yang berbunyi:   


قَالَ لَهُ مُوسَىٰ هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَىٰ أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا   


Artinya: Musa berkata kepadanya (Khidir), “Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku (ilmu yang benar) yang telah diajarkan kepadamu sebagai petunjuk?”    


Dilansir dari NU Online, Al-Imam Fakhruddin ar-Razi berhasil memunculkan dua belas adab atau tata karma dalam menuntut ilmu. Namun dalam tulisan ini ada tiga poin adab yang disatukan pembahasannya dengan poin adab yang lain. Sehingga yang tercantum dalam tulisan ini hanya sembilan adab, yakni:


1. Mengabdi dan bersikap tawadhu’ (rendah hati) terhadap guru. Dari kisah Nabi Musa yaitu saat menyampaikan maksud bahwa beliau hendak ikut kepada Nabi Khidir dengan kalimat هل أتّبعك (bolehkah aku mengikutimu) memberikan sebuah teladan baik sebagai bentuk adab kepada seorang guru. Artinya seharusnya seorang murid sebelum menimba ilmu dari gurunya agar meminta izin terlebih dahulu dengan cara mengikrarkan kesediaannya untuk ikut dan mengabdi terhadap sang guru. Dan itu adalah sebentuk ketawadukan atau sikap rendah hati yang begitu agung dari seorang murid. 


2. Menyatakan diri sebagai murid yang tak tahu apa-apa. Dalam menuntut ilmu seorang murid dilarang keras untuk menyanjung dirinya, bersikap angkuh, atau menampakkan kepintarannya di hadapan sang guru untuk menunjukkan dirinya telah menguasai satu atau beberapa bidang keilmuan tertentu. Seorang murid harus menampakkan bahwa ilmu yang dimilikinya sangatlah dangkal dan tak dalam, sekaligus memuji sang guru sebagai seorang cendekiawan dengan wawasan yang tinggi. 


3. Tidak boleh memiliki banyak permintaan kepada guru. Seorang murid tak ubahnya bagai orang fakir yang mengemis meminta harta kepada seorang yang kaya raya. Artinya seorang pengemis tidak mungkin meminta seluruh harta atau separuh dari harta yang dimiliki oleh orang kaya tersebut. Melainkan ia hanya meminta nol koma sekian persen saja dari persentase seluruh harta si kaya. Begitu juga seorang murid kepada gurunya. Sang murid tidak diperkenankan untuk meminta banyak dari ilmu sang guru. 


4. Mengakui bahwa semua ilmu datangnya dari Allah.  Sang murid harus meyakini sepenuhnya bahwa seluruh ilmu datangnya dari Allah swt. Bahkan termasuk ilmu yang dimiliki oleh gurunya. Hal ini al-Imam Fakhruddin ar-Razi mengkajinya melalui kalimat مما علّمت (sebagian dari ilmu yang diajarkan kepadamu). Jadi dalam konteks ini, Nabi Musa meminta kepada Nabi Khidir agar beliau berkenan mengajarkan sebagian ilmu yang diajarkan Allah kepadanya. Adab semacam ini lebih membuka terhadap kasih sayang seorang guru kepada muridnya. 


5. Meminta petunjuk dan bimbingan dari guru. Tujuan agung dari belajar dan menuntut ilmu adalah menjaga diri secara khusus dan umat manusia pada umumnya agar tidak terperosok ke dalam lubang kesesatan dan kehancuran. Hanya dengan ilmu seseorang mampu mengubah ajakan kesesatan itu menjadi spirit kebaikan, tentunya  dengan petunjuk dan bimbingan dari seorang guru.


6. Tidak boleh menentang dan membantah apa yang dilakukan guru. Telah dijelaskan pada poin sebelumnya bahwa mengabdi adalah salah satu cara merealisasikan adab saat menuntut ilmu, yang mana dalam mengabdi kepada guru ada beberapa hal fundamental yang sekaligus juga menjadi tata krama dalam menuntut ilmu. Salah satunya adalah taslim menyerahkan diri sepenuhnya kepada sang guru. Hal semacam ini telah menjadi tradisi di pesantren-pesantren salaf di Indonesia. 


7. Mencari ilmu pengetahuan tanpa perhitungkan status sosial. Termasuk pelajaran yang dapat kita petik dari kisah perjalanan nyantri-nya Nabi Musa kepada Nabi Khidir ialah bahwa menuntut ilmu tidak boleh memperhitungkan status sosial. Dalam hal ini kata mutiara “أنظر ما قال ولا تنظر من قال” (perhatikanlah apa yang dikatakan dan jangan perhatikan siapa yang mengatakan) yang dituturkan oleh bab al-ilmi Sayyidina Ali karramallahu wajhah adalah yang paling tepat untuk mengungkapkan substansi dari pembahasan dalam poin ini. Nabi Musa as dalam perjalanan nyantrinya tidak pernah sedikit pun mempermasalahkan status sosial beliau sebagai nabi kaum Bani Israil. Beliau tetap menjunjung tinggi akhlak dan ketawadukan beliau kepada sang guru. 


8. Mondok untuk mengabdi dan kemudian mengaji. Kajian al-Imam Fakhruddin ar-Razi selanjutnya adalah soal manajemen waktu. Seorang thâlib al-‘ilmi (pencari ilmu) tatkala berguru, sebaiknya yang pertama ia lakukan adalah mengabdi kepada sang guru, baru kemudian mengaji dan menimba ilmu dari gurunya.


Hal ini kerap diistilahkan dengan الخدمة قبل العلم (mengabdi sebelum mengaji). Kajian ini disimpulkan ar-Razi dari penggalan ayat هل أتّبعك على أن تعلّمني (apakah aku boleh mengikutimu agar engkau dapat mengajarkanku).


9. Belajar harus untuk ilmu bukan yang lain. Adab menuntut ilmu yang terakhir adalah berkenaan dengan niat dan tujuan menuntut ilmu. Sebagai penuntut ilmu harus mampu memperbaiki niat dan tujuan dalam menuntut ilmu.


Rasulullah saw, bersabda:


إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى، فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله، فهجرته إلى الله ورسوله، ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها، فهجرته إلى ما هاجر إليه   


Artinya: Seluruh amal perbuatan itu tergantung pada niatnya dan setiap orang hanya (akan memperoleh ganjaran) dari apa yang diniatkannya. Oleh karena itu, barangsiapa hijrahnya menuju (keridhaan) Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya itu menuju (keridhaan) Allah dan rasul-Nya. Barangsiapa hijrahnya karena (harta atau kemegahan) dunia yang dia harapkan, atau karena seorang wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya itu ke arah yang ditujunya. (HR Bukhari-Muslim).  


Itulah 9 adab menuntut ilmu dari kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir yang dapat kita teladani. Dari kisah itu semoga menginspirasi kita dalam menuntut ilmu dan menjadikan adab dalam mendapatkan ilmu tersebut.
 


Syiar Terbaru