• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Selasa, 23 April 2024

Syiar

Haji dan Pemutihan Keangkuhan Serta Dosa

Haji dan Pemutihan Keangkuhan Serta Dosa
Haji dan Pemutihan Keangkuhan Serta Dosa Oleh Rudy Irawan KEWAJIBAN melaksanakan ibadah haji sebagai rukun Islam yang kelima adalah orang Islam, berakal sehat, dan cakap melakukan perbuatan hukum (mukallaf). Kalau pun misalnya ada anak-anak yang belum mukallaf, masih berkewajiban menunaikan haji, pada saat ia sudah memasuki usia mukallaf. Ibadah haji yang prosesi ritualnya diambangkan dengan busana ihram berwarna putih, dan bagi laki-laki dua lembar kain tak berjahit, dan perempuan menutup aurat (seluruh tubuh, kecuali wajah dan telapak tangan) adalah simbol bahwa ibadah haji adalah prosesi untuk memutihkan keangkuhan dan dosa yang melumuri manusia, dengan berbagai topeng, prestise, dan beragam ketakaburan. Manusia sebagai makhluk yang dikaruniai nafsu. Di dalamnya terdapat pemberian atau amanat Allah, yang dapat memicu keangkuhan, kesombongan, dan dosa yang menyelimuti diri mereka. Muaranya, adalah ilmu, harta, dan jabatan. Ilmu, Jawa, ngelmu artinya angel yen durung ketemu, menjadi penerang atau cahaya, manakala yang diamanati mampu mengemban dan mengamalkannya. Akan tetapi apabila si pembawa ilmu (hammalatu l-ilmi) dengan ilmunya menjadi orang yang takabbur, justru akan dapat menyengsarakannya ke lembah kehinaan. Syeikh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandary mengatakan keangkuhan adalah awal kesyirikan kepada Allah. Mengapa, karena di dalam diri orang yang angkuh dan sombong, ada perasaan dirinya hebat. Meminjam bahasa Jawa, disebut dengan adigung adiguna. Dalam bahasa Luqman Hakim, tokoh pendidik yang digambarkan dalam Alqur’an sebagai pendidik dalam keluarga yang sukses, sejak anak masih kecil sudah harus ditanamkan sifat dan karakter rendah hati, sopan santun, dan budi pekerti yang halus, dari cara bertutur kata atau berbicara, bersikap, dan berjalan. Anak yang terdidik budi pekerti yang baik, ia bersuara lemah lembut (layyin) seperti dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Orang yang dikaruniai harta yang lebih dibanding orang lain, berpotensi menjadikan dirinya sombong. Allah memberi gambaran sosok Abu Lahab. Ia menganggap dirinya akan bisa hidup dengan harta yang dikumpulkan dan ditumpuk-tumpuknya. “Binasalah kedua gangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa, tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar, yang di lehernya ada tali dari sabut” (QS. Al-Masad: 1-5). Demikian juga dengan jabatan. Jabatan adalah amanat yang musti dijalankan dengan adil. Tanggung jawabnya bukan hanya kepada manusia (publik) akan tetapi juga kepada Allah SWT. Karena itulah, Rasulullah SAW  “melarang” pada umat pengikut beliau, agar tidak meminta jabatan. Orang yang menduduki jabatan karena meminta, biasanya terbebani atas ipaya dan permintaannya itu. Sementara orang yang menjabat, bukan karena meminta, dimudahkan dan ditolong oleh Allah (Riwayat al-Bukhary). Allah juga sudah tunjukkan secara langsung dan kasat mata pada kita, banyak para oknum pejabat di semua lini  baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, yang mereka merasakan langsung “hukuman” di dunia ini, berupa dinginnya ruangan sempit di balik jeruji besi,  di lembaga pemasyarakatan. Meskipun ketika muncul “kasus maraknya jual beli fasilitas” di LP Sukamismin, membuat masyarakat terkaget-kaget. Karena LP “tak ubahnya” seperti tinggal di apartemen atau bahkan hotel mewah. Akan tetapi apalah artinya fasilitas LP yang dibuat serba mewah, jika hati dan fikirannya sama sekali tidak menikmati kemerdekaan dan “kemewahan” tersebut. Inilah balasan dunia yang harus dibayar tanpa menunggu giliran di akhirat akibat mereka gagal menjalankan amanat yang diembannya dengan jujur dan adil. Ibadah haji adalah proses ibadah untuk memutihkan keangkuhan dan dosa yang melumuri diri kita, agar setelah melaksanakan ibadah haji, seorang jamaah menjadi orang atau hamba Allah yang rendah hati, tawadlu’, dan menjadi manusia baru yang dalam denyutan nadi memompa aliran darah ke jantung dan hembusan nafas menghitup udara segar, teriringi dengan lantunan dzikir mengingat kebesaran Allah bacaaan tasbih, hamdalah, dan tahlil. Seseorang yang lisan, hati, dan fikirannya senantiasa dalam genggaman kasih sayang Allah, maka ia akan merasa sangat dekat dengan Allah. Kedekatan kepada Allah akan menjadikan diri seorang hamba terjaga karena yakin dirinya “melihat” Allah atau setidaknya ia yakin, bahwa Allah melihat dirinya. Karena itu tidak akan berbuat hal-hal yang tidak pantas dilakukan di hadapan-Nya. Ini yang dalam bahasa hadits Rasulullah saw, disebut dengan ihsan. Kala seorang yang melaksanakan ibadah haji dengan baik, maka ia akan mampu merasakan betapa sesungguhnya ibadah itu sangat menyenangkan. Tidak lagi ia berfikir bahwa apa yang dilakukannya adalah kewajiban, akan tetapi sudah menjadi kebutuhan dirinya. Tak akan lengkap jika di hari-harinya itu, ada yang kurang dari rangkaian ibadah kesehariannya itu. Itu saja masih belum cukup, karena ibadah tidak lagi pada posisi kewajiban dan kebutuhan. Akan tetapi sudah meningkat pada tingkatan bahwa ibadah yang dijalankannya itu adalah ungkapan cinta yang membara dalam hatinya, untuk diabdikan kepada kekasihnya. Pelajaran berharga diberikan oleh seorang sufi perempuan, Rabiah al-Adawiyah. Ia mengatakan, “Ya Allah apabila aku menjalankan ibadah karena ingin surga-Mu, maka jauhkanlah aku dari surga-Mu. Jika aku beribadah kepada-Mu, karena takut neraka-Mu, masukkanlah saja aku ke dalam neraka-Mu. Aku beribadah kepada-Mu hanyalah semata-mata sebagai ungkapan rasa cintaku kepada-Mu, sehingga tidak tersisa ruang dalam hatiku untuk mencintai selain Engkau”. Semoga para tamu Allah dapat menjalankan ibadah haji dengan baik, lancar, dan sempurna, serta menjadi haji yang mabrur. Allah a’lam bi sh-shawab. *) Penulis adalah Wakil Ketua PCNU Bandar Lampung/Dosen UIN Lampung/Pengurus Ganas Annar Bandar Lampung.


Editor:

Syiar Terbaru