Kemuliaan Menjadi Petani Menurut Nabi dan Para Ulama Salaf
Selasa, 24 September 2024 | 11:30 WIB
Yudi Prayoga
Penulis
Hari Tani Nasional di Indonesia diperingati setiap 24 September. Hari ini diperingati untuk menghormati peran penting para petani dalam pembangunan bangsa, terutama dalam sektor pertanian.
Tanggal ini dipilih sebagai Hari Tani Nasional karena bertepatan dengan disahkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pada 24 September 1960 oleh Presiden Soekarno.
UUPA ini dianggap sebagai tonggak penting dalam reformasi agraria di Indonesia, dengan tujuan untuk memberikan keadilan dalam pengelolaan lahan pertanian serta memperjuangkan hak-hak petani atas tanah.
Hari Tani Nasional menjadi momen untuk mengingat pentingnya kedaulatan pangan, peran pertanian dalam perekonomian nasional, dan meningkatkan kesejahteraan para petani.
Kemuliaan menjadi petani telah dijamin oleh Rasulullah saw dalam haditsnya, bahwa pahalanya adalah pahala jariyah yang tak putus walaupun si penanam sudah wafat, selama yang ditanamnya masih tumbuh di muka bumi.
Dilansir dari NU Online, Rasulullah saw pernah bersabda:
فلا يَغْرِسُ المُسْلِمُ غَرْسًا، فَيَأْكُلَ منه إنْسَانٌ، وَلَا دَابَّةٌ، وَلَا طَيْرٌ، إلَّا كانَ له صَدَقَةً إلى يَومِ القِيَامَةِ
Artinya: Tidaklah seorang muslim menanam tanaman, kemudian manusia, hewan melata begitu pun burung memakan [hasil]nya, melainkan baginya sedekah hingga hari kiamat nanti (HR Muslim).
Meninjau hadits ini, Ibnu Hajar Al-‘Asqallani dalam Fathul Bari jilid V, halaman 4, menyatakan bertani dan menanam tumbuh-tumbuhan akan menuai pahala jariyah, bahkan ketika pohon tersebut berpindah kepemilikan, beliau menyebutkan:
أن أجر ذلك يستمر ما دام الغرس أو الزرع مأكولا منه ولو مات زارعه أو غارسه ولو انتقل ملكه إلى غيره
Artinya: Pahalanya tetap ada selama tanaman atau hasil panen tersebut dimakan, meskipun penanam atau petaninya telah meninggal dunia, walaupun kepemilikannya berpindah kepada orang lain.
Senada dengan Ibnu Hajar, Al-Walawi dalam Al-Bahruts Tsajjaj Syarh Muslim menegaskan:
حصول الأجر للغارس والزارع، وإن لم يقصدا ذلك، حتى لو غَرَس، وباعه، أو زرع وباعه، كان له بذلك صدقة؛ لتوسعته على الناس في أقواتهم، كما ورد الأجر للجالب، وإن كان يفعله للتجارة والاكتساب
Artinya: Pahala diperoleh bagi yang menanam dan yang menggarap pertanian, meskipun tanpa sengaja. Sekalipun dia menanam atau bertani kemudian menjualnya, maka itu menjadi sedekah baginya sebab apa yang ia tanam menjadi penghidupan masyarakat. Begitupun bagi si pembawa hasil panen ada pahala, meskipun aktivitasnya ditujukan untuk berdagang dan mendapatkan penghasilan (Al-Walawi, Al-Bahrul Muhith ats-Tsajjaj, [Dar Ibnil Jauzi, 1436], jilid 27, hal. 314).
Memilih profesi sebagai petani dahulu kala menurut para ahli fiqih adalah pekerjaan terbaik yang dapat dipilih kaum muslimin. Alasannya adalah dengan pertanian, manfaat yang dituai sangat meluas karena berkaitan dengan hajat orang banyak dan kebutuhan pokok manusia, yaitu makan.
Selain itu, dengan profesi sebagai petani, seseorang akan lebih dekat kepada sifat dan sikap tawakal kepada Allah, dibanding dengan pekerjaan lainnya. Barangkali, rasionalisasi dari kedekatan pada ketawakalan ini dimaknai dengan hasilnya yang dapat dimakan sendiri tanpa harus ia bersusah payah untuk mencari penghidupan lainnya.
Syekh Zakariya Al-Anshari dalam Asnal Mathalib menyebutkan:
أَفْضَلُ ما أَكَلَتْ منه كَسْبُكَ من زِرَاعَةٍ لِأَنَّهَا أَقْرَبُ إلَى التَّوَكُّلِ وَلِأَنَّهَا أَعَمُّ نَفْعًا وَلِأَنَّ الْحَاجَةَ إلَيْهَا أَعَمُّ
Artinya: Makanan terbaik yang ia konsumsi yaitu yang bersumber dari [profesi dalam sektor] pertanian, karena lebih mendekati sifat tawakal, juga manfaatnya lebih luas, begitupun kebutuhan [pada hasil pertanian] lebih banyak (Zakariya Al-Anshari, Asnal Mathalib fi Syarh Raudhith Thalib, [Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000], jilid I, halaman 569).
Menurut para ahli fiqih bercocok tanam atau mendalam profesi di sektor pertanian merupakan salah satu pekerjaan terbaik selain berdagang dan memproduksi barang.Hal ini diperkuat dengan keterangan An-Nawawi dalam kutipannya atas pendapat Al-Mawardi:
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ أُصُولُ المكاسب الزارعة وَالتِّجَارَةُ وَالصَّنْعَةُ وَأَيُّهَا أَطْيَبُ فِيهِ ثَلَاثَةُ مَذَاهِبَ لِلنَّاسِ (أَشْبَهُهَا) بِمَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ أَنَّ التِّجَارَةَ أَطْيَبُ قَالَ وَالْأَشْبَهُ عِنْدِي أَنَّ الزِّرَاعَةَ أَطْيَبُ لِأَنَّهَا أَقْرَبُ إلَى التَّوَكُّلِ
Artinya: Al-Mawardi berkata, Pangkal penghasilan manusia adalah pertanian, perdagangan, dan produksi. Manakah yang terbaik di antara tiga profesi tersebut? Pendapat Al-Asyhbah dalam Mazhab Syafi'i bahwa berdagang adalah profesi terbaik, sedangkan menurutku bertani adalah profesi terbaik karena lebih dekat pada sifat tawakal (An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, [Beirut: Darul Fikr,], jilid IX, halaman 59).
Dari pernyataan hadits dan pendapat para ulama, bahwa menjadi profesi tani merupakan suatau kemuliaan dan kehormatan bagi manusia, karena lebih dekat dengan tawakal dan takwa.
Selain itu menjadi petani merupakan pekerjaan yang pahalannya terus mengalir, karena selalu memberi sedekah kepada orang lain, bahkan makhluk lain, selama pohon yang ia tanam tetap hidup dan bermanfaat bagi makhluk Allah swt.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Ilmu dan Adab Lebih Tinggi daripada Nasab
2
3 Hal yang Perlu Diperhatikan dalam Membangun Masjid
3
Khutbah Jumat: Bijak dalam Bermedia Sosial
4
Hindari Tafsir Liberal dan Radikal pada Pancasila
5
PCNU Pringsewu Imbau Masyarakat Senantiasa Menjaga Kondusifitas Daerah
6
Pernikahan, Ibadah Paling Panjang dalam Kehidupan Manusia
Terkini
Lihat Semua