Warta

Parameter Kaya dan Miskin

Ahad, 14 September 2014 | 22:41 WIB

[caption id="attachment_327" align="alignnone" width="514"]kaya vs miskin sumber foto: mudrajad.com[/caption] Pengamatan masyarakat terhadap status kaya dan miskin menjadi persoalan yang penting. Hal ini terkait dengan beberapa persoalan agama, seperti zakat dan ‘udhiyah (kurban). Mereka menilai bahwa seseorang yang memiliki harta yang banyak dalam bentuk apapun dianggap sebagai orang kaya. Sedangkan mereka yang hartanya sedikit meskipun memiliki pekerjaan yang mampu mencukup kebutuhan dirinya dan keluarganya dianggap miskin. Pertanyaan: Apakah dapat dibenarkan pandangan masyarakat dalam menggolongkan kelompok orang kaya dan miskin seperti deskripsi diatas, terkait hak penerimaan zakat menurut Mahzahib al-Arba’ah? Jawaban: Sebenarnya definisi fakir miskin dalam al Mahzahib al Arba’ah adalah sebagai sebagai berikut - Hanafiyyah: fakir adalah orang yang memiliki harta berkembang (nami) kurang dari satu nishab (senilai 200 dirham/lebih kurang 754 gram perak). Atau orang yang memiliki harta tidak berkembang mencapai nishab namun habis untuk memenuhi kebutuhan primer. Sedangkan miskin adalah orang yang tidak memiliki harta sama sekali. - Malikiyah: fakir adalah orang yang memimiliki harta namun tidak mencukupi kebutuhan makanan pokok selama satu tahun. Dalam riwayat Ibn Qasim, orang yang memiliki lebih dari empat puluh dirham perak tidak berhak menerima zakat. Sedangkan miskin adalah orang yang tidak memiliki harta sama sekali. - Syafi’iyah: fakir adalah orang yang tidak memiliki harta atau keterampilan dan kesempatan kerja sama sekali. Atau memiliki kemampuan kerja namun tidak mencukup setengah dari kebutuhan primernya untuk kebutuhan dirinya dan orang yang menjadi tanggung jawab nafkahnya selama umur ghalib. Sedangkan miskin adalah orang yang memiliki harta namun tidak memenuhi kebutuhan hidupnya secara penuh. - Hanabilah: Fakir adalah orang yang tidak mempunyai harta sama sekali atau mempunyai harta namun tidak mencukupi setengah dari kebutuhan hidupnya. Ahmad Ibn Hanbal dalam pendapatnya yang menjadi pedoman mua’akhirin menegaskan, standar kaya-fakir adalah kebutuhan hidup. Namun dalam pendapatnya yang diikuti Mutaqaddimin Hanabilah, bila orang yang memiliki lima puluh dirham (sekitar 135.75 gram perak) atau emas yang senilai itu tidak dapat dimasukkan dalam golongan fakir meskipun harta tersebut tidak mencukupi kebutuhannya. Sedangkan definisi miskin, Hanabilah tidak jauh berbeda dengan Syafi’iyah. Sehingga pandangan masyarakat tersebut dapat dibenarkan untuk menghantarkan dugaan (adz-Dzon) bahwa seseorang tergolong fakir atau kaya, karena telah dilandasi bukti dzhohir yang nyata. Namun masalah berhak menerima dan tidaknya, harus sesuai dengan kenyataan sebagaimana definisi di atas. (Rubrik ini memaparkan hasil Bahstul Masail dari Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PWNU Lampung. Bahtsul Masail adalah sebuah kegiatan (forum) diskusi keagamaan untuk merespon problematika aktual yang muncul dalam kehidupan yang membutuhkan penetapan hukum atau solusi.)


Terkait