Syiar

Menjaga Lidah dengan Berpuasa

Kamis, 8 Juni 2017 | 09:00 WIB

Menjaga Lidah dengan Berpuasa Oleh : Nindia Puspitasari (Alumnus Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)   DI BULAN Ramadhan ini setiap muslim memiliki kewajiban untuk menjalankan ibadah puasa dengan menahan lapar dan dahaga mulai dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Namun ada sebagian di atara kaum muslimin yang melakukan ibadah puasa tetapi ia tidaklah mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga saja yang menghinggapi tenggorokannya. Sebagaimana yang di sabdakan oleh beliau Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga”. (HR. Ath Thobroni). Hadits tersebut dapat kita pahami bahwasanya tidak cukup bagi seseorang yang berpuasa hanya menahan rasa lapar dan dahaga yang disebabkan karena menahan makan dan minum. Ini mengindikasikan bahwa puasa yang sebenarnya seharusnya lebih dari itu. Umat muslim diwajibkan berpuasa dari seluruh kenikmatan jasmaniah serta dituntut untuk dapat mengendalikan diri secara emosional dan ruhaniah. Puasa emosional berarti menahan dari mengumbar emosi seperti marah, benci maupun cinta. Adapun puasa ruhaniah itu termasuk puasa tertinggi yang menggantungkan hati hanya kepada Allah Swt serta menjauhkan diri dari pikiran-pikiran kotor yang tidak berguna. Puasa ruhaniah ini merupakan puasanya para Nabi. Ketika semua unsur dalam diri berpuasa, mulai dari jasmani, ruhani dan emosi, berarti seseorang tersebut telah menundukkan seluruh potensi yang dimiliki di bawah rangka kekuatan Sang Pencipta. Inilah saat di mana pengawasan Allah Swt dan hidayah-Nya akan senantiasa hadir dalam diri seseorang. Segala perilaku, melalui potensi nurani, senantiasa merasa diawasi dan diperhatikan oleh Allah Swt. Bahayanya Lidah Segala puji bagi Allah Swt yang telah menciptakan mulut dan lidah. Mulut dan lidah ini bukan hanya simbol dari alat penyuplai makanan. Tapi juga sebagai produsen bagi ucapan, omongan dan gagasan. Dengan lidah kita dapat berkomunikasi dan menentukan rasa. Dengan lidah ini juga kita bisa membuat lawan bicara kita menjadi tergerak kepada kebaikan ataupun keburukan, membuat lawan bicara tersenyum bahagia ataupun menangis perih. Puasanya mulut ataupun lidah dari makanan dan minuman semestinya menjadi alasan penting untuk turut juga menahan diri dari segala ucapan yang bisa mengakibatkan orang lain sakit hati atau dusta yang merugikan orang lain. Jika diamati, tidak terhitung banyaknya ajaran yang memerintahkan agar senantiasa menjaga lidah. Perintah untuk menjaga lidah ini bukan semata-mata muncul karena besarnya bahaya yang disebabkan lidah, tetapi juga terkait besarnya peran lidah dalam memenuhi dua kebutuhan mendasar dan terpenting bagi setiap manusia, yakni makan dan bicara. Di balik besarnya manfaat lidah bagi manusia, tersimpan pula dahsyatnya bahaya yang ditimbulkan lidah. Tidak hanya ketika berbicara, saat diam, lidah pun bisa mengakibatkan pemiliknya menjadi berdosa. Saat lidah berbicara batil, baik berbicara kepada Allah Swt maupun manusia, saat itu pulalah dosa mengalir kepada pelakunya. Perkataan yang diucapkan lidah, tidak terlepas dari empat hal: ucapan yang seluruhnya mengandung kejelekan, ucapan yang seluruhnya mengandung manfaat, ucapan yang mengandung kejelekan dan manfaat, atau ucapan yang tidak mengandung manfaat maupun kejelekan. Dari keempat itu tentu, yang ideal adalah ucapan yang seluruhnya mengandung manfaat. Tapi, yang namanya lidah, tidak bertulang. Betapa banyak orang yang tergelincir sekaligus dirugikan akibat pengakuan dusta yang disebabkan oleh lidah. Di samping merugikan diri pemiliknya, lidah juga bisa merugikan orang lain. Saat dibiarkan lidah terdiam sementara kebatilan terjadi secara marak, maka seseorang bisa berpotensi untuk mendapatkan dosa. Atau paling tidak, ia akan digolongkan sebagai orang yang imannya paling lemah, karena tetap diam saat melihat kemungkaran terjadi di sekitarnya. Banyak sebagian orang yang menganggap enteng urusan lidah. Manusia semakin ringan untuk menggosip, menggunjing (ghibah), bahkan memfitnah orang lain. Semuanya terkadang dilakukan tanpa malu-malu. Tidak dipungkiri bahwa aktivitas yang bernama ghibah bisa menyeret menjadi fitnah, pencemaran nama baik maupun tindakan lainnya yang bisa digugat secara hukum. Tidak disadari pula, jika petentangan besar-besaran antara dua insan, bisa-bisa malah turut melebarkan jurang permusuhan di antara keduanya. Lebih parahnya lagi, nyaris dari semua materi yang digosipkan itu tidak ada yang bisa diambil hikmah dan teladannya. Semuanya hanya menjanjikan kesenangan sesaat atau mengeksploitasi derita yang menimpa orang lain. Gunjingan dan gosip itu kerap menyangkut kehidupan pribadi yang sangat sensitif. Gunjingan hanya memiliki dua kemungkinan, jika banar termasuk perbuatan ghibah dan jika tidak benar disebut bohong. Keduanya, sama-sama berdosa. Menggunjing orang lain itu sama halnya dengan membuka aib sesama. Sebagaimana dalam firman-Nya, Surat Al-Hujarat ayat 12, Allah Swt melarang keras aktifitas seperti ini. Menggunjing atau menceritakan aib orang lain, termasuk dosa besar. Dalam firman-Nya, perbuatan ini disamakan dengan memakan bangkai saudara sendiri. Dosanya bertambah besar lagi apabila aib yang digunjingkan itu ternyata tidak pernah ada. Perbuatan ini sudah melangkah kepada fitnah dan adu domba. Pelaku tersebut diharamkan masuk surga. Terus bertaqwalah kepada Allah Swt, karna sesungguhnya, Allah Swt Maha penerima tobat dan Maha penyayang. Puasanya Lidah Mulut dan lidah yang berpuasa adalah mulut yang senantiasa terjaga dari sembarang makanan, minuman dan ucapan. Puasa kita harus meniru puasanya Siti Maryam sejenak setelah melahirkan putranya yang shaleh, Isa As. Siti Maryam saat mengalami hari-hari yang cukup sulit karena dituduh melakukan perbuatan zina di satu sisi, dan menyampaikan kebenaran wahyu Allah Swt melalui Isa As di sisi lain, menjadikan dirinya mampu menjaga, memelihara dan mengendalikan ucapannya agar senantiasa berada dalam kebenaran serta tidak mudah mengumbar emosinya sekalipun itu sangat mudah ia lakukan. Sia-sia belaka, jika mulut ataupun lidah bisa menahan diri dari makanan dan minuman, namun tidak bisa berhenti menyakiti orang lain dengan mencaci, mengumpat, dan mengeluarkan kata-kata kotor. Tujuan umat Islam berpuasa ini, guna meninggalkan segala pantangan, mulai dari yang terlihat, terasa, dan yang tidak terlihat dan terasa. Sayangnya, sering terdapat orang yang meninggalkan satu pantangan namun mengerjakan pantangan yang lain. Inilah puasa yang kosong dari nilai dan pahala, karena tidak menyelami tujuan hakiki berpuasa. Terdapat dua hal yang dapat dilakukan oleh seorang muslim melalui mulutnya atau lidahnya, yaitu : berkata yang baik atau lebih baik diam. Apabila tidak bisa mengeluarkan kata-kata yang  baik, gagasan yang berguna dan ucapan yang terpuji, sebaiknya diam mulut sebelum akhirnya menyakiti orang lain. Diam, saat tidak mampu berkata baik adalah emas, karna sangking berharganya. Tentu saja bukan berarti harus diam dari bicara tentang kebenaran maupun kesaksian yang benar. Melainkan, diam yang sesuai dengan tempatnya. Mengendalikan mulut dan lidah, itu berarti kemampuan memilih kesempatan mana saat yang layak berbicara, mana juga saat yang tidak mendukung berbicara. Lidah tidak bertulang. Memelihara omongan dan ucapan merupakan kewajiban setiap manusia yang tidak kalah pentingnya dengan kewajiban ibadah fisik lainnya. Allah Swt berfirman, “Amat besar kebencian Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”, (QS. Ash-Shaf : 3). Selain itu, dalam sebuah sindiran pedas, Rasulullah Saw pernah mengingatkan kepada semua orang yang berpuasa, “Dari pada tidak bisa menahan diri dari kata-kata bohong dan kotor saat berpuasa mendingan burbuka sajalah”. Sindiran ini, mengisyaratkan betapa puasa bukan hanya melibatkan fisik, tetapi juga melibatkan segenap hati dan perasaan. Menjaga lidah dari omongan kotor dan jijik, sejatinya bukan sebatas perintah temporal saat menunaikan ibadah puasa, sholat dan haji. Seyogianya manusia terus memelihara lidah dalam kehidupan sehari-hari. Semoga di bulan Ramadhan ini kita bisa menjaga lidah kita. Mari kita sama-sama “saumu kaaffa” (puasa keseluruhan), baik puasa lidah, puasa mata, puasa makan, puasa minum dan puasa dari segala perbuatan yang akan merusak pahala puasa kita. Semoga kita diberi kemampuan oleh Allah Swt untuk melaksanakan perintah-Nya dan perintah Rasul-Nya dan diberi kemampuan untuk mengejar keutamaan tersebut. (*)              


Terkait