MENJADI manusia yang saleh dan salehah, merupakan keinginan banyak orang. Terbukti dengan orang tua yang selalu mendoakan anaknya dengan kata-kata semoga menjadi anak yang saleh atau salehah. Atau seorang wanita yang mencari calon suami dengan kriteria saleh, atau pria yang mencari calon pendamping hidupnya yang salehah.
Umumnya di masyarakat luas, pemahaman tantang saleh yakni manusia yang memiliki adab, tata krama yang baik dan memiliki pengetahuan agama (Islam) yang mumpuni. Sehingga jika seseorang memiliki dua kriteria di atas maka akan dipandang saleh di mata masyarakat luas, meski sebagian manusia ada yang memiliki definisi tersendiri dari menyebutnya saleh atau salehah, menurut ruang pikirnya masing-masing.
Bagaimana cara kerja saleh tersebut? Banyak kisah di masyarakat tentang bagaimana menimbang baik dan buruknya seseorang. Biasanya terjadi dua kontradiksi yang saling di klaimkan oleh beberapa orang.
Seperti ada si A yang ahli ibadah, tidak pernah telat shalat 5 waktu berjamaah di masjid, selalu berpuasa wajib dan sunah, khatam Al-Qur’an 30 juz sebulan sekali. Namun tidak peka terhadap sosial, sering menghina pelaku maksiat, sumpah serapah, mendoakan kejelekan, melakukan kekerasan atas nama agama, bom bunuh diri, menghancurkan bangunan warteg yang buka di bulan puasa, dan tak segan-segan menjarah uangnya.
Di lain kisah ada juga, si B yang juga beragama Islam yang meski dalam kesehariannya tidak pernah melaksanakan shalat 5 waktu, kadang bolong-bolong, tidak rajin berpuasa, tetapi gemar shadaqah, selalu membantu tetangga, tidak pelit, dan tidak mencaci maki. Kadang juga waktunya habis untuk mencari rezeki yang halal namun sampai lupa waktu shalat.
Yang mana yang paling benar, dan yang mana yang harus diikuti? Dari dua peristiwa di atas, masyarakat terbagi menjadi 2 kubu dalam menilai kelayakan dari kesalehan masing-masing.
Kubu si A akan membela si A, karena ibadahnya, sedang kubu B akan membela si B, karena sosialnya.
Kita tidak perlu bingung dalam mengambil sikap dari ke-2 peristiwa di atas, juga tidak perlu jauh-jauh untuk mencari contoh. Cukup contoh saja Rasul kita Nabi Muhammad Saw yang dalam kesehariannya saleh secara ritual (ibadah mahdlah) dan saleh secara sosial (ibadah ghairu mahdlah).
Saleh secara ritual, Nabi tidak pernah meninggalkan salat 5 waktu semenjak diperintahkan oleh Allah ketika Mi’raj. Selalu berpuasa ramadhan, bahkan beristigfar 100 kali setiap hari, meski tidak memiliki dosa.
Secara sosial, Nabi orang yang dermawan, ramah, kasih sayang. Jika kita mengambil contoh kesosialan Nabi, maka sangat banyak sekali, seperti Nabi yang selalu memberi makanan kepada seorang wanita tua buta dari golongan Yahudi sampai akhir hayat, meski wanita tersebut selalu mencemooh Nabi, karena ketidaktahuannya. Hingga ketika Nabi wafat wanita tua tersebut baru mau masuk Islam.
Nabi juga gemar mendoakan kebaikan kepada manusia baik yang beriman maupun yang ingkar. Seperti mendoakan penduduk Thaif yang ingkar kepada Nabi, ketika Nabi datang ke kota, dilempari batu, sampai Nabi berdarah, sehingga Malaikat marah kepada penduduk Thaif dan memohon kepada Nabi untuk memusnahkannya.
Tapi Nabi tidak demikian. Nabi hanya mendoakan kelak keturunannya ada yang beriman kepadanya. Dan benar, Allah mengabulkan kebaikan doa Nabi, sehingga anak keturunan penduduk Thaif masuk Islam.
Dari kisah Nabi Saw di atas, maka kita diharuskan memiliki 2 komponen tersebut agar menjadi orang yang saleh atau salehah.
Ibadah yang diajarkan Nabi selalu memiliki dimensi sosial. Seperti shalat berjamaah di masjid mengajarkan kerukunan sesama .uslim, kesetaraan status dan pusat Interaksi manusia. Kemudian zakat yang juga memiliki dimensi sosial yang tinggi yakni bershadaqah kepada orang yang tidak mampu dan fakir miskin.
Sedikit demi sedikit, kita harus bisa mencontoh Rasulullah, karena Rasul sebaik-baik teladan bagi umatnya (uswatun hasanah). Ibadah mahdlah dan ghairu mahdlah selain diwajibkan dan dianjurkan bagi umat Islam. Juga sebagai bukti kita cinta kepada Allah dan kepada cintaannya.
Yudi Prayoga/Kontributor NU Online Lampung