Di tengah arus deras globalisasi yang menggulung Indonesia, tradisi lokal sering kali terancam dan terkikis. Salah satu tradisi yang berhasil bertahan adalah Sekura, sebuah ritual yang hidup di Lampung Barat.
Lebih dari sekadar perayaan Idul Fitri, Sekura adalah sebuah bentuk kebersamaan yang mencerminkan kekuatan budaya lokal dalam menghadapi tantangan modernitas dan sekularisme.
Sekura adalah perpaduan antara agama, budaya, dan sosial. Dalam festival ini, masyarakat mengenakan topeng yang disebut sekura, dan merayakan kegembiraan dengan cara yang sangat khas.
Bagi masyarakat Lampung Barat, Sekura bukan hanya sekadar prosesi untuk menandai berakhirnya Ramadhan. Lebih dari itu, ia menjadi perwujudan dari pelestarian tradisi yang telah turun-temurun. Sekura berfungsi sebagai penjaga nilai-nilai budaya dan agama yang tak lekang oleh waktu.
Dalam konteks Indonesia yang terus bergerak maju, tradisi seperti Sekura menunjukkan pelestarian budaya lokal bukanlah hal yang sia-sia. Dalam situasi di mana globalisasi sering kali memaksakan budaya asing dan teknologi baru, Sekura tetap teguh pada akar budaya masyarakat Lampung Barat.
Baca Juga
Merayakan Kemenangan
Festival Sekura adalah bentuk kulturalisme, yang menegaskan identitas budaya tak bisa begitu saja dilupakan demi kemajuan zaman. Masyarakat Lampung Barat melalui Sekura mengajarkan kita kebudayaan adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosial yang harus terus dijaga.
Namun, ada dimensi lain dari Sekura yang tak kalah penting, yaitu pluralisme. Dalam perayaan Sekura, meski mayoritas peserta beragama Islam, keberagaman tetap dirayakan. Topeng yang dikenakan setiap peserta bisa mewakili berbagai lapisan sosial dan etnis.
Masyarakat yang berasal dari berbagai latar belakang merayakan keberagaman ini dalam semangat kebersamaan. Dalam banyak hal, Sekura menjadi ajang untuk mempererat tali silaturahim antarwarga, sebuah contoh nyata bagaimana toleransi berakar kuat di tengah masyarakat yang penuh perbedaan.
Di saat yang sama, Sekura juga menjadi mitigasi terhadap sekularisme yang berkembang pesat di banyak bagian dunia. Di negara-negara yang mengadopsi sekularisme dengan ketat, agama sering kali dianggap sebagai urusan pribadi yang tak boleh mencampuri kehidupan publik.
Sekura mengingatkan kita bahwa agama dan budaya tak perlu dipisahkan. Tradisi ini memberikan ruang bagi agama untuk tetap menjadi bagian integral dari kehidupan sosial tanpa harus teralienasi oleh modernitas yang semakin individualistik.
Namun, tantangan terbesar bagi tradisi seperti Sekura adalah bagaimana ia bisa bertahan dalam kehidupan yang semakin modern dan pragmatis. Dalam masyarakat yang makin terhubung dengan dunia luar melalui teknologi dan media sosial, nilai-nilai tradisional seperti yang terkandung dalam Sekura bisa saja tergerus.
Oleh karena itu, Sekura bukan hanya sekadar perayaan tahunan, tetapi sebuah perlawanan budaya terhadap homogenisasi global yang cenderung mengikis keragaman budaya lokal.
Bagi masyarakat Lampung Barat, Sekura adalah cara untuk mengatakan kepada dunia bahwa meskipun zaman terus berubah, nilai-nilai kebersamaan, toleransi, dan keagamaan tetap menjadi pondasi yang harus dijaga.
Di tengah berbagai tantangan globalisasi, tradisi seperti Sekura menawarkan kita sebuah pelajaran tentang pentingnya melestarikan apa yang kita miliki, bukan hanya sebagai kenangan masa lalu, tetapi sebagai kekuatan yang mampu membentuk masa depan.
Di zaman di mana banyak orang kehilangan arah dalam perubahan yang begitu cepat, Sekura mengajarkan kita budaya dan agama adalah dua hal yang harus hidup berdampingan, menjaga keseimbangan, dan memperkaya kehidupan sosial kita.
Sekura, dengan segala kesederhanaannya, menunjukkan betapa kuatnya sebuah tradisi dalam menghubungkan masa lalu dengan masa depan.
Dimas Adea Putra, Ketua Rayon Pertanian PMII Universitas Lampung