Pernik

Karbala: Tragedi Kemanusiaan dan Luka Peradaban

Senin, 7 Juli 2025 | 10:14 WIB

Karbala: Tragedi Kemanusiaan dan Luka Peradaban

Tragedi Karbala (Ilustrasi: NU Online)

Setiap tanggal 10 Muharram, umat Islam di berbagai penjuru dunia mengenang satu peristiwa yang tak hanya mencabik jiwa kaum Muslim, tapi juga mengguncang langit sejarah: tragedi Karbala. Peristiwa syahidnya cucu Nabi Muhammad ﷺ, Al-Husain bin Ali, bersama 72 keluarga dan pengikutnya di padang tandus Karbala pada tahun 61 Hijriyah (680 Masehi) bukan sekadar insiden politik. Ia adalah ujian akhlak dan integritas tertinggi dalam sejarah Islam. Karbala memperlihatkan kepada dunia bahwa mempertahankan kebenaran kadang membutuhkan pengorbanan paling mutlak: nyawa.

 

Imam Husain bukan seorang pembangkang. Ia tidak membawa pasukan untuk merebut tahta, tetapi membawa keluarga, anak-anak, perempuan, dan segelintir sahabat yang setia. Ia meninggalkan Madinah menuju Kufah karena menerima ribuan surat dukungan dari penduduk Kufah yang menginginkan pemimpin adil sebagai alternatif atas kekuasaan Yazid bin Muawiyah. Namun di tengah jalan, janji politik itu berubah menjadi jebakan maut.

 

Nabi Muhammad ﷺ sejak jauh hari telah memberi isyarat akan tragedi ini. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah dan tercatat dalam Musnad Ahmad dan al-Ṭabarī, disebutkan bahwa malaikat Jibril membawa segenggam tanah dari Karbala kepada Nabi. Beliau bersabda, “Ini adalah tanah tempat cucuku akan terbunuh.” Ummu Salamah menyimpannya dalam botol, dan ketika Husain gugur, tanah itu berubah warna menjadi darah. Hadits ini juga dikuatkan oleh perawi-perawi Sunni seperti Al-Hakim dalam al-Mustadrak dan oleh Syiah dalam al-Irsyād karya Syekh Mufid.

Hadits lain yang masyhur datang dari Imam Tirmidzi, yang meriwayatkan ucapan Nabi: “Husain dariku dan aku dari Husain. Allah mencintai siapa yang mencintai Husain.” Ini bukan semata ungkapan kasih sayang, tapi afirmasi kenabian bahwa perjuangan Husain adalah perjuangan Islam itu sendiri.

 

Ketika pasukan Yazid mengepung rombongan kecil Husain dan memblokir akses air dari Sungai Eufrat, bahkan kepada anak-anak dan bayi, tragedi Karbala mencapai titik kemanusiaan paling gelap. Ali Asghar, bayi Husain, terbunuh oleh anak panah di pelukan ayahnya. Kepala-kepala para syuhada dipenggal dan diarak ke Kufah, lalu Damaskus. Perempuan dan anak-anak dari keluarga Nabi ﷺ dijadikan tawanan. Dunia Islam terjungkal dalam ironi: darah keturunan Rasul ditumpahkan oleh orang-orang yang mengaku Muslim.

 

Kitab Maqtal al-Husain karya Abu Mikhnaf menjadi sumber utama yang mendetailkan kejadian ini, dan diakui validitasnya oleh sejarawan Sunni seperti al-Ṭabarī. Ia menuliskan, “Belum pernah kulihat kesabaran seperti sabarnya Husain, padahal semua keluarganya gugur di hadapannya.”

 

Langit menangis, nurani bangkit

Tragedi Karbala tidak hanya mengguncang umat manusia, tapi juga menjadi bagian dari rekaman fenomena alam yang luar biasa. Imam al-Suyuthi dalam Tarikh al-Khulafa’ mencatat bahwa setelah syahidnya Husain, matahari kehilangan sinarnya, dan langit memerah seperti darah selama tujuh hari. Bintang-bintang tampak di siang hari, dan langit tidak menunjukkan terang seperti biasanya. Sejarawan Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam al-Iṣābah fī Tamyīz al-Ṣaḥābah menegaskan bahwa masyarakat Kufah dan Syam menjadi saksi akan “kemarahan langit”.

 

Tanda-tanda kosmik ini disebutkan pula oleh al-Tabari dalam narasi yang dikutip dari saksi-saksi sezaman. Dalam salah satu riwayat, disebut bahwa ketika kepala Husain dibawa melewati Kufah, langit berubah, debu dan angin keras berputar, dan bumi terasa bergetar ringan. Beberapa ulama bahkan menyebut bahwa di gereja-gereja Nasrani pada masa itu, salib-salib pecah sendiri saat kepala cucu Nabi ﷺ dibawa lewat.

 

Kitab al-Luhuf karya Ibnu Ṭāwūs menyebut bahwa tanah-tanah di sekitar Karbala menjadi merah selama beberapa hari setelah tragedi itu. Bahkan riwayat dalam tradisi Kristen Timur menyatakan bahwa pada hari itu, langit gelap dan seolah kehilangan arah mata angin.

 

Fenomena ini tidak hanya menunjukkan kesedihan alam atas kezaliman itu, tetapi juga memperkuat keyakinan bahwa Karbala adalah peristiwa kosmik, bukan hanya politis. Sebagaimana dijelaskan oleh Dr. Ali Shariati, intelektual Muslim kontemporer: “Karbala bukan sejarah yang terjadi, tapi sejarah yang sedang terjadi terus-menerus di setiap zaman.”

 

Pesan Husain bukan untuk umat atau mazhab tertentu. Ia adalah suara dari padang sunyi yang berkata: jangan kompromi pada kezaliman. Maka tak mengherankan jika tokoh non-Muslim seperti Mahatma Gandhi berkata, “Saya belajar dari Husain bagaimana menjadi pemenang dalam penindasan.” Ini menegaskan bahwa nilai Karbala adalah nilai universal.

 

Refleksi abadi

Indonesia sebagai negeri mayoritas Muslim harus menjadikan Karbala sebagai cermin moral. Tragedi ini mengajarkan bahwa diam terhadap kezaliman adalah bentuk pengkhianatan terhadap kebenaran. Dalam masyarakat yang kian terpolarisasi, kita memerlukan spirit keberanian Husain: bahwa yang benar harus dibela, meski sendirian.

 

Sebagaimana Imam al-Ghazali menulis dalam Ihya’ Ulum al-Din, menangisi tragedi Husain bukanlah bentuk kesia-siaan, melainkan sarana menumbuhkan empati dan semangat menolak kebatilan. Dan sebagaimana pesan Zainab binti Ali di hadapan Yazid, yang ia hadapi dengan kepala tegak dan tanpa rasa takut, maka Karbala adalah pelajaran bahwa keteguhan moral bisa mengalahkan kekuasaan yang paling bengis sekalipun.

 

Tragedi ini juga penting untuk direfleksikan lintas mazhab. Sunni dan Syiah, Sufi dan Salafi, semuanya mengakui kemuliaan Husain dan kekejaman Karbala. Maka memperingatinya bukan tindakan sektarian, melainkan kemanusiaan.

 

Kita tidak butuh sekadar mengenang, tapi mewarisi semangatnya: menolak kompromi terhadap kebusukan kekuasaan, menjaga martabat kebenaran, dan berani menjadi terang di tengah gelap. Karbala hidup selama masih ada hati yang bergetar ketika keadilan diinjak. Dan selama dunia ini masih ada penindasan, maka nama Husain akan terus disebut: bukan karena ia terbunuh, tapi karena ia bangkitkan nurani.

 

Sumber bacaan yang digunakan:

Musnad Ahmad bin Hanbal: Hadits tanah Karbala oleh Ummu Salamah

Al-Mustadrak al-Hakim, al-Irsyād (Syekh Mufid): Hadits tanah menjadi darah

Tarikh al-Khulafa’ Imam Jalaluddin al-Suyuthi: tanda-tanda langit

Tarikh al-Tabari riwayat peristiwa dan saksi

Al-Iṣābah fī Tamyīz al-Ṣaḥābah Ibn Hajar al-‘Asqalani

Maqtal al-Husain Abu Mikhnaf

Al-Luhuf Ibn Ṭāwūs

Ihya’ Ulumuddin Imam al-Ghazali

Ucapan Mahatma Gandhi (dikutip dalam “Husayn: The Savior of Islam”)

 

H. Wahyu Iryana, Penulis Buku Historiografi Islam