Setiap perjalanan memiliki titik awal. Setiap perubahan memerlukan persiapan. Dan setiap tangga menuju kebajikan selalu dimulai dengan langkah pertama. Dalam tradisi kita, dikenal istilah munggah, pungggahan, dan munggahan.
Secara bahasa, munggah berarti naik atau meningkat, pungggahan mengacu pada peristiwa naiknya sesuatu ke tingkat yang lebih tinggi, sementara munggahan menjadi momen spiritual yang kita rayakan sebelum Ramadhan.
Ketiganya memiliki makna yang sama: to elevate menaikkan kualitas diri, mempersiapkan hati, dan mengokohkan niat sebelum memasuki bulan yang penuh rahmat.
Bulan yang akan kita masuki bukan sekadar bulan menahan lapar dan dahaga, tetapi bulan transformasi bulan yang seharusnya membuat kita munggah, naik ke derajat muttaqin. Hal ini sesuai dengan tujuan utama puasa yang Allah firmankan dalam Al-Qur'an:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (QS Al-Baqarah: 183)
Namun, munggah ke derajat itu tidak terjadi begitu saja. Ia membutuhkan kesiapan, niat yang lurus, serta kesediaan untuk meninggalkan beban yang menghambat perjalanan. Dan munggahan adalah kesempatan untuk menanggalkan beban-beban itu.
Munggahan mengajarkan kita untuk tidak datang ke Ramadhan dengan tangan hampa. Ada tiga hal yang harus kita bawa agar perjalanan ini bermakna:
1. Memaafkan agar Hati Ringan
Berapa banyak luka yang kita simpan dalam hati? Berapa banyak kesalahan yang belum kita tebus? Munggahan memberi kita kesempatan untuk membersihkan hati sebelum kita memasuki bulan pengampunan. Sebab, bagaimana kita berharap Allah mengampuni kita jika kita sendiri belum mau memaafkan?. Rasulullah saw bersabda:
لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثِ لَيَالٍ، يَلْتَقِيَانِ فَيُعْرِضُ هَذَا وَيُعْرِضُ هَذَا، وَخَيْرُهُمَا الَّذِي يَبْدَأُ بِالسَّلَامِ
Artinya: Tidak halal bagi seorang Muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari. Ketika keduanya bertemu, maka yang terbaik adalah yang lebih dahulu mengucapkan salam (HR Bukhari dan Muslim)
Memaafkan bukan hanya tentang orang lain, tetapi tentang membebaskan diri kita sendiri. Dengan hati yang ringan, perjalanan menuju ketakwaan menjadi lebih mudah.
2. Menata Niat agar Langkah Terarah
Ramadhan bukan sekadar ritual tahunan. Ia adalah madrasah, tempat kita belajar tentang ketulusan. Apakah kita berpuasa sekadar menggugurkan kewajiban, atau benar-benar ingin mendekatkan diri kepada Allah? Rasulullah saw bersabda:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Artinya: Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan (HR Bukhari dan Muslim)
Munggahan adalah saat terbaik untuk bertanya kepada diri sendiri: Ramadhan ini, aku ingin menjadi siapa?
3. Melepaskan Diri dari Dunia yang Menjerat
Seperti seorang musafir yang tidak akan membawa beban berlebih dalam perjalanan, demikian pula kita harus menanggalkan keterikatan duniawi yang menghambat ibadah kita. Ramadan adalah saat untuk membangun hubungan yang lebih kuat dengan Allah, dan munggahan menjadi titik awalnya. Allah berfirman:
وَمَا ٱلْحَيَوٰةُ ٱلدُّنْيَآ إِلَّا لَعِبٌ وَلَهْوٌ ۚ وَإِنَّ ٱلدَّارَ ٱلْآخِرَةَ لَهِىَ ٱلْحَيَوَانُ ۚ لَوْ كَانُوا۟ يَعْلَمُونَ
Artinya: Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah permainan dan hiburan, sedangkan negeri akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, sekiranya mereka mengetahui (QS Al-'Ankabut: 64)
Jika selama ini kita sibuk dengan dunia, munggahan mengingatkan bahwa ada sesuatu yang lebih penting. Ramadan bukan hanya soal menahan lapar, tetapi juga mengendalikan diri dari segala yang tidak bermanfaat.
Seperti seorang anak kecil yang berlatih berjalan sebelum berlari, munggahan adalah latihan awal kita sebelum kita benar-benar berlari menuju keutamaan Ramadhan. Jika kita ingin keluar dari Ramadhan sebagai muttaqin, kita harus masuk dengan kesiapan.
Munggahan bukan sekadar perayaan, ia adalah awal dari perjalanan spiritual yang panjang. Kita mengawali dengan hati yang bersih, dengan niat yang tulus, dan dengan tekad untuk berubah. Rasulullah saw mengingatkan kita tentang keberkahan Ramadhan:
إِذَا كَانَ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ، صُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ وَمَرَدَةُ الْجِنِّ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ فَلَمْ يُفْتَحْ مِنْهَا بَابٌ، وَفُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ فَلَمْ يُغْلَقْ مِنْهَا بَابٌ، وَيُنَادِي مُنَادٍ: يَا بَاغِيَ الْخَيْرِ أَقْبِلْ، وَيَا بَاغِيَ الشَّرِّ أَقْصِرْ
Artinya: Jika malam pertama Ramadan tiba, setan dan jin yang membangkang dibelenggu, pintu-pintu neraka ditutup dan tak ada satu pun yang dibuka, pintu-pintu surga dibuka dan tak ada satu pun yang tertutup. Lalu ada suara yang menyeru: Wahai pencari kebaikan, mendekatlah! Wahai pencari keburukan, berhentilah! (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Sebentar lagi, Ramadhan akan mengetuk pintu. Apakah kita sudah siap untuk munggah? Mari kita sambut dan jadikan momentum Ramadan 1446 H sebagai ajang perbaikan diri, peningkatan spiritual, serta transformasi menuju muttaqin.
Selamat menyambut puasa Ramadhan 1446 H. Semoga Allah memberikan kita keberkahan, kekuatan, dan kelapangan hati dalam menjalankannya.
H Puji Raharjo Soekarno, Ketua Tanfidziyah PWNU Lampung