Setiap tanggal 22 Agustus diperingati sebagai Hari Internasional Korban Tindak Kekerasan Berdasarkan Agama atau Keyakinan, yang mengakui pentingnya memberikan dukungan dan bantuan yang tepat kepada para korban tindak kekerasan berdasarkan agama atau keyakinan.
Kekerasan merupakan tindakan yang hina, alih-alih mengatasnamakan agama, ini lebih hina dan mencederai nilai-nilai kesucian agama dan kemanusiaan. Padahal Allah swt telah mengajarkan kepada kita untuk berlaku lemah lembut. Hal ini sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur’an surat Ali-‘Imran ayat 159:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ
Baca Juga
Berikut Lima Rukun Qauli dalam Shalat
Artinya: Maka, berkat rahmat Allah engkau (Nabi Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka akan menjauh dari sekitarmu. Oleh karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urusan (penting) (QS Ali Imran: 159).
Secara global, ayat di atas merupakan landasan terhadap anjuran untuk bertindak lemah lembut dan berlaku baik, serta perintah untuk memaafkan. Sikap-sikap tersebut merupakan cerminan dari akhlak Nabi, di mana beliau dideskripsikan sebagai sosok yang tidak berlaku kasar, tidak melakukan kekerasan dan banyak memaafkan (Syekh Wahbah az-Zuhaili, at-Tafsirul Munir, [Beirut: Darul Fikr, t.t.], jilid IV, hal. 141).
Selain itu, ayat di atas juga merupakan pilar dari praktik musyawarah. Apabila ada masalah yang terjadi, maka selesaikanlah dengan musyawarah, bukan dengan tindakan kekerasan. Nilai-nilai ayat dapat menjadi inspirasi nalar fiqih anti-kekerasan. Kemudian dikutip dari sebuah hadits Nabi saw:
عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَا عَائِشَةُ إِنَّ اللَّهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ وَيُعْطِي عَلَى الرِّفْقِ مَا لَا يُعْطِي عَلَى الْعُنْفِ وَمَا لَا يُعْطِي عَلَى مَا سِوَاهُ
Artinya: Diriwayatkan dari 'Aisyah, istri Nabi saw, ‘Rasulullah saw bersabda, ‘Wahai Aisyah, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyantun yang menyukai sikap lembut. Dia memberikan kepada pada sikap lembut, sesuatu yang tidak diberikan pada sikap kasar dan juga sikap-sikap lainnya (HR Muslim).
Dalam konteks fiqih anti-kekerasan, hadits ini menunjukkan bahwa prinsip-prinsip seperti toleransi, perdamaian, dan penyelesaian konflik secara damai harus menjadi pijakan utama dalam menjalani kehidupan beragama dan sosial. Selain itu, hadits ini juga mengajarkan bahwa sikap lembut dan penyantunan merupakan ciri dari pemahaman yang benar terhadap ajaran Islam.
Mengedepankan kasih sayang dan menjauhi kekerasan juga diteladankan oleh Nabi Muhammad ketika peristiwa pembebasan kota Makkah (Fathu Makkah).
Sebagaimana dilansir dari NU Online, selama di Madinah, Nabi membangun kekuatan umat di samping melakukan gerakan syiar Islam ke kabilah-kabilah atau suku bangsa secara luas hingga ke negeri-negeri lainnya.
Langkah strategis ini dilakukan Nabi sambil mengatur cara untuk mengambil kembali Kota Makkah. Akhirnya, terjadilah sejarah Fathu Makkah atau pembebasan Kota Makkah yang dipimpin langsung oleh Rasulullah bersama kaum Muslimin.
Pasukan Rasulullah penuh dengan kekuatan dalam sejarah Fathu Makkah. Hal ini dipahami betul oleh kafir Quraisy di Makkah yang saat itu di bawah komando Abu Sufyan. Namun, kasih sayang Nabi yang begitu tinggi membuat peristiwa Fathu Makkah terjadi tanpa setetes pun darah yang tertumpah.
Revolusi besar tersebut bukan hanya membebaskan Kota Makkah, tetapi juga membebaskan seluruh kaum kafir untuk masuk ke dalam lindungan Nabi sehingga mereka serta merta masuk Islam.
Dijelaskan oleh Pakar bidang Tafsir Prof KH Nasaruddin Umar dalam buku Khutbah-khutbah Imam Besar (2018), di tengah kemenangan Nabi dan kaum Muslimin, ada satu peristiwa ketika Abu Sufyan dan para pembesar Quraisy akhirnya menyerah dan bersedia mengikuti petunjuk Nabi Muhammad.
Kemudian Nabi meminta kepada para pimpinan pasukannya untuk menyatakan, al-yaum yaumal marhamah (hari ini hari kasih sayang).
Penyelesaian Fathu Makkah berjalan sangat manusiawi meskipun menyalahi tradisi perang Arab yang penuh dengan pertumpahan darah, perampasan, dan lain-lain. Namun kasih sayang Nabi Muhammad lebih besar dalam hal ini sehingga betul-betul tidak ada balas dendam.
Revolusi tanpa setetes darah ini melahirkan keutuhan dan kedamaian monumental serta kemenangan Nabi Muhammad. Era baru di Makkah betul-betul hadir. Era di mana Islam hadir untuk memenuhi kebutuhan lahir dan batin umat Islam. Era penuh dengan kasih sayang dan roda kehidupan yang sesuai nilai-nilai luhur ajaran Islam.
Maka dari itu, bersikap yang baik, penuh toleransi, dan saling memaafkan serta terbuka merupakan bentuk kasih sayang yang diajarkan Nabi kepada kaumnya. Karena dengan berlaku seperti itu, banyak melahirkan kemaslahatan daripada kemadlaratan (bahaya).