Universalisme Islam dan Peradaban Islam
Oleh: Rudy Irawan
AGAMA dalam arti religi, menurut Prof.Dr. Naquib al Attas, tidak dapat menggambarkan Islam. Islam katanya mendeskripsikan dirinya dengan istilah din yang mencakup di dalamnya gagasan tentang peradaban dan pandangan dunia (word view) yang berubah.
Pemikiran Naquib ini tampaknya benar, baik dilihat dari sudut kebahasaan (etimologis) maupun berdasarkan kenyataan sejarah (real historis). Dari segi bahasa kata “din” memiliki akar kata yang sama dengan “madinah” yang berarti kota, dan kata “madani” bersinonim dengan kata “tamaddun” yang berarti peradaban.
Sementara dilihat dari kenyataan sejarah, setiap agama memang membentuk dan membangun kebudayaan serta peradabannya sendiri. Ketika Nabi hijrah ke Yastrib yang berarti “tanah gersang berdebu” menjadi madinah yang berarti “kota atau peradaban”. Ini mengandung arti bahwa nabi ingin membangun dan mewujudkan peradaban dunia melalui makna kota madinah yang baru dibangunnya itu, antara lain bertumpu pada kreativitas peradaban masyarakatnya yang dikombinasikan nilai-nilai Islam melalui petunjuk wahyu Allah.
Jadi, agama (din) dengan sendirinya melahirkan peradaban (madinah atau tamaddun). Karena itu agama dan peradaban tampak berhubungan sangat erat satu sama lain dan memperlihatkan kedekatan yang sangat signifikan.
Memang banyak orang membuat distingsi (pembedaan) yang terlalu tajam antara agama dan peradaban. Pembedaan semacam ini sesungguhnya hanya ada dalam pikiran dan kata-kata, dan tidak pernah ada dalam kenyataan. Sebab pada kenyataannya, ketika agama difahami dan disosialisakian dalam masyarakat, maka agama dengan sendirinya akan membentuk jaringan peradaban atau kebudayaan masyarakat berdasarkan unsur-unsur cipta, rasa dan karsa manusia (M.Dawam Rahardjo).
Dengan demikian, peradaban yang dibangun oleh masyarakat sebagai perwujudan dari semangat keberagamaan seseorang dalam memaknai ruang dan waktunya (dimensi praktikal), sudah tentu mendapat pengaruh langsung maupun tak langsung dari nilai-nilai agama itu sendiri (dimensi teoritikal).
Oleh karena itu, untuk melihat watak dan semangat kosmopolitisme dalam peradaban Islam, kita terlebih dahulu harus melihat nilai-nilai dasariah darimana kosmopolitisme peradaban Islam menemukan jalannya untuk dapat tumbuh dan berkembang.
Setiap muslim meyakini bahwa islam adalah agama universal, dalam kaidah ushul yang amat popular disebutkan: “al Islam munthahiq likulli zaman wa makan” (Islam adalah agama yang berlaku untuk semua waktu dan tempat). Itu berarti Islam agama yang universal, yaitu agama yang masa berlaku ajaran-ajarannya tidak dibatasi ruang dan waktu manusia. Namun makna sesunggungnya dari universalisme Islam dan implikasinya terhadap kehidupan komunitas muslim, terutama di tanah air kita dewasa ini – secara relatif dapat dikatakan – ternyata tidak terlalu banyak orang yang berusaha memahami dan mengkajinya secara sungguh-sungguh.
Pada dasarnya, universalisme Islam dapat dilihat dari beberapa aspek penting dalam ajaran Islam itu sendiri, antaranya dilihat pada konsep tauhid Islam yang mengajarkan tentang kemahaesaan Allah tanpa sekutu dan saingan.
Dalam perspektif Islam, Allah SWT diposisikan sebagai “Tuhan Semesta Alam” (Robbul’alamiin). Ini mengandung makna bahwa sebagai sebuah konsep dan keyakinan Allah bukanlah Tuhan segolongan umat manusia, melainkan Tuhan seluruh umat manusia di muka bumi. Konsep ketuhanan seperti ini tidak bisa, tidak akan memberi implikasi sangat besar terhadap pembebasan manusia dari ikatan-ikatan primodialismenya, seperti kesukuan, kebangsaan, keetnikan, kemazhaban dan sebagainya.
Konsep ini sejalan dan bertemu dengan ajaran-ajaran Islam lain seperti ajaran tentang kesatuan manusia (wahdat al ummat) dan kesatuan agama atau risalah (wahdat al adyan) Tuhan yang disampaikan pada manusia melalui nabi dan rasul-Nya.
Dalam perspektif hukum, Universalisme Islam terlihat jelas dalam prinsip-prinsip hukum yang memberikan jaminan dan perlindungan terhadap setiap orang dalam masyarakat yang menyangkut lima masalah berikut:
Pertama, jaminan atas keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar hukum. Kedua, jaminan atas keselamatan keyakinan agama masing-masing masyarakat tanpa ada paksaan untuk pindah keyakinan. Ketiga, jaminan atas keselamatan keluarga dan keturunan. Keempat, jaminan atas keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum. Kelima, jaminan atas keselamatan profesi.
Ini semua merupakan gejala universalisme Islam. Sebuah gejala yang nantinya menjadi argumentasi pembentukan peradaban masyarakat yang kosmopolit. Sebab kelima jaminan di atas tidak lagi memandang unsur-unsur yang ada di masyarakat, melainkan berkepentingan terhadap keberlangsungan hidup umat manusia secara terbuka, adil dan demokratis (Prof. KH. Ali Yafie, 1987:4-6).
Filsafat hukum Islam menyebut kelima prinsip diatas dengan istilah ”ushul al Khomsah” yang kelak menjadi dasar utama setiap penetapan hukum. Maka prilaku atau tindakan mukallaf yang mengganggu kelima prinsip tadi tanpa ada alasan yang dibenarkan syar’I dengan sendirinya perbuatan tersebut sebagai perbuatan kriminal (jarimah) yang akan dikenai sanksi hukum yang keras. Dan ini berlaku tanpa membedakan suku, agama, ras dan antar golongan.
Hal ini menunjukkan dengan jelas bahwa watak keuniversalan ajaran Islam terletak pada seberapa jauh manusia mampu mempertahankan semangat kebertauhidannya. Karena keuniversalan ajaran Islam itu dalam perjalanan sejarah – seperti dapat dilihat dari sikap kaum muslimin terhadap agama samawi yang lain – tidak saja bersifat ke luar dalam arti Islam berlaku untuk seluruh umat manusia, tapi juga bersifat ke dalam dengan konsekuensi bahwa ajaran Islam dan umat Islam dapat menyerap unsur positif dari ajaran atau peradaban luar yang tidak bertentangan dengan prinsip ajaran Islam, seraya memperlakukannya sebagai “menemukan kembali barang milik umat Islam sendiri yang pernah hilang.”
Sikap dan pandangan demikianlah akan menjadi salah satu “sentiment” positif dalam memicu berkembangnya semangat dan watak kosmopolitisme dalam peradaban Islam. Wallahu ‘Alam
*) Penulis adalah Dosen UIN Lampung/Wakil Ketua PCNU Bandar Lampung
Terpopuler
1
PCNU Pringsewu Sosialisasikan Keputusan Munas dan Konbes NU 2025
2
3 Amalan Sunnah di Bulan Rabiul Awal
3
Waspadai Era Post-Truth, Ketua PCNU Pringsewu: Yang Benar Bisa Nampak Salah, yang Salah Bisa Nampak Benar
4
Doa dan Niat Menyambut Bulan Maulid
5
Jihad Pagi NU Pringsewu Digelar Kembali, Peringati Kemerdekaan RI dan Songsong Maulid Nabi
6
Istikmal, Lembaga Falakiyah PBNU Umumkan 1 Rabiul Awal Jatuh pada 25 Agustus 2025
Terkini
Lihat Semua