Oleh: Rudy Irawan (wakil ketua PCNU Bandar Lampung, dosen UIN Raden Intan Lampung)
Sejenak marilah kita bersyukur bahwa pesta demokrasi bangsa ini telah usai kita lalui bersama dengan aman dan tanpa ada ketakutan sebagaimana yang dibayangkan banyak orang.
Dan juga sejenak kita lupakan kegaduhan dan panasnya suhu politik dari hasil pesta yang telah berlalu dengan sama sama menunggu hasil yang telah ditentukan oleh penyelenggara pesta.
Alhamdulillah, atas kemurahan Allah Sang Pemberi Hidup, kita saat ini sudah memasuki penghujung Bulan Sya'ban.QS. asy-Syura, 42:19-20 menjelaskan: “Allah Maha Lembut terhadap hamba-hamba-Nya; Dia memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa. Barangsiapa menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagian pun di akhirat”.
Dalam kitab Durratu n-Nashihin dibahas tentang keutamaan atau Fadlilah Bulan Sya’ban (hal.207-208).
Para Ulama memahami kata “lathifun bi ’ibadihi” dengan “yarhamu al-taibin wa al-mustaghfirin” artinya “memberi rahmat kepada orang-orang yang bertaubat dan memohon ampunan”. Hamba Allah yang masih mau bertaubat ia sadar bahwa dirinya telah melakukan kesalahan, berhenti, dan menyesali kesalahan apa yang telah dilakukannya, seraya terus menerus memohon ampunan dan maghfirah-Nya.
Sebagai manusia biasa, dalam perjalanan hidup kita, nyaris tiada hari yang dilalui tanpa menambah dosa, dosa kecil hingga yang besar, mulai dari dosa hati, dosa sikap, dan dosa ucapan lisan serta perbuatan. Karena salah satu tabiat manusia, selalu berbuat kekeliruan dan kesalahan. Dalam kaitan inilah, Rasulullah saw menyatakan : ”Setiap anak keturunan Adam adalah sering berbuat keliru dan salah, dan sebaik-baik orang yang keliru/salah adalah yang mau memperbaiki diri” (كل بني ادم خطاؤون وخير الخطائين التوابون ). Penegasan Rasulullah saw tersebut, tentu tidak kita gunakan untuk melegitimasi perbuatan kekeliruan dan kesalahan.
Allah SWT memberikan keistimewaan kepada kita akal dan hati. Dengan akal seharusnya kita bisa berpikir dan menimbang sesuatu perbuatan itu benar-salah, baik-buruk, bermanfaat ataukah menimbulkan madharat, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain.
Ini karena keimanan dan amal shalih adalah dua hal yang merupakan satu kesatuan dan tidak bisa dipisahkan.
Karena itulah, Allah memberikan ruang dan kesempatan untuk memperbaiki kesalahan. Dalam tataran kekeliruan dan kesalahan yang bersifat horizontal dengan sesama manusia, media untuk memutihkannya melalui permintaan dan pemberian maaf kepada sesama. Dalam konteks inilah, indikator penting ketaqwaan seseorang adalah manakala dia dengan senang hati meminta dan memberi maaf kepada orang lain atas kemungkinan kekeliruan dan kesalahan yang dilakukannya. Bahkan “salah memberi maaf itu lebih baik dari pada memberi hukuman”.
Sementara dalam tataran kekeliruan atau kesalahan yang bersifat vertikal, sebagai hubungan antara hamba dengan Khaliq (Pencipta)-Nya, maka ruang dan waktu untuk memutihkannya, adalah dengan beristighfar memohon ampunan dan bertaubat atas semua dosa dan kesalahan. Rasulullah saw sendiri meskipun boleh dikatakan sebagai manusia suci (ma’shum), beliau selalu memohon ampunan dan bertaubat yang setiap malam menghabiskan sepertiga akhir untuk bermunajat dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Rasulullah saw mengingatkan, bahwa dalam diri kita ada segumpal darah, yang apabila ini baik, maka yang lain akan baik, dan apabila segumpal darah ini kerjanya tidak baik, maka yang lain akan tidak baik juga. Inilah yang dinamakan qalbu (hati). Qalbu secara harfiah artinya berubah. Disebut qalbu karena sifatnya yang selalu berubah-ubah. Ketika hati sedang gelap disebut dengan qalbu dhulmani, yang penampilannya akan membawa kegelapan dirinya dan menimpa orang lain, seperti: dengki, hasud, sombong, takabur, pamer atau riya, dan lain-lain.
Manakala hati itu terang, disebut dengan qalbu nurani, yang menerangi dirinya sendiri dan menjadi suluh terang bagi orang lain, seperti: sikap ramah, berkata baik dan indah, dan suka menolong orang lain. Dalam kenyataannya, godaan duniawi dan dorongan nafsu, menjadikan hati yang terang itu sering terkalahkan oleh kegelapan dan kedhaliman yang menimpanya.
Instrumen penting untuk mengasah hati dan pikiran manusia, adalah oleh-oleh Rasulullah saw dalam peristiwa isra’ dan mi’raj di bulan Rajab yang baru beberapa waktu lalu kita lewati, yakni mendirikan shalat lima waktu secara khusyu’ dan istiqamah. Allah SWT menyediakan ruang waktu dalam bulan Sya’ban ini sebagai bulan untuk memutihkan yang hitam, menerangkan yang gelap, dan membersihkan yang kotor. Sya’ban artinya bercabang-cabang, dan oleh karena itu, kita dianjurkan untuk membersihkan diri dengan bertaubat kepada-Nya.
Suatu saat Rasulullah saw bertanya kepada para sahabat :
أتدرون لم سمى شعبان ؟ قالوا الله ورسوله أعلم قال لأنه يتشعب فيه خير كثير (روضة العلماء)
“Apakah kalian tahu mengapa disebut dengan “sya’ban” ? Mereka menjawab : “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui”. “Karena di dalam bulan tersebut, kebaikan yang banyak itu bercabang-cabang” (Raudhah al-Ulama’).
Allah SWT Maha Pengasih dan Penyayang kepada hamba-Nya yang mau dengan sadar berusaha memperbaiki dirinya. Dalam satu riwayat Rasulullah saw menyatakan :
“Pada hari kiamat seorang hamba dihadapkan dan ditunjukkan keburukan-keburukannya, Allah berfirman : “Apakah kamu malu kepadaku karena kamu telah bermaksiyat kepadaku ?” Hamba tersebut meninggi suaranya karena menangis sesenggukan. Allah berfirman : “Jagalah suaramu supaya Muhammad saw tidak mendengar dan tidak mengetahui bahwa Aku telah menutupi keburukan kamu di dunia dan Aku akan mengampuninya pada hari ini”. Hamba tersebut menangis sekuat-kuatnya karena saking senang dan bahagianya telah diampuni oleh Allah”.
Maka setelah Nabi Muhammad saw. mendengar, beliau berkata : “Wahai Tuhanku, Engkaulah Dzat yang paling Penyayang dari yang penyayang, limpahkanlah ampunan itu kepadaku, maka Allah berfirman : “Aku akan limpahkan itu kepadamu dan jangan bersedih wahai kekasih-Ku “ (Zuhrah al-Riyadh).
Rasulullah saw senantiasa puasa satu bulan penuh, dan bersabda : “Allah meningkatkan amalan hamba-hamba-Nya dalam bulan ini”. Karena itu, para Ulama dan masyarakat menyambut dan mengisi bulan Sya’ban ini dengan serangkaian ibadah. Sebagaimana riwayat Imam Muslim, Rasulullah saw bersabda : “Datang kepadaku malaikat Jibril pada malam nishfu Sya’ban, dan berkata : “Wahai Muhammad, malam ini dibuka pintu-pintu langit dan pintu-pintu rahmat maka berdirilah dan shalatlah kamu, angkat kepalamu dan tengadahkan kedua tanganmu ke langit ! Aku berkata : “Wahai Jibril, apa artinya malam ini ? Jibril berkata : “Pada malam ini dibuka tiga ratus pintu rahmat, Allah mengampuni semua orang yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu pun, orang yang menyihir, dukun, pecandu, peminum khamar, atau mengulangi zina, memakan riba, menyakiti kedua orang tua, menghasut orang lain, dan memutus tali silaturrahim. Mereka itu tidak diampuni oleh Allah sehingga mereka bertaubat dan meninggalkannya”. Maka Nabi saw keluar, shalat dan menangis dalam sujud beliau, seraya berdo’a : “Ya Allah sesungguhnya kami memohon perlindungan kepada-Mu dari siksa dan kemarahan-Mu, kami tidak mampu menghitung kenikmatan-Mu sebagaimana kami memuji kepada-Mu, maka hanya bagi-Mu-lah segala puji sehingga Engkau meridhainya” (Zubdah al-Wa’idhin).
Mengakhiri renungan ini, marilah kita cermati Firman Allah SWT :
من كان يريد حرث الأخرة نزد له فى حرثه ومن كان يريد حرث الدنيا نؤته منها وما له فى الأخرة من نصيب الشورى (42) 19-20
“Barangsiapa menghendaki keberhasilan kehidupan akhirat, maka Kami (Allah) akan menambah keberhasilannya, dan barangsiapa menghendaki keberhasilan kehidupan dunia, Kami akan memberinya, dan dia tidak mendapatkan bagian pada kehidupan akhirat” (QS. Al-Syura:19-20).
Semoga dalam penghujung bulan Sya’ban ini, kita semua dikarunia kekuatan dan kesabaran untuk dapat meningkatkan keimanan, mengamalkan perbuatan yang baik dan meninggalkan segala bentuk kemaksiyatan kepada-Nya, semoga Allah memberi kita umur panjang umur untuk menyambut kehadiran bulan suci Ramadlan.
Karenanya, yang dikaruniai jabatan, jadikan jabagan itu media dan instrumen untuk berbuat kebaikan rakyat dan semua warga, agar kelak Allah membalas dengan surga-Nya. Jangan sampai jabatan itu menjebak kita mendapatkan kesengsaraan sejak dari dunia ini. Amin.
Allah a’lam bi sh-shawab.