Warta

Setiap Masjid atau Desa Wajib Ada Kiainya

Sabtu, 15 Februari 2020 | 07:26 WIB

Setiap Masjid atau Desa Wajib Ada Kiainya

Oleh: Ahmad Ishomuddin

DI ANTARA kemungkaran yang umum dilakukan, adalah adanya orang yang memiliki ilmu agama ('alim, faqih) namun menyembunyikan ilmunya, bersikap tidak peduli terhadap orang-orang di sekitarnya yang sama sekali awam terhadap ajaran agama.

Amat banyak di antara mereka yang mengamalkan agama tanpa ilmu, bahkan kini semakin banyak saja "penceramah agama" yang nekat tampil di tengah masyarakat tanpa bekal ilmu agama yang cukup, bahkan sesungguhnya tidaklah cukup untuk dirinya sendiri.

Dalam suasana semacam ini, orang yang benar-benar berilmu agama memadai wajib tampil untuk memberikan perhatian, dan melakukan perbaikan, agar agama tidak dicemari dan dirusak oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab itu.

Situasi di atas pada hakikatnya adalah bentuk kemungkaran yang kasat mata dan telah umum terjadi. Telah berabad sebelumnya, seorang ulama besar ternama, al-Imam al-Ghazali (450 H.-505 H.) telah menyatakan, "ketahuilah, bahwa setiap orang yang duduk di rumahnya, di mana saja ia berada, pada zaman ini tidaklah kosong dari kemungkaran yang sekiranya ia duduk-duduk saja, enggan memberikan petunjuk kepada orang lain, tidak mengajarkan ilmu kepada mereka, dan tidak pula mengajak mereka untuk berbuat baik."

"Kebanyakan orang tidak mengenal ajaran agama, (misalnya) tentang syarat-syarat shalat, (itu yang terjadi) di kota, bagaimana di desa, dan di pelosok kampung? Di antara mereka adalah orang-orang Arab pedalaman, (suku) Kurdi, Turki, serta komunitas manusia lainnya.

وواجب أن يكون في مسجد ومحلة من البلد فقيه يعلم دينهم وكذا في كل قرية.

Di masjid dan suatu tempat dari negeri tertentu wajib ada ahli fikih yang mengajarkan agama kepada mereka, demikian juga di setiap desa."

"Wajib bagi setiap orang yang paham agama (faqih) menyibukkan diri dengan kewajiban pribadi (fardlu 'ain)nya dan menyempatkan diri untuk melaksanakan kewajiban kolektif (fardlu kifayah)nya dengan cara keluar menuju daerah tetangganya dari orang kebanyakan (yakni yang mayoritas tergolong kaum awam), orang Arab, orang Kurdi dan selain mereka, mengajarkan agama kepada mereka dan apa-apa yang fardlu (wajib) dalam syariat bagi mereka, perlu membawa bekal makanan untuk dimakan sendiri dan tidak perlu makan dari makanan mereka, karena kebanyakan makanan mereka dari hasil ghasab (merampas)."

"Bila persoalan ini sudah ada satu orang yang melaksanakannya, gugurlah dosa dari orang-orang lainnya, tetapi jika tidak (seorangpun yang melakukannya), maka seluruhnya menanggung dosa."

Jadi, menjadi fardlu kifayah (kewajiban kolektif yang secukupnya) bahwa pada setiap desa atau masjid memerlukan adanya faqih, yakni orang yang berilmu agama mendalam, baik mereka itu disebut kyai, buya, ajengan, ustadz, tuan guru, guru atau predikat keagamaan lainnya yang sanggup membimbing anggota masyarakat agar beragama secara lebih berkualitas, memahami apa yang menjadi kewajiban individu maupun kewajiban kolektif mereka.

*) Penulis adalah Wakil Rois Syuriah PBNU