• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Selasa, 2 Juli 2024

Warta

Sekali Lagi Soal Perempuan dan Pilkada

Sekali Lagi Soal Perempuan dan Pilkada
Sekali Lagi Soal Perempuan dan Pilkada Oleh : Khalida (Ketua PW Fatayat NU Lampung) Pemilihan Kepala Daerah serentak tahap pertama akan segera dihelat di seluruh negeri, tepatnya pada hari Rabu, tanggal 9 Desember 2015, termasuk 8 Kabupaten/ kota di Provinsi Lampung yang akan menggelar pesta demokrasi untuk memilih kepemimpinan lokal. Pada Hari H pemungutan suara diharapkan masyarakat pemilih akan berduyun-duyun menuju TPS. Sudah banyak tulisan yang membahas soal perempuan dan keterlibatannya dalam kontestasi politik di Indonesia. Tulisan ini dimaksudkan untuk turut meramaikan wacana perihal penguatan peran dan partisipasi politik perempuan pada pesta demokrasi pemilihan kepemimpinan lokal. Meski kualitas demokrasi dari waktu ke waktu terus menerus didorong agar lebih sungguh-sungguh mencerminkan sebagai proses menyuarakan dan menangkap aspirasi rakyat (baca: demokrasi substantif), akan tetapi harus diingat jika upaya tersebut hanya berfokus pada peningkatan tingginya angka kehadiran pemilih di TPS dan kualitas penyelenggaraan oleh penyelenggara. Tanpa sungguh-sungguh mengupayakan kualitas kesadaran partisipasi politik rakyat, untuk mengekspresikan suaranya pada proses politik tersebut, maka upaya peningkatan kualitas demokrasi subtantif akan menjadi sulit diharapkan. Menjadi bagian penting dari upaya meningkatkan kualitas partisipasi rakyat, salah satunya adalah upaya meningkatkan peran dan partisipasi perempuan dalam setiap proses politik termasuk di dalamnya pada Pilkada serentak kali ini. Menjadi niscaya perlu dilakukan upaya merumuskan strategi peningkatan partisipasi politik perempuan. Mengapa hal ini penting dan masih relevan dilakukan kajian, khususnya pada konteks Pilkada serentak tahun ini, tidak lain karena adanya beberapa fakta empiris, diantaranya berdasarkan data yang dirilis oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), ternyata tokoh perempuan yang ikut berkontestasi pada pilkada serentak tahun ini hanya 7 persen secara nasional, tepatnya hanya 116 orang dari 1.584 orang yang resmi menjadi calon di 262 daerah yang menyelenggarakan pilkada serentak tahap pertama. I tupun dari 116 orang perempuan, 54 orang mencalonkan sebagai kepala daerah dan 62 orang sebagai wakil kepala daerah, untuk seluruh Lampung hanya terdapat 2 orang perempuan. Fakta selanjutnya yang mendesak betapa pentingnya meningkatkan kesadaran dan partisipasi politik perempuan bahwa berdasarkan beberapa sumber hasil penelitian dan kajian, merilis bahwa kepemimpin lokal sejak era otonomi daerah ternyata justru keberpihakannya kepada perempuan belum signifikan, kalau tidak mau disebut masih rendah. Hal ini setidaknya ditandai dengan masih banyaknya Perda dan APBD yang tidak berprespektif gender dan belum berpihak pada kepentingan perempuan. Belum lagi fakta angka-angka. Misalnya berapa banyak PNS perempuan pada pemerintah daerah otonom yang bisa memperoleh kesempatan menduduki karir puncak sebagai sekda misalnya, berapa persen yang menjadi kepala satker dan seterusnya. Pada pihak lain, ada paradoks dalam upaya meningkatkan partisipasi politik perempuan. Misalnya soal quota 30 persen pada pemilu legislatif, meski partai politik diharuskan menyiapkan minimal 30 persen caleg perempuan. Akan tetapi sistim dan kultur politik yang dikembangkan partai partai politik justru tidak memberikan kesempatan luas bagi perempuan untuk berkontestasi secara lebih fair, sehingga meski quota minimal 30 persen, faktanya hanya sedikit yang lolos menjadi legislatif. Maka upaya meningkatkan partisipasi politik perempuan tidak hanya dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas demokrasi. Lebih dari itu diharapkan akan dihasilkan penguasa yang berpihak dan berperspektif gender dalam kepemimpinannya. Menurut penulis ada beberapa tawaran untuk pengayaan gagasan peningkatan partisipasi politik perempuan. Pada era otonomi daerah khususnya sejak diterapkannya pilkada langsung ada fenomena yang menarik, yakni para politisi menganggap karena perempuan dinilai sebagai segmen pemilih yang cenderung “setia” dan memiliki kecendrungan sifat komunal, sering tergabung dalam berbagai kelompok atau komunitas di masyarakat seperti majelis majelis pengajian, majelis taklim, kelompok PKK dan seterusnya. Maka para pengausa politik lokal seringkali memanfaatkan kecendrungan perempuan itu untuk sekedar “menggarap” potensi suaranya, biasanya dengan membentuk majelis majelis taklim baru dan menyelenggarakan pengajian rutin plus dengan pembagian busana seragam untuk seluruh anggotanya. Maka silih tumbuh bermekaranlah majelis-majelis pengajian yang dikelola penguasa atau politisi lokal. Itu sekedar ilustrasi. Sesungguhnya penulis hendak mengatakan bahwa modus serupa ini sejatinya tidak secara substansial memberikan peran pada upaya peningkatan kualitas partisipasi politik perempuan. Alih-alih mencerdaskan partisipasi politik perempuan justru gejala ini “mengganggu” ranah ketulusan perempuan dalam mengelola tradisi keagamaan. Sekali lagi, penguatan partisipasi politik perempuan tidak boleh surut. Apa yang sudah digiatkan oleh para aktifis perempuan, LSM, Organisasi kemasyarakatan dan keagamaan harus terus digelorakan. Program-program pendidikan politik harus dilekola agar lebih efektif dan masif, harus dibuat skema agar tidak hanya menyentuh kalangan menengah tapi bisa menggerakkan perempuan akar rumput. Dan jauh lebih penting agaknya terus melakukan penajaman wacana keagamaan soal gender. Penulis ingin memberikan apresiasi, ternyata organisasi NU, meski berbasis keagamaan tradisional, faktanya justru jauh lebih maju. NU sudah sejak lama tidak lagi mempersoalkan kepemimpinan politik perempuan. Bahkan sejak era Gus Dur, NU gencar mewacanakan pengarusutamaan gender dan saya kira di Muhammadiyah pun demikian. Maka hari - hari ini, menjelang pemungutan suara, kita berharap agar pemilih perempuan bisa mendatangi TPS -TPS terdekat hadir dan berpartisipasi sebagai pemilih cerdas, manjatuhkan pilihannya bukan karena balas jasa atas sejumlah perhatian yang “seolah-olah” seperti merasa perlu membalas karena telah diajak wisata religi atau ziarah. Bukan pula karena telah dihadiahi busana seragam pengajian, bukan juga karena telah di baiat oleh tim sukses salah satu kandidat. Memilihlah karena pertimbangan pilihan kita sungguh-sungguh memahami kepentingan dan kebutuhan perempuan. Pilihlah kandidat yang berpihak dan mempunyai program yang jelas soal peningkatan kapasitas perempuan. Wallahu”alam bi shawab. (**)


Editor:

Warta Terbaru