• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Senin, 13 Mei 2024

Warta

Sarung dan Simbol Perjuangan

Sarung dan Simbol Perjuangan
DIANTARA budaya yang melekat kuat di kalangan kaum Nahdliyin adalah pemakaian sarung. Setiap hari mereka tidak lepas dari pakaian yang satu ini. Sampai sering kali orang NU mendapat julukan ‘Kaum Sarungan’, karena hampir tidak pernah lepas dari sarung. Pada komunitas NU tertentu, sarung tidak sekedar pakaian, tapi sekaligus sebagai pembeda dari kaum pembaharu yang diwakili oleh kelompok Muhammadiyah. Sampai akhirnya ciri fisik itu bisa dibedakan dengan mudah. Jika pakai sarung dijuluki NU, dan akan dijuluki sebagai orang Muhammadiyah jika orang itu mengenakan celana panjang. Sedangkan mereka yang bercelana pendek dianggap sebagai orang nasional atau kafir. Bentuknya yang seperti tabung dari bahan kain, menjadikan sarung banyak memiliki kelebihan. Selain untuk pakaian, juga bisa difungsikan untuk selimut tidur, alat untuk membawa sesuatu, penggantgi handuk, dan juga dalam kondisi tertentu bisa dipergunakan sebagai senjata pertahanan. Baik pertahanan bela diri maupun bertahan dari cuaca yang tidak bersahabat. Cara membawanya juga fleksibel, bisa dilipat hingga kecil dan diletakkan dimana saja. Melekat di Santri Sarung adalah  merupakan sepotong kain lebar yang dijahit pada kedua ujungnya sehingga berbentuk seperti pipa/tabung. Ini adalah arti dasar dari sarung yang berlaku di Indonesia atau tempat-tempat sekawasan. Dalam pengertian busana internasional, sarung (sarong) berarti sepotong kain lebar yang pemakaiannya dibebatkan pada pinggang untuk menutup bagian bawah tubuh (pinggang ke bawah). Bagi umat Islam di Indonesia, khususnya santri yang menuntut Ilmu di Pesantren, sarung juga sebagai identitas kaum muslim dalam Tholabul Ilmi. Kaum Santri, dari dulu hingga saat ini masih terlihat eksis mengenakan sarung dalam menelaah kitab-kitab di suatu majelis. Karenanya sarung juga seperti menjadi simbol buat para santri yang menimba ilmu di pondok pesantren. Bahkan pada zaman penjajahan Belanda, sarung identik dengan perjuangan melawan budaya barat yang dibawa para penjajah. Kaum santri merupakan masyarakat yang paling konsisten menggunakan sarung. Hal itu berbeda dengan  kaum nasionalis abangan yang mayoritas meninggalkan sarung. Sikap konsisten penggunaan sarung juga dijalankan oleh salah seorang pejuang sekaligus seorang tokoh penting di Nahdhatul Ulama (NU),  yaitu KH Abdul Wahab Hasbullah atau yang terkenal dengan sebutan Mbah Wahab. Suatu ketika, KH Abdul Wahab Hasbullah pernah diundang Presiden Soekarno. Protokol kepresidenan memintanya untuk berpakaian lengkap dengan jas dan dasi. Namun, saat menghadiri upacara kenegaraan, beliau datang menggunakan jas tetapi bawahannya sarung. Padahal biasanya orang mengenakan jas dilengkapi dengan celana panjang. Sebagai seorang pejuang yang sudah berkali-kali terjun langsung bertempur melawan penjajah Belanda dan Jepang, Abdul Wahab tetap konsisten menggunakan sarung sebagai simbol perlawanannya terhadap budaya Barat. Ia ingin menunjukkan harkat dan martabat bangsanya di hadapan para penjajah. Dalam hal kemanfaatannya pemakaian sarung, orang NU biasa mengungkapkan kelebihan sarung dibandingkan dengan celana panjang. Memakai sarung, menurut mereka, bisa lebih praktis (gampang dipakai), demokratis (karena semua organ tubuh yang ada di dalamnya bisa bergerak leluasa), gelis (cepat dalam pemakaian dan bila akan melakukan sesuatu), dan isis (sejuk karena memang longgar). Penampilan juga lebih santai. Saking akrabnya orang NU dengan pemakaian sarung hinga mereka biasa disebut kau sarungan. Penyebutan itu pertama kali dilontarkan oleh Hadi Supeno (Ketua umum DPP PNI) pada tahun 1970 menghadapi Pemilu 1971. Namun tidak lama setelah penyebutan itu ia meninggal dunia. Entah ada kaitannya atau tidak. Wallahua`lam. (Berbagai Sumber)


Editor:

Warta Terbaru