Warta

Ngopi Syafaat Edisi Lima, "Peradaban Sundul Langit"

Selasa, 16 Mei 2017 | 19:16 WIB

MAKNA tersirat dan tersurat dari kata dan simbolisasi sundul langit diambil dari pohon sundul langit, yang ciri khas pohon tersebut, akarnya menghunjam kebawah dan batangnya tegak lurus menjulang kelangit, semakin kokoh akarnya menghunjam kedalam bumi maka ia batang dan dedaunannya akan  semakin menjulang tinggi tegak lurus keatas, tak terbatas. Begitulah seharusnya makna dalam konteks peradaban yang bersamaan dengannya selalu berakar kebawah dan tegak lurus istiqomah keatas. sebagai sebuah proses yang selalu melibatkan keberadaan zat yang maha Tinggi Al Aliy atau al a’la, Sebagaimana Alloh menegaskan : Sabbihisma robbikal a’la, sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi ( QS. Al A’la ayat 1 ). Pertanyaannya, apakah peradaban yang terus berkembang dengan pesat dewasa ini, sudah melibatkan “langit” atau me-langit. Menuju Tuhan ataukah sebaliknya, sehingga kita lupa atau melupakan diri dan menjauh dari rahmat dan anugerahNya. Sejak dahulu masa yang jauh lama sekali dari kehidupan kita, masa nenek moyang kita dalam laku hidup, laku social dan laku berbangsa dan bernegaranya yang hingga kini masih kita rasakan dan masih berlangung di dalam kehidupan masyarakat di perdesaan khusunya di Jawa. Peradabannya tidak pernah lepas dari sentuhan & pelibatan langit, ia berjalan tegak lurus keatas, istiqomah, dan selalu memandang transenden, sehingga antara dirinya,alam semesta dan Tuhannya selalu nyawiji, menyatu, manunggal  dalam setiap gerak langkahnya. Apapun itu, bahkan setiap kata yang muncul dari proses dialektika kebudayaannya tidak pernah lepas dari keberadaan situasi nilai-nilai keTuhanan dan nilai nilai ruhaniah insaniyahnya. Sehingga setiap produk kata, produk kebudayaan, keseniaan, pakaian, sandang, pangan, papan dst, nilai-nilai langit, ruhaniyah, Ketuhanan selalu integrated di dalamnya. Misalnya kita seringkali dalam bahasa jawa mendengar banyak sekali kata atau kalimat yang pasti di dalamnya mengandung nilai-nilai ketuhanan. Sawang sinawang, sangkan paraning dumadi, becik ketitik olo ketoro dan masih banyak lagi, yang kalau kita sebutkan akan berjilid-jilid buku banyaknya. Dalam kata misalnya, istilah jawa : “Ngalah” ternyata bukan dari asal kata kalah, tapi berasal dari kata Nga dan ALLAh, atau menuju Allah. Berbagai  tembang, serat, syair, pitutur, istilah-istilah, bahkan berbagai produk fisik kesenian seperti wayang, beserta perlengkapan alat musiknya, selalu di jarwo doso kan, atau dihubugkan dengan spiritualitas, kebatinan, mistik dan keTuhanan. Bahkan sampai alat-alat kesenian selalu dimaknai melangit, atau mengandung niali-nilai spiritualitas katuhanan yang tinggi. Kata tidak berhenti sebagai kata, tapi ia menjadi semakin bermakna dan berintegrasi dengan spiritualitas, pegangan hidup dirinya.. bahkan satu kata bisa mengandung makna bertingkat-tingkat disesuaikan dengan taraf kesadaran indidividu yang melakoni kehidupannya. Tapi apa yang terjadi hari ini, seiring berkembangan atau katanya disebut “kemajuan” peradaban justru semakin memundurkan sisi hakekat kemanusiannya, semakin tidak manusiawi, baik manusia sebagai hamba Allah maupun manusia sebagai khalifah di muka bumi ini. "Ngopi syafaat"  melalui ngaji peradaban, sejatinya ingin berperan di dalam proses membangun peradaban yang diajarkan oleh nenek moyang kita, bangsa nusantara. Nilai-nilai luhur yang diwariskan harus disemaikan kembali sebagai peradaban yang mengembalikan hakikat kehidupan manusia sebagai khalifah di muka bumi ini, bahkan sebagai rahmatan lil alamin. Manusia sebagai khalifah, sebagai hamba Allah yang diciptkan untuk beribadah, mengabdi kepada Sang Maha Kuasa. Manusia diberi amanah mulia oleh Allah SWT Sebgai khalifah  dimuka bumi ini, tentu harus dimaknai dan diterjemahkan dengan prilaku, cara brpikir dan bertindak yang sepantasnya sebgai pengemban amanah kekhalifahan. Itulah yang membedakan antara manusia dan iblis, juga malaikat. Apakah kita sudah sepantasnya menjadi khalifah yang sesungguhnya manakala peradaban yang kita yakini dan kita gauli setiap harinya tidak sampai sundul langit, atau tidak sampai bersentuhan dengan keberadaan sang pemilik langit dan bumi Yaitu ALLAH SWT. Kita bahkan cenderung menafikkannnya dalam kehidupan kita sehari-hari, dalam kehidupan social kita, apalagi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga rahmat dan anugrah Tuhan YME yang kita dengungkan disetiap upacara-upacara kenegaraan maupun ceremonial pemerintahan tidak lebih sebagai sekedar pemanis, bahkan Tuhan hanya dijadikan sebgai pelengkap penderita. Bukan sebagai satu-satunya azas yang dijabarkan secara  dalam kehidupan kita dalam bertetangga hingga bernegara. Untuk itu monggo sareng-sareng, jamo-jamo, ajak saudara, tetangga untuk turut serta dalam "Ngaji Peradaban" yang dislenggarakan oleh Komunitas “Ngopi Syafaat” pada : Hari        : Selasa malam Rabu (nanti malam) Tanggal : 16 Mei 2017 Waktu   : Pukul 19.30 WIB Tempt    : Lapangan Ponpes Al Hikmah Bandar Lampung. Bersama Cak Samsul dan Group Jamus Kalimosodo ( Lamtim ) Narasumber Ahmad Yulden Erwin ( Penala Budaya ) Ust.Drs.Ja'far Sodiq,M.Si. ( Ketua MUI Lampung Barat ) Ust. Abu Nu'man Al Jawi ( Ponpes Al Hikmah) (Idhan Januwardana)