Warta

KH. M. Arief Mahya: Warga NU Selalu Enggan Mengawal Hasil Konferensi

Senin, 18 Januari 2016 | 12:35 WIB

KH M. Arief Mahya adalah seorang tokoh agama yang cukup disegani di Provinsi Lampung.  Bukan hanya itu, beliau adalah seorang guru, pejuang kemerdekaan, organisator, bahkan pernah menjadi jurnalis. Pendapatnya banyak didengar para ulama maupun pengurus PWNU, apalagi beliau termasuk salah satu saksi sejarah berdirinya PWNU Lampung.

----

Meski rumahnya berada agak masuk ke dalam dari jalan utama, namun tidak sulit mencari kediaman Kyai Arief Mahya. Sebab, hampir semua orang di kawasan Pakis Kawat,  Enggal, Bandar Lampung,  mengenalnya. Hanya sekali bertanya, reporter nulampung.or.id langsung mendapat petunjuk jelas dan rinci dimana rumah ketua pengurus Masjid Alfurqon tersebut.

“Belok kiri, terus lurus. Rumahnya yang ada pohon mangga,” kata seorang bapak pemilik warung.

Ketika sampai di muka pagar, seorang kakek berusia 90 tahunan sedang duduk di teras rumah bersama isterinya. Pasangan suami istri, yang tak lain adalah KH M. Arief Makhya dan istrinya, Hj Mar Amah. Keduanya menyambut hangat ketika nulampung.or.id menyebutkan identitas dan mengungkap maksud kedatangan.

Meski sudah tua, kiai Arief yang akrab disapa “Buya” ini masih diberi anugerah pendengaran yang baik. Beliau juga masih mengingat dengan baik sejumlah peristiwa penting di masa lampau.

Sepanjang hidupnya, pria kelahiran Gedung Asin, 6 Juni 1923 ini memang totalitas berjuang dalam penegakan Islam. Hal yang diperjuangkan adalah bagaimana umat Islam tidak hanya sekedar mengakui Islam sebagai agamanya, namun menjadi umat Ahlussunnah wal Jammiah dengan pendalaman yang baik (Attafaquh Fiddin) tentang tauhid, fiqih dan tasyawuf.  “Jika pondasi kuat maka umat tidak akan mudah diotak atik atau disusupi aliran menyesatkan,” katanya.

Buya menilai NU memiliki sejarah yang kuat, serta memiliki massa pengikut terbanyak di Indonesia. Namun begitu, dia juga tak sungkan mengkritisi NU sebagai organisasi yang labil. “Administrasi NU tidak paten. NU bahkan tidak memiliki data yang akurat tentang bagaimana NU berdiri di Lampung. Ini contoh terkecil,” katanya.

Beliau juga mengkritisi minimnya warga NU yang ‘cerewet’ mengawal kebijakan yang terkait hasil sebuah Konferwil. “Ketika ada Konferensi, ramai. Tapi setelah itu, semua diam, tidak ada yang menggugat atau mengawal hasilnya. Harusnya kan direweli, dikritisi. Jangan hanya senang pada saat kumpul-kumpulnya saja,” katanya.

Menurut Buya, warga NU tidak kuat dalam solidaritas dan dukungan. Ia mencontohkan Pilkada Lampung Selatan dimana Ketua PWNU Lampung, KH Soleh Bajuri maju mencalonkan diri sebagai salah satu calon bupati. “(Padahal) Di sana itu merupakan salah satu basis terbanyak NU. Tapi, ‘orang kita’ sendiri nyalon, malah nggak jadi. Mestinya kan tidak terlena dengan angpau berisi 50 ribu atau lebih. Tapi menguatkan persatuan,” tuturnya.

 

Keterlibatan di PWNU Lampung

Mengenang kembali masa mudanya, keterlibatan Arief Mahya di Nahdlatul Ulama bermula dari permintaan Hi. Marhasan SSS (Ketua PCNU Metro, yang kemudian menjadi ketua PWNU Lampung).

“Saya gabung bersama NU karena saya melihat NU sebagai organisasi terbesar di Indonesia,” kenangnya. “Di dalam NU, saya melihat pelajaran yang amat komprehensif. Tak cuma dari nabi tapi juga (perilaku) para sahabat,” tambahnya.

Perannya yang utama di NU terjadi di era kepengurusan Ketua PWNU Lampung, M. Zahrie. Buya didapuk sebagai Ketua Lembaga Pendidikan (LP) Ma’arif. Namun pengabdiannya hanya berjalan dua tahun sebelum akhirnya memutuskan berhenti karena kesibukannya sebagai petugas Jawatan Penerangan Agama Provinsi Lampung.

Tapi totalitasnya di NU berkesan di mata pengurus. Itulah yang membuatnya kembali dipercaya menjadi Wakil Rois di tahun 1989-1995. Delapan bulan berikutnya, ia menjadi Plt Rois setelah Rois KH Agus Mujani Ashaidi meninggal dunia.

Tapi Buya kemudian memutuskan berhenti sebagai Plt Rois setelah melihat tak ada gelagat akan ada konferensi berikutnya untuk menunjuk Rois yang baru.

“Saya tak biasa lebih dari lima tahun,” katanya.

Sampai saat ini, Buya dipercaya sebagai salah satu Mustasyar di PWNU Lampung.

Mengulas sejarah hidupnya, ayah dari mantan staf Ahli Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, Andi Arief,  ini mengawali pendidikan di Volkschool zaman penjajahan Belanda. Setelahnya, ia melanjutkan ke Pesantren Ad-Diniyah Al-Islamiyah, kemudian Standardschool, Wustho Zu’ama, dan Wustho Mu’alimien (Onderbow-Kweeschool) di tahun 1941.

Setamat dari Wustho MU’allimin, Arief berhenti sekolah karena meletus perang Dunia II. Kondisi ini memaksanya untuk terjun ke kancah perang. Bahkan sejak kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945—1949, ia terus turut serta mempertahankan kemerdekaan.

Disela-sela perjuangan kemerdekaan, Buya Arief  menapak masa mudanya dengan bekerja sebagai guru madrasah ibtidaiyah di Talang Paris, Bukit Kemuning, Lampung Utara, tahun 1942. Hanya setahun di sana, ia pindah menjadi guru madrasah ibtidaiyah di Karang Agung, Way Tenong, Lampung Barat.

Minimnya penghasilan sebagai guru kala itu memaksa bapak delapan anak ini mencari sumber pendapatan lain. Ia mulai berdagang kecil-kecilan, dengan membeli barang-barang tertentu dari suatu tempat untuk dibawa dan dijual pada tempat lain yang membutuhkan di Lampung (berdagang secara Cingkau).

Kemudian pada periode tahun 1970 hingga tahun 1990, ia merintis usaha perkebunan karet, cengkeh hingga rambutan yang ditanam dikebunnya sendiri di daerah Gunung Sugih (Lampung Tengah).  Sayangnya, semua usaha itu tidak berakhir sesuai dengan apa yang diharapkan.

Namun begitu, statusnya sebagai PNS tetap berlanjut. Dalam karirnya, Arief Mahya pernah menjadi kepala perguruan Islam di Metro, pernah mengajar sebagai guru agama di SR (sekarang SD) Negeri 1 dan 2 di Metro, acting Kepala  Jawatan Penerangan RI (Darurat) Keresidenan Lampung di Bukit Kemuning, menjadi kepala sekretariat kantor agama kabupaten Lampung Tengah, anggota DPRD Sementara (DPRDS) Kabupaten Lampung Tengah hingga menjadi kepala inspeksi penerangan agama perwakilan Departemen Agama Provinsi Lampung.

Hal lain yang menarik, Arief Mahya juga hobbi berorganisasi dan terlibat dalam pengurusan sejumlah partai politik di masa lalu. “Saya suka berorganisasi. Saya demam kalau tidak (ikut organisasi),” candanya.

Tak sebatas organisasi, ia juga mengenal banyak dunia jurnalistik. Beberapa kali ia pernah menjadi wartawan surat kabar, yakni ‘Suara Lampung’ dan Surat Kabar ‘Massa’ di Palembang. Beliau juga rajin sering menulis artikel keagamaan untuk rubrik Opini di beberapa surat kabar di bumi ruwa jurai.

Syiar Islam juga dilakukan dengan menjadi pengasuh ‘Kuliah Subuh’ di RRI Tanjungkarang, menjadi anggota dewan pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) hingga menjadi pembimbing haji untuk daerah.

Sampai saat ini, Kyai Arief masih menjadi Ketua Pengurus Masjid Alfurqon Bandar Lampung. Namun, dalam waktu dekat, ia akan mendelegasikan tugas tersebut kepada orang lain. “Saya sudah tua. Sudah waktunya menyerahkan kepada yang muda,” katanya seraya menerangkan akan lebih banyak mengisi waktunya dengan ibadah dan bersama keluarga. (Safwanto)