KIPRAH KH. Muhammad Hadi Sulaiman mungkin tak begitu banyak didengar dalam kepengurusan Nahdlatul Ulama (NU). Tapi di tempo dulu, Kiai kelahiran Banten ini begitu sangat disegani, khususnya di kawasan Telukbetung.
Bukan saja hanya pada kerja kerasnya memberi pendidikan agama pada masyarakat yang mayoritas dari kalangan miskin, namun Kiai ini juga dipercaya memiliki kesaktian yang pernah membuat tercengang masyarakat setempat.
Cerita tentang sosok Kiai Muhammad Hadi Sulaiman ini diceritakan detil oleh muridnya, Muhammad Taufik atau Taufik Hidayatullah kepada nulampung.or.id belum lama ini.
“Saya tidak tahu tanggal lahirnya, tapi beliau wafat di bulan Zulhijah tahun 1992. Dia ditokohkan karena perannya dalam dakwah agama Islam di sini. Tapi saya tidak tahu soal kiprahnya di organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Setahu saya beliau tidak berpolitik. Namun di daerah sini, peran dan sumbangsihnya diakui. Beliau ditokohkan tapi tidak terlibat banyak di politik,” kata Pak Taufik.
Pak Taufik yang kelahiran Cirebon, 20 Mei 1958 menuturkan, meski dilahirkan di Banten, namun gurunya itu merupakan garis keturunan Wetan, Madura, Jawa Timur.
“Beliau ke Lampung bersama isterinya, Ibu Hj. Ratu Siti Aisyah binti KH Tubagus Muhammad Ali. Namun beliau tidak mempunyai anak keturunan,” katanya.
Menurut Pak Taufik, guru yang dipanggilnya dengan sebutan Abah itu dulunya membuka sekolah (SD Mathaul Anwar – sekarang menjadi TPA Nurul Ulum) di Kampung Gubuk Sero, Kelurahan Kangkung, Bumi Waras.
“Beliau merangkap jadi pendiri, kepala sekolah dan sekaligus guru di sekolah itu. Dulu muridnya banyak. Tapi ia tak pernah meminta bayaran sekolah. Saya bahkan tidak membayar uang sekolah selama belajar dengannya,” tuturnya.
Abah, kata Pak Taufik, sangat keras dengan murid-muridnya namun juga sangat disenangi.Itu karena beliau sangat berseni.
“Sebelum masuk sekolah, beliau melantunkan lagu-lagu Islami seperti sholawat nariyah lah kalau sekarang ini. Murid jadi senang. Kalau belajar, kami ngantuk, beliau mempertunjukkan sesuatu. Istilah demon lah kalau bahasa kita sekarang. Misalnya, dia memperlihatkan tasbih di tangannya, dan tiba-tiba tasbih itu berdiri tegak lurus.Bukan untuk pamer tapi supaya kami tidak ngantuk dan belajarnya tidak membosankan,” katanya lagi.
Abah Hadi memang diketahui memiliki kesaktian. “Saya memang pernah melihat secara langsung begaimana kesaktiannya. Misalnya ketika suatu kali beliau tersandung batu saat berjalan. Dia marah dan memukul batu dengan tongkatnya. Dari pukulan itu, keluar api. Batu itu pecah. Padahal, seberapa besar kekuatan orangtua memukul. Tapi itu sampai mengeluarkan api. Padahal itu siang hari,” kenangnya lagi.
Selain kesaktian itu, Taufik kecil juga mengaku sangat heran ketika berjalan beriringan dengan gurunya tersebut.
“Saya ingat, pernah ada muridnya yang kesurupan.Saya mengiringnya jalan. Meski terlihat jalan biasa saja, tapi nyatanya saya dipaksa berlari-lari kecil untuk mengimbanginya,” ujarnya.
Cerita lainnya, pernah kampung Gubuk Sero mengalami kebakaran hebat sekitar tahun 1988. Tepatnya dekat Mushola Baitul Rahman.
“Api sangat besar. Saya berpikir kampung kami pasti habis dibakar habis. Abah menunjuk api dengan tongkatnya dan membaca ayat yang saya tidak tahu. Saya lihat sendiri bagaimana api bergulung keluar dan tidak membakar. Api lama kelamaan menjadi padam,” tuturnya.
Selain soal mengajar dan kesaktian, Abah Hadi juga giat berdakwah. Ia selalu menganjurkan sholawat nariyah tiap malam Senin.
“Kami kumpulkan 4444 biji asem dan rutin membacanya di Masjid As Adah. Hebatnya biji asem itu awet sampai sekarang, tidak busuk atau apa. Masih dipakai jika kami melakukan sholawat,” pungkasnya. (ilo)