Aturan Bersedekap dalam Shalat
Oleh :
Ust. Suparman Abdul Karim
(Ketua LDN NU Lampung)
Imam Ad-Dimasyqi mengemukakan bahwa:
وَاخْتِلَفُوْا فِى مَحَلٍ وَضْعِ الْيَدَيْنِ, فَقَالَ أَبُوْ حَنِيْفَةِ: تَحْتَ السُّرَّةِ, وَقَالَ مَالِكُ وَالشَّافِعِيُّ: تَحْتَ صَدْرِهِ وَفَوْقَ سُرَّتِهِ, وَعَنْ أَحْمَدِ رِوَايَتَانِ أَشْهُرُهُمَا وَهِيَ الَّتِي اخْتَارَهَا الْخَرْقِيُّ كَمَذْهَبِ أَبِيْ حَنِيْفَةِ (رحمة الأمة: 1/37-38).
Artinya:
"Para Imam madzhab berbeda pendapat mengenai tempat meletakkan kedua tangan. Imam Hanafi berpendapat: "dibawah pusar". Imam Malik dan Imam Asy-Syafi'i berpendapat: "Di bawah dada, di atas pusar". Sedangkan Imam Ahmad (Hambali) ada dua pendapat, namun yang lebih masyhur adalah pendapat yang dipilih Al-Kharqi, sebagaimana pendapat Abu Hanifah (yakni di bawah pusar) (Rahmatul Ummah: 1/37-38).
Dalam Fiqhus-Sunnah telah dikutip pernyataan Kamal bin Hammam, ia mengatakan: "Tidak ada hadits yang sah yang mengharuskan meletakkan tangan di bawah dada maupun di atas pusar. Hanya yang biasa diamalkan di kalangan madzhab Hanafi ialah di bawah pusar, dan pada madzhab Syafi'i dibawah dada (diatas pusar). Sedangkan dari madzhab Ahmad (Hambali) terdapat dua aliran sebagaimana kedua pandapat tersebut (ada yang dibawah dada dan ada yang dibawah pusar). Sedangkan yang benar adalah kedua-duanya" (Fiqhus Sunnah, 1/101). Maksudnya kita bebas memilih diantara keduanya.
Agar lebih jelas kami akan kutip ungkapan Imam At-Turmudzi tentang hadits mengenai bersedekap ini, dalam bab tersendiri beliau mencantumkan hadits:
عَنْ قَبِيْصَةَ بْنِ هُلْبٍ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ ( يَؤُمُّنَا فَيَأْخُذُ شِمَالَهُ بِيَمِيْنِهِ (سنن الترمذي: 252).
Artinya:
Dari Qabîshah bin Hulb dari ayahnya, ia berkata, "Bahwasanya Rasulullah SAW mengimami kami, maka beliau mendekap tangan kirinya dengan tangan kanannya" (Sunan At-Tirmidzi, no. 252).
Selanjutnya Imam Turmudzi mengomentari hadits ini:
قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ هُلْبٍ حَدِيثٌ حَسَنٌ وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِ ( وَالتَّابِعِيْنَ وَمَنْ بَعْدَهُمْ يَرَوْنَ أَنْ يَضَعَ الرَّجُلُ يَمِيْنَهُ عَلَى شِمَالِهِ فِي الصَّلاَةِ, وَرَأَى بَعْضُهُمْ أَنْ يَضَعَهُمَا فَوْقَ السُّرَّةِ وَرَأَى بَعْضُهُمْ أَنْ يَضَعَهُمَا تَحْتَ السُّرَّةِ وَكُلُّ ذَلِكَ وَاسِعٌ عِنْدَهُمْ (سنن الترمذي: 1/159).
Artinya:
Telah berkata Abu 'Isa: hadits Hulb ini derajatnya "Hasan". "Dan yang mengamalkannya para Ahli Ilmu dari kalangan sahabat Nabi SAW, para Tabi'in dan generasi sesudahnya. Mereka berpendapat bahwa seseorang hendaklah meletakkan tangan kanannya diatas tangan kirinya di dalam shalat. Sebagian mereka berpendapat agar hendaknya meletakkan tangan di atas pusar dan sebagian yang lainnya berpendapat meletakkan tangan di bawah pusar. Dan semua itu longgar bagi mereka (maksudnya semuanya benar dan boleh diamalkan)" (Sunan At-Tirmidzi: 1/159).
Persis dengan yang dikemukakan oleh Imam Turmudzi diatas, setelah melakukan penelitian di kitab-kitab ulama salaf, kami mendapati bahwa pendapat yang paling masyhur diamalkan oleh para Sahabat Nabi, para Tabi'in dan para ulama salaf setelah mereka adalah meletakkan tangan pada dua posisi yakni: Pertama, Bersedekap dibawah dada, diatas pusar; dan Kedua, Bersedekap dibawah pusar. Kedua pendapat ini sah untuk kita amalkan karena inilah yang paling banyak diamalkan oleh generasi Salafus-Shalih, yakni generasi terbaik yang paling paham akan sunnah Nabawiyah.
Selain kedua pendapat diatas ada juga pendapat yang menganjurkan meletakkan tangan di atas dada. Ini adalah pendapat beberapa ulama Muta'akhirin, yakni pendapat ulama masa kini. Pendapat inipun didasarkan pada beberapa hadits yang sah untuk diamalkan. Yang kami ketahui beberapa ulama tersebut adalah Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, dan beberapa ulama masa kini (seperti Syaikh Al-Albani, Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jaza'iri, Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, Al-Mubarakfuri dan yang lainnya).
Agar lebih jelas kami akan mengulas hujjah dari ketiga macam pendapat ini. Tentunya tujuannya bukan untuk membanding-bandingkan, tetapi semata-mata agar kita dapat saling memahami perbedaan pendapat dalam masalah ini. Berikut ini pemaparannya:
- Hujjah meletakkan tangan di bawah pusar.
Meletakkan tangan di bawah pusar adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan pendapat sebagian pengikut Imam Ahmad. Berikut ini dalil yang dijadikan hujjah:
عَنْ أَبِي جُحَيْفَةَ أَنَّ عَلِيًّا ( قَالَ مِنْ السُّنَّةِ وَضْعُ الْكَفِّ عَلَى الْكَفِّ فِي الصَّلاَةِ تَحْتَ السُّرَّةِ (سنن أبي داود: 756).
Artinya:
Dari Abi Juhaifah, sesungguhnya Ali r.a., telah berkata: "Yang termasuk sunnah itu adalah meletakkan pergelangan tangan (kanan) di atas pergelangan tangan (kiri) dalam shalat di bawah pusar" (Sunan Abi Dawud, no. 756).
Dalam kitab Al-Mughni (kitab fikih madzhab Hambali) dikemukakan bahwa, "Kata sunnah dalam perkataan Imam Ali diatas mengacu pada sunnah Nabi SAW. Disamping itu, pendapat ini merupakan pendapat yang dianut oleh sahabat-sahabat yang telah kami sebutkan diatas". (Sahabat yang dimaksud ialah: Ali, Abu Hurairah, Abu Mijlas, An-Nakha'i, Ats-Tsauri dan Ishaq) (Al-Mughni : 2/331).
Dalam kitab Fathul Qadir dikemukakan bahwa pendapat yang dipilih oleh Imam Hanafi adalah meletakkan tangannya di bawah pusar. Kemudian tidaklah Nabi SAW mengulurkan tangannya ke bawah. Karena yang dimaksud Imam Malik bahwa Nabi SAW mengulurkan tangannya ke bawah (tidak bersedekap) setelah takbir tersebut adalah berkenaan dengan takbir pada shalat Idul Adha (Fathul Qadir: 2/49).
- Hujjah meletakkan tangan di bawah dada, di atas pusar
Menurut yang masyhur diketahui bahwa Imam Asy-Syafi'i berpendapat bahwa letak tangan pada saat bersedekap adalah di atas pusar dan di bawah dada. Kendatipun ada keterangan lain yang menyebutkan bahwa Imam Asy-Syafi'i memilih meletakkan tangan di dada. Namun hal ini tidaklah bertentangan dikarenakan yang dimaksud adalah bahwa beliau lebih memilih meletakkan tangan di atas pusar dari pada meletakkannya di bawah pusar.
Kaitannya dengan ini Imam Muslim telah mencantumkan bab tersendiri dalam Shahih Muslim:
بَاب وَضْعِ يَدِهِ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى بَعْدَ تَكْبِيرَةِ اْلإِحْرَامِ تَحْتَ صَدْرِهِ فَوْقَ سُرَّتِهِ وَوَضْعُهُمَا فِي السُّجُودِ عَلَى اْلأَرْضِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ. (عَنْ أَبِيهِ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ أَنَّهُ رَأَى النَّبِيَّ ( رَفَعَ يَدَيْهِ حِينَ دَخَلَ فِي الصَّلاَةِ كَبَّرَ وَصَفَ هَمَّامٌ حِيَالَ أُذُنَيْهِ, ثُمَّ الْتَحَفَ بِثَوْبِهِ, ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى, فَلَمَّا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ أَخْرَجَ يَدَيْهِ مِنْ الثَّوْبِ, ثُمَّ رَفَعَهُمَا, ثُمَّ كَبَّرَ, فَرَكَعَ فَلَمَّا قَالَ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَفَعَ يَدَيْهِ فَلَمَّا سَجَدَ سَجَدَ بَيْنَ كَفَّيْهِ (صحيح مسلم: 401).
Artinya:
Bab Meletakkan tangan kanannya diatas tangan kiri setelah Takbiratul Ihram dibawah dadanya, di atas pusarnya dan meletakkan kedua tangan di bumi (lantai) pada saat sujud setentangan dengan kedua bahunya (yakni Dari Wa'il bin Hujrin, "Sesungguhnya ia telah melihat Nabi SAW mengangkat kedua tangannya ketika memulai shalat, beliau bertakbir dan mengangkat tangannya hingga sejajar dengan telinganya, kemudian beliau memasukkan tangannya ke balik pakaiannya, kemudian beliau melatakkan tangan kanannya diatas tangan kirinya, lalu ketika beliau hendak rukuk dikeluarkannya kedua tangannya dari balik pakaiannya, kemudian beliau mengangkat kedua tangannya lalu bertakbir, selanjutnya beliau rukuk. Setelah itu beliau mengucapkan Sami'allahu liman hamidah lalu mengangkat tangannya lagi" (Shahih Muslim, no. 401).
Imam Nawawi kemudian memaparkan penjelasan dalam Syarah Shahih Muslim mengenai hadits ini. Berikut ini penggalannya:
وَاسْتِحْبَابُ وَضْع الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى بَعْد تَكْبِيْرَةِ اْلإِحْرَام، وَيَجْعَلهُمَا تَحْت صَدْره فَوْق سُرَّته، هَذَا مَذْهَبنَا الْمَشْهُور، وَبِهِ قَالَ الْجُمْهُور. وَقَالَ أَبُو حَنِيفَة وَسُفْيَان الثَّوْرِيّ وَإِسْحَاق بْن رَاهْوَيْهِ وَأَبُو إِسْحَاق الْمَرْوَزِيُّ مِنْ أَصْحَابنَا: يَجْعَلهُمَا تَحْتَ سُرَّتِهِ. وَعَنْ عَلِيّ بْن أَبِي طَالِب ( رِوَايَتَانِ كَالْمَذْهَبَيْنِ، وَعَنْ أَحْمَد رِوَايَتَانِ كَالْمَذْهَبَيْنِ (شرح صحيح مسلم: 2/138).
Artinya:
Imam Nawawi mengemukakan: "Dan disunnahkan meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri setelah Takbiratul Ihram, kemudian menempatkan kedua tangan tersebut dibawah dada dan diatas pusar". Ini adalah pendapat yang masyhur dari madzhab kami (Madzhab Syafi'i) dan ini juga adalah pendapat Jumhur ulama. Sedangkan pendapat Abu Hanifah, Sufyan Ats-Tsauri, Ishaq bin Rahwaih dan Abu Ishaq Al-Marwiy dari kalangan sahabat kami: "meletakkan tangan itu dibawah pusar". Sedangkan dari Imam Ali ra., terdapat dua riwayat seperti dua pendapat diatas (yakni ada yang meriwayatkan beliau meletakkan tangan diatas pusar dan ada yang mengatakan dibawah pusar), dan begitupun menurut pendapat Imam Ahmad terdapat dua riwayat seperti dua pendapat diatas" (Syarah Shahih Muslim: 2/138).
Mengenai meletakkan tangan dibawah dada dan diatas pusar ini juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Imam Ali. Riwayat ini adalah salah satur versi dari dua versi riwayat tentang bersedekapnya Imam Ali. Sedangkan yang versi lainnya telah kami sebutkan sebelumnya (yakni pada pembahasan hujjah pendapat yang pertama). Perbuatan Imam Ali ini dapat dijadikan hujjah mengingat beliau adalah salah satu dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga. Berikut ini riwayat yang kami maksudkan:
عَنْ ابْنِ جَرِيرٍ الضَّبِّيِّ عَنْ أَبِيهِ قَالَ رَأَيْتُ عَلِيًّا ( يُمْسِكُ شِمَالَهُ بِيَمِيْنِهِ عَلَى الرُّسْغِ فَوْقَ السُّرَّةِ, قَالَ أَبُو دَاوُد وَرُوِيَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ فَوْقَ السُّرَّةِ (سنن أبي داود: 757).
Artinya:
Dari Ibnu Jarir Ad-Dhabbiy dari bapaknya, ia berkata, "Aku melihat Ali ra., mendekap tangan kirinya dengan tangan kanannya pada pergelangannya diatas pusar". Berkata Abu Dawud: "telah diriwayatkan pula dari Sa'id bin Jubair bahwa ia meletakkan tangannya di atas pusar" (Sunan Abi Dawud, no. 757).
- Hujjah meletakkan tangan di dada
Selanjutnya kami akan mengemukakan hujjah bagi pendapat yang meletakkan tangan di dada. Berikut ini hadits-haditsnya:
عَنْ طَاوُسٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ ( يَضَعُ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى يَدِهِ الْيُسْرَى ثُمَّ يَشُدُّ بَيْنَهُمَا عَلَى صَدْرِهِ وَهُوَ فِي الصَّلاَةِ (سنن أبي داود: 759).
Artinya:
Dari Thawus, ia berkata, "Bahwasanya Rasulullah SAW meletakkan tangan kanannya diatas tangan kirinya kemudian mendekap erat di dada sedang beliau dalam keadaan shalat" (Sunan Abi Dawud, no. 759).
Kemudian didasarkan pula dengan hadits berikut ini:
عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ قَالَ: صَلَّيْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ (، وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى يَدِهِ الْيُسْرَى عَلَى صَدْرِهِ (صحيح إبن خزيمة: 463).
Artinya:
Dari Wa'il bin Hujrin, ia berkata, "Aku shalat bersama Rasulullah SAW, dan beliau meletakkan tangan kanannya diatas tangan kirinya di dada" (Shahih Ibnu Khuzaimah, no. 463).
Ada dua macam pemahaman terhadap kalimat -'alâ shadrih- yang terdapat dalam hadits ini. Pertama, Ada yang memahaminya meletakkan tangan tepat diatas dada atau tepatnya menempel di dada (fî shadrih). Dan Kedua, Ada yang memahaminya meletakkan tangan diatas dada mendekat ke pangkal leher (fawqâ shadrih).
Namun, apabila kita hendak mengkompromikan dengan pendapat yang masyhur dari para Shahabat Nabi, para Tabi'in dan pendapat Jumhur ulama dari kalangan Ahlus-Sunnah, maka yang lebih sejalan adalah posisi tangan tepat berada di dada. Hal ini dimaksudkan agar tidak terlalu jauh berbeda dengan pendapat mayoritas para sahabat, para tabi'in dan jumhur ulama. Dimana sebagian mereka cenderung berpendapat meletakkan tangan diatas pusar dan sebagian yang lainnya melatakkan tangan dibawah pusar.
Kalimat 'alâ shadrih dalam hadits tersebut lebih tepat kita pahami dengan meletakkan tangan tepat di dada. Karena 'alâ tidak hanya berarti fawqâ (diatas melampaui dada) tetapi juga berarti fî shadrih (tepat menempel di dada). Sebagaimana kalimat sebelumnya "wadha'a yadahul-yumnâ 'alâ yadihil-yusrâ" (meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri) dipahami dengan meletakkan tangan kanan tepat menempel dipuggung tangan kiri.
Sedangkan apabila 'alâ shadrih dimaknai fawqâ shadrih, yakni dipahami dengan cara meletakkan tangan diatas dada mendekat ke bagian pangkal batang leher, maka pemahaman ini terlalu jauh dari apa yang dipahami para Salafus-Shalih. Seperti yang kita saksikan sekarang banyak anak-anak muda yang sedang semangat-semangatnya belajar agama mengamalkan hal ini secara berlebihan hingga tangannya mendekat ke pangkal batang leher. Kendatipun amalan ini tidak perlu "disalahkan", tetapi memang terlalu menyelisihi fatwa-fatwa ulama salaf. Sedangkan kita semua telah mengetahui bahwa ulama salaf adalah generasi yang paling paham dengan sunnah Nabi SAW dan amalan para sahabatnya.
Demikianlah pembahasan kita mengenai hukum berdiri dan bersedekap di dalam shalat. Semoga risalah ini dapat memperkaya khazanah pengetahuan keislaman kita khususnya yang berkenaan dengan fikih shalat.
Wallahua`lam. (*)