• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Sabtu, 20 April 2024

Teras Kiai

Hukum Wali Nikah Non-Muslim

Hukum Wali Nikah Non-Muslim
PERNIKAHAN merupakan jalan untuk menjaga kelangsungan keturunan manusia atau dengan kata lain hifzh an-nasl. Namun demikian terkadang dalam kehidupan sering terjadi dalam pernikahan masih terdapat wali nikah yang berbeda agama atau non-muslim. Sedangkan dalam pandangan Islam pernikahan tidak bisa dilakukan secara serampangan, tetapi terdapat aturan yang ketat dan harus dipenuhi. Yang menjadi permasalahan adalah bagaimana jika dalam pernikahan tersebut yang ada hanya wali yang bukan muslim? Siapa yang berhak untuk menjadi wali dalam permasalahan tersebut? Jawaban Dalam melaksanakan proses pernikahan , setidaknya ada lima rukun yang harus terpenuhi, yaitu mempelai pria, mempelai wanita, wali, dua orang saksi, dan shighat. فَصْلٌ فِي أَرْكَانِ النِّكَاحِ وَغَيْرِهَا وَأَرْكَانُهُ خَمْسَةٌ صِيغَةٌ وَزَوْجَةٌ وَشَاهِدَانِ وَزَوْجٌ وَوَلِيٌّ Fasal tentang rukun nikah dan selainnya. Rukun nikah itu ada lima yaitu, shigat, mempelai perempuan, dua orang saksi, mempelai laki-laki, dan wali” (Muhammad al-Khathib asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifati Alfazh al-Minhaj, Bairut-Dar al-Fikr, tt, juz, 3, h. 139) Dari kelima rukun tersebut salah satunya adalah wali. Artinya, pernikahan tidak dianggap sah kecuali dengan wali. Sebab, wali merupakan salah satu rukun nikah. اَلْوَلِيُّ أَحَدُ أَرْكَانِ النِّكَاحِ فَلَا يَصِحُّ إِلَّا بِوَلِيٍّ “Wali adalah salah satu rukun nikah, maka nikah tidak sah tanpa wali” (Taqiyyuddin al-Husaini al-Hushni, Kifayah al-Akhyar fi Halli Ghayah al-Ikhtishar, Surabaya-Dar al-‘Ilm, juz, 2, h. 40) Sedangkan seseorang yang menjadi wali juga harus memenuhi berbagai syarat yang harus terpenuhi. Salah satunya adalah beragama Islam. Menurut kesepakatan para ulama, perempuan muslimah walinya harus muslim juga. اَلْقَوْلُ فِي شُرُوطِ الْوَلِيِّ وَالشَّاهِدَيْنِ ( وَيَفْتَقِرُ الْوَلِيُّ وَالشَّاهِدَانِ ) اَلْمُعْتَبَرُونَ لِصِحَّةِ النَّكَاحِ ( إِلَى سِتَّةِ شَرَائِطَ ) بَلْ إِلَى أَكْثَرَ كَمَا سَيَأْتِي اَلأَوَّلُ ( اَلْإِسْلَامُ ) وَهُوَ فِي وَلِيِّ الْمُسْلِمَةِ إِجْمَاعًا “Penjelasan mengenai syarat-syarat wali dan dua orang saksi. (Dan wali dan dua orang saksi) yang diakui sebagai kesahan nikah membutuh setidaknya enam syarat bahkan lebih banyak sebagaimana yang dijelaskan. Syarat pertama adalah beragama Islam, dan syarat beragama Islam itu adalah syarat wali untuk perempuan muslimah sebagaimana ijma` para ulama” (Muhammad Khathib asy-Syarbini, al-Iqna` fi Halli Alfazhi Abi Suja`, Bairut-Dar al-Fikr, 1415 H, juz, 2, h. 408-409) Penjelasan ini mengandaikan bahwa seorang kafir tidak bisa menjadi wali atau memiliki hak perwalian atas perempuan muslimah. Jika ia hendak menikah sedangkan tidak ada pihak keluarganya yang bisa menjadi wali yang beragama Islam, seperti ayahnya, kakek, buyut, atau sauadar laki-laki, maka dalam konteks ini ia tidak memiliki wali. Sebab tak ada satu pun pihak keluarga yang bisa menjadi wali beragama Islam. Lantas bagaimana jalan keluarnya jika ia hendak menikah? Solusi yang ditawarkan untuk memecah kebuntuan ini adalah dengan wali dari penguasa /sulthan atau wali hakim. Pandangan ini didasarkan kepada sabda Rasulullah saw berikut ini; اَلسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ “Sulthan (penguasa) adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali”. (H.R. Ahmad) Wali hakim dalam hal ini adalah pejabat pemerintah Kementerian Agama atau yang mewakilinya sampai tingkat daerah yakni pejabat Kantor Urusan Agam (KUA). Dari penjelasan diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa setiap pernikahan maka wali yang dihadirkan adalah harus beragama islam. Namun bila ternyata dalam praktiknya tidak didapatkan seorang wali yang beragama islam maka solusi yang ditempuh adalah dengan cara menunjuk wali hakim. (Diambil dari hasil Lembaga Bahtsul Masail NU)


Editor:

Teras Kiai Terbaru