Warta

Upaya Menanggulangi HIV/AIDS

Senin, 30 Maret 2015 | 14:15 WIB

PANDEMI HIV&AIDS menjadi persoalan serius yang mengancam masa depan bangsa dan negara. Selain tak ada obatnya, penyebaran HIV&AIDS cukup cepat dan bisa mengancam siapa saja dan dimana saja. Berdasarkan laporan Kementerian Kesehatan RI bahwa HIV maupun AIDS tidak hanya menyerang orang yang melakukan kesalahan (dosa) akibat dari pola hubungan seks bebas (heteroseksual dan homoseksual) dan penyalahgunaan narkoba suntik (IDU) saja, akan tetapi juga telah masuk ranah rumah tangga. HIV telah menyusup ke ibu dan bayi yang tidak berdosa, lantaran ibunya tertular dari suaminya dan bayi yang dilahirkannya ikut terjangkit virus itu. Dari laporan Kementerian Kesehatan periode Januari-Juni 2012 terungkap jumlah angka kasus AIDS pada ibu rumah tangga mencapai 936 kasus, dibandingkan dengan pekerja seks yang hanya mencapai 36 kasus. Data tersebut menggarisbawahi bahwa kalangan ibu rumah tangga yang suaminya memiliki perilaku berisiko tertular HIV berpotensi lebih besar tertular HIV/AIDS dan Infeksi Menular Seksual lainnya dibanding wanita pekerja seks (WPS). Karena fakta-fakta inilah, para ulama menempatkan wabah HIV&AIDS ini sebagai al-dlarar al-amm (bahaya global). Dalam pandangan Islam, bahaya itu harus dihilangkan (al-dlararu yuzalu), dan bahaya itu melahirkan kewajiban untuk melakukan perlawanan dengan sungguh-sungguh (jihad). Dengan kata lain, wabah HIV&AIDS merupakan penyakit yang sangat bahaya yang harus dihapuskan, dan kewajiban menghapus penyakit HIV&AIDS adalah jihad. Pertanyaan Siapakah yang berkewajiban menghilangkan penyakit HIV?, dan Dimana posisi Jam’iyyah NU dan Negara dalam konteks HIV/AIDS? Jawaban Yang Berkewajiban Menghilangkan Penyakit HIV Kehadiran penyakit AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) disebabkan oleh kuman HIV (Humman Immuno deficiency Virus) yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Secara fiqh, AIDS dapat dikategorikan sebagai dlarar ‘am (bahaya umum) karena sudah menimbulkan masalah sosial dan kemanusiaan. Terhitung sejak pertama kali ditemukan pada 1987 di Bali, sekarang penyakit itu sudah berkembang di seluruh propinsi. Penderitanya bukan hanya mereka yang secara syar’i tindakannya salah, namun mayoritas justru diderita oleh ibu rumah tangga dan anak-anak yang tertular oleh suami/ayah yang terinfeksi HIV. Pada dasarnya, kewajiban menjaga dari HIV&AIDS pertama-tama dan terutama berada di pundak masing-masing pribadi. Setiap orang wajib menjaga keharmonisan dan keseimbangan fungsi organ-organ tubuh. Hadirnya penyakit hanyalah konsekwensi logis dari tubuh yang tidak normal. Sengaja membiarkan tubuh tidak berjalan sesuai dengan tabi’atnya yang sehat dipandang sebagai tindakan mencelakakan diri. Al-Qur’an sangat tegas melarang seseorang untuk menceburkan diri ke dalam kehancuran. وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ “....Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik” (QS. Al-Baqarah: 195) Kewajiban menjaga diri ini juga dapat dipahami dari adanya perintah untuk berobat, sebagaimana Hadits إن الله أنزل الداء والدواء وجعل لكل داء دواء فتداووا ولا تداووا بحرام (رواه أبو داوود) “Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan obat. Dan Allah telah menciptakan obat untuk semua penyakit. Maka berobatlah, dan jangalah engkau berobat dengan hal-hal yang haram” (HR. Abu Dawud) Terkait dengan keberadaan HIV&AIDS, penyakit ini belum dikenal dalam al-Qur’an, Sunnah ataupun peradaban masa lalu. Namun dengan melihat jenis dan efek yang ditimbulkan, HIV&AID dapat di-ilhaq-kan dengan penyakit Judzam (lepra). عن أبي هريرة قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول فر من المجذوم فرارك من الأسد (رواه أحمد والطبراني، وابن حبان) “Dari Abi-Hurairah r.a. ia berkata: saya mendengar Rasulullah saw. bersabda, larilah kamu (menghindar) dari orang yang terjangkit penyakit lepra, seperti kamu lari dari harimau." (HR.Ahmad, Thabrani dan Ibn Hibban) لا تديموا النظر إلى المجذومين إذا كلمتموهم فليكن بينكم وبينهم قيد رمح (رواه أحمد والطبراني وعبد الرزاق وابن جرير) “Kalian jangan lama-lama memandang orang yang sedang terjangkit penyakit lepra, jika kalian berbicara kepada mereka hendaklah kamu menjaga jarak sejengkal tombak" (HR. Ahmad) Posisi Jam’iyyah NU dan Negara dalam konteks HIV & AIDS? Mengingat bahwa dalam masyarakat terdapat pelapisan sosial, dimana ada individu yang mampu menjaga kesehatan dan ada yang tidak, maka masyarakat (termasuk didalamnya jam’iyyah NU) secara kolektif berkewajiban mengingatkan dan menjaga warganya dari HIV&AIDS sesuai porsinya masing-masing. Sesama anggota masyarakat wajib menyadarkan betapa bahayanya HIV&AIDS, dan pada saat yang sama juga membantu menangani dan menanggulanginya. Dengan cara demikian, secara fakultatif penaggulangan HIV&AIDS akan tercapai secara sempurna. ويجب عليه أي على كل مكلف بذل النصيحة للمسلمين: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: الدين النصيحة قالوا له: لمن قال: لله ورسوله ولأئمة المسلمين وعامتهم. قال ابن حجر فى شرح الأربعين: اي بإرشادهم لمصالحهم فى أمر اخرتهم ودنياهم وإعانتهم عليها بالقول والفعل وستر عوراتهم وسد خلاتهم ودفع المضار عنهم وجلب المنافع لهم. (محمد بن سالم بن سعيد بابصيل، اسعاد الرفيق، سورابايا-مكتبة الهداية، ص. 65) “Setiap orang mukallaf wajib memberikan nasihat kepada orang-orang muslim. Rasulullah Saw. bersabda “ Agama adalah nasihat, para sahabat bertanya kepada Nabi, untuk siapa? Nabi menjawab: untuk Allah, Rasulnya, dan para imam orang muslimin dan awamnya. Ibn Hajar berkata dalam Syarh al-Arba`in: Yakni dengan menunjukkan mereka kepada kemaslahatan dunia dan akhira, membantu dengan perkataan, perbuatan, menututup aib mereka, menutupi pelbagai kekurangan, menghindarkan marabahaya dan mendatangkan manfaat bagi mereka." (Muhammad Salim bin Sa`id Babashil, Is`ad ar-Rafiq, Surabaya-Maktabah al-Hidayah, h. 65) Oleh karena kemampuan individu dan masyarakat relatif terbatas dibanding kemampuan negara, maka pada titik tertentu campur tangan negara tidak bisa terelakkan. Negara dengan instrumen kekuasaan yang dimilikinya harus mampu menyelesaikan problem HIV&AIDS dari penduduknya agar kemaslahatan ammah dapat terrealisasikan. ( القاعدة الخامسة تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة ) هذه القاعدة نص عليها الشافعي وقال منزلة الإمام من الرعية منزلة الولي من اليتيم قلت : و أصل ذلك : ما أخرجه سعيد بن منصور في سننه قال حدثنا أبو الأحوص عن أبي إسحاق عن البراء بن عازب قال : قال عمر رضي الله عنه : إني أنزلت نفسي من مال الله بمنزلة والي اليتيم إن احتجت أخذت منه فإذا أيسرت رددته فإن استغنيت استعففت...... وولي الأمر مأمور بمراعاة المصلحة و لا مصلحة في حمل الناس على فعل المكروه. ومنها : أنه ليس له العفو عن القصاص مجانا لأنه خلاف المصلحة بل إن رأى المصلحة في القصاص اقتص أو في الدية أخذها و منها : أنه لا يجوز له أن يقدم في مال بيت المال غير الأحوج على الأحوج. قال السبكي في فتاويه فلو لم يكن إمام فهل لغير الأحوج أن يتقدم بنفسه فيما بينه و بين الله تعالى إذا قدر على ذلك ملت إلى أنه لا يجوز (جلال الدين السيوطي، الأشباه والنظائر، بيروت-دار الكتب العلمية، 1403هـ، ص. 121-122) "(Kaidah yang kelima: Perlakuan (kebijakan) imam atas rakyat harus mengacu pada maslahat). Kaidah ini di nash oleh imam Syafi`i, beliau berkata: Posisi imam atas rakyat itu seperti posisinya wali atas anak yatim. Saya berkata: Dasar kaidah tersebut adalah hadits yang diriwayatkan oleh Said bin Mansur dalam kitab Sunan-nya. Ia berkata: Abu al-Akhwash bercerita kepada kami, dari Abi Ishaq, dari al-Barra’ bin ‘Azib, dia berkata: Umar r.a. berkata: Sesungguhnya aku memposisikan dirikku dari harta Allah seperti posisi seorang wali anak yatim( dari hartanya), jika aku butuh, aku mengambilnya, kemudian jika aku punya maka aku kembalikanya. Jika aku tidak butuh, maka aku menjaga diri untuk tidak mengambilnya... Pemimpin (orang yang mempunyai kewenangan) diperintahkan untuk menjaga maslahat. Dan tidak termasuk kategori maslahat mengarahkan manusia untuk melakukan perkara yang di dibenci (makruh). Di antara contohnya adalah imam tidak boleh memberikan ampunan atas hukuman qishosh dengan cuma-cuma ( tanpa membayar denda(diyat), karena hal ini bertentangan dengan prinsip maslahat. Aka tetapi jika dia melihat maslahat itu ada pada qishosh maka dia harus memutuskan qishosh. Atau dalam denda ( diyat), dia harus mengambil denda tersebut. Di antara contohnya adalah dalam urusan( pendistribusian) harta baitul mal, Imam tidak boleh mendahulukan (memprioritaskan) orang yang tidak membutuhkan ( kaya) dari pada orang yang membutuhkan ( miskin). Imam as-Subki dalam kitab Fatawa-nya mengatakan: Jika tidak ada Imam ( pemimpin) apakan orang yang tidak membutuhkan boleh mengajukan dirinya dalam urusan antara dirinya dengan Allah Swt. jika ia mampu? Saya cenderung berpendapat bahwa hal tersebut tidak boleh." (Jalaluddin as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair, Bairut-Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1403 H, h. 121 -122) شرط وجوب الأمر بالمعروف أن يأمن على نفسه وعضوه وماله وإن قل كما شمله كلامهم بل وعرضه كما هو ظاهر وعلى غيره بأن يخاف عليه مفسدة أكثر من مفسدة المنكر الواقع (سليمان الجمل، حاشية الجمل على شرح المنهج، بيروت-دار الكتب العلمية، الطبعة الأولى، 1418هـ/1992م، الجزء الثامن، ص. 83) Dan syarat wajib amar makruf adalah adanya keamanan (keselamatan) atas nyawa, anggota badan dan harta miliknya, sekalipun sedikit. Hal ini sebagaimana yang terkandung dalam pandangan para ulama. Bahkan termasuk keamanan bagi harga dirinya, sebagai mana yang tampak tersurat pada ungkapan para ulama (dzohir). Dan juga keamanan bagi orang lain. Seperti kekhawatiran terjadinya kerusakan (mafsadah) yang lebih besar yang akan menimpa padanya, dibanding kerusakan yang timbul dari kemungkaran yang telah terjadi”.(Sulaiman al-Jamal, Hasyiah al-Jamal ala Syar al-Manhaj, Beirut-Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet ke-1, 1418/1992, Vol: VIII, h. 83). (Hasil Bahtsul Masail Diniyyah Lembaga Kesehatan NU tentang Penanggulangan HIV/AIDS)


Terkait