Shalat Jum’at di Rumah, di Tengah Wabah Covid-19
Oleh: Ust. Abdul Aziz, SH., S.Pd.I., M.Pd.I. *)
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَوٰةِ مِن يَوۡمِ ٱلۡجُمُعَةِ فَٱسۡعَوۡاْ إِلَىٰ ذِكۡرِ ٱللَّهِ وَذَرُواْ ٱلۡبَيۡعَۚ ذَٰلِكُمۡ خَيۡرٞ لَّكُمۡ إِن كُنتُمۡ تَعۡلَمُونَ ٩
Artinya :
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan Shalat Jum´at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui (QS. Al Jumu’ah : 9)
Shalat Jum’at adalah shalat yang dilakukan secara berjamaah di waktu siang hari, tepatnya bila matahari telah tergelincir seperti halnya waktu shalat dzuhur.
Hadis Rasulullah Muhammad SAW menjelaskan, ‘Kami shalat Jum’at bersama Rasulullah SAW apabila matahari telah tergelincir. Kemudian (selesai shalat) kami kembali ke tempat kami dengan mengikuti bayangan (benda/pohon dan sebagainya). (HR Al Bukhari nomor 4168 dan Muslim nomor 1989).
Kaifiyah Shalat Jum’at berbeda dengan kaifiyah Shalat Dzuhur. Shalat Dzuhur berjumlah empat rakaat, sedangkan Shalat Jum’at berjumlah dua rakaat, yang sebelum pelaksanaannya didahului dengan dua khutbah terlebih dahulu.
Tiadanya batasan syar’i yang eksplisit mengenai batasan jumlah minimal jama’ah yang menjadi syarat syahnya Shalat Jum’at, telah membuka ruang ijtihadiyah para imam mazhab. Mengenai batasan jumlah orang yang melaksanakan Shalat Jum’at (jama’ah jum’at) terjadi perbedaan pendapat diantara para imam madzhab.
Imam Malik Bin Anas Bin Malik Bin ‘Amr Al Humyari Al Asbahi Al Madani (lahir di madinah pada tahun 93 H./ 714 M. meninggal pada tahun 179 H./ 800 M.) Pendiri Mazhab Maliki berpendapat bahwa tidak ada batasan jumlah tertentu untuk jama’ah Shalat Jum’at. Beliau mensyaratkan setidaknya jama’ah Shalat Jum’at minimal berjumlah 13 orang laki-laki termasuk imam, ini juga merupakan pendapatnya Imam Syafi’i dalam qaul qadim.
Imam Abu Abdillah Muhammad Bin Idris Asy syafi’i Al Muthallibi Al Quraisyi (lahir di Ashkelon Gaza Palestina tahun 150 H./ 767 M. meninggal di Fushtat Mesir tahun 204 H./ 819 M.) yang populer dengan sebutan Imam Syafi’i (qaul jadid), sependapat dengan muridnya yang juga Imam Mazhab yaitu Imam Ahmad Bin Hambal (Ahmad Bin Muhammad Bin Hambal Bin Hilal Bin Asad Al Marwazi Al Baghdadi, lahir 164 H./ 780 M. meninggal 241 H./ 855 M).
Guru dan murid ini berpendapat bahwa jumlah minimal orang yang melaksanakan ibadah Shalat Jum’at adalah 40 orang laki-laki, mendasarkan qaulnya pada peristiwa keluarnya para sahabat dari masjid ketika Nabi Muhammad SAW sedang khutbah Jum’at karena melihat kabilah dagang yang datang dari syam/syiria.
Ini juga yang menjadi dasar dilarangnya jual beli ketika adzan Jum’at sudah dikumandangkan. Dan para sahabat kembali lagi ke dalam masjid hingga jumlah jama’ah menjadi 40 orang lagi. Nabi Muhammad SAW melanjutkan kembali khutbahnya dan Shalat Jum’at bersama mereka (40 orang).
Yang paling moderat menurut hemat penulis dan sangat relevan dengan kondisi saat ini di Indonesia ditengah mewabahnya coronavirus disease 2019 (Covid-19) adalah pendapatnya Imam Abu Hanifah, Nu’man Bin Tsabit Bin Zuta Bin Mahan At Taymi (lahir di Kufah Irak 80 H./ 699 M. meninggal di Baghdad Irak 148 H./ 767 M).
Imam Mazhab paling senior dan juga terkenal dengan ahlu al ra’yi ini berpendapat bahwa shalat jum’at bisa dilaksanakan walau hanya dengan tiga orang, termasuk imamnya. Hitungan minimal orang yang melaksanakan Shalat Jum’at (jama’ah), kurang dari tiga shalat jum’atnya tidak syah.
Imam Abu Hanifah / Imam Hanafi mendasarkan argumentasinya pada firman Allah SWT “Segeralah menuju dzikrullah” (QS. Al Jumu’ah ayat 9).
Seruan ini ditujukan bagi jama’ah Jum’at setelah adzan. Bilangan terkecil lafadz jamak adalah tiga. (Lihat Syekh Hasan Sulaiman Nuri dan Sayyid Alwi bin Abbas Al Maliki, Ibanatul Ahkam Syarah Bulughul Maram (Beirut, Darul Fikr : 1996 M. / 1416 H.)
Bahkan ada yang sangat longgar sekali, yaitu pendapatnya Syaikh Ibrahim Al Bajuri dalam kitab Hasyiyah Asy Syaikh Ibrahim Al Bajuri ‘ala Fathil Qarib Al Mujib. Beliau mengutip 15 perbedaan pendapat tentang jumlah jama’ah Shalat Jum’at.
Dan yang paling longgar adalah pendapatanya Imam Ibnu Hazem, shalat Jum’at tidak harus berjama’ah, dan dalam referensi yang berbeda, juga tidak harus khutbah. Bisa dibayangkan kalau ini yang difatwakan di Indonesia, akan memicu kontroversi yang tak berkesudahan.
Lalu bagaimana dengan pelaksanaan Shalat Jum’at di luar masjid, termasuk di rumah? Dalam Hadis Rasulullah Muhammad SAW bersabda, ‘Bumi ini seluruhnya adalah Masjid, kecuali kuburan dan kamar mandi’.
Tiga Imam madzhab (Hanafi, Syafi’i, Hambali) sepakat mengenai kebolehan Shalat Jum’at di luar masjid (masjid dalam definisi kelaziman masyarakat, sebuah bangunan tempat ibadah yang biasa dipakai untuk shalat lima waktu, shalat jum’at dan ibadah lainnya). Imam Abu Hanifah mempertegas pendapatnya bahwa syahnya Shalat Jum’at tidak dipersyaratkan harus di masjid.
Ibnu Hajar Al Haitami, seorang ulama di bidang fikih bermazhab syafi’i menjelaskan :
أَنَّ الْجُمُعَةَ لَا يُشْتَرَطُ لِصِحَّةِ إقَامَتِهَا الْمَسْجِدُ كما صَرَّحُوا بِهِ فَلَوْ أَقَامُوهَا في فَضَاءٍ بين الْعُمْرَانِ صَحَّتْ
Sesungguhnya Jum’at tidak disyaratkan kesahannya di masjid. Sebagaimana mereka secara tegas berpendapat sekiranya mereka melaksanakan shalat Jum’at di tempat terbuka di antara gedung atau bangunan maka shalatnya sah. (Al Fatawa Al Fiqhiyyah Al Kubra).
Dalam konteks pelaksanaan Shalat Jum’at, apabila kita menggunakan perspektif hukum Imam Abu Hanifah dan Imam Ibnu Hajar Al Haitami, ditambah lagi dengan situasi dan kondisi penyebaran wabah virus Covid-19 di Indonesia yang kurvanya terus meningkat dan massif, maka Shalat Jum’at bisa dilaksanakan di rumah masing – masing dengan minimal tiga jama’ah, termasuk imamnya. Tentu, di samping opsi diperbolehkannya diganti Shalat Dzuhur. Wallahu A’lamu Bish-shawab
*) Penulis adalah Wakil Ketua PCNU Kota Bandar Lampung