BANDARLAMPUNG – Diakui atau tidak, Lampung termasuk ke dalam peta rawan konflik, baik agraria maupun sosial.
Intensitas terjadinya konflik berujung bentrok di bumi ruwa jurai cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lain.
Beberapa konflik agraria yang sangat fenomenal dan sampai saat ini belum terselesaikan yakni konflik register 45 di Mesuji. Belum termasuk dengan perseteruan lahan antara warga dengan PT Bangun Nusa Indah Lestari (BNIL) di Kabupaten Tulangbawang.
Selain agraria, konflik sosial yang terjadi di Lampung juga mendapat sorotan nasional, seperti misalnya konfik Balinuraga (Lampung-Bali) beberapa waktu lalu.
Jangan lupakan juga konflik terdahulu yang pernah di Lampung Selatan pada tahun 2011, 2012, 2013, dan 2014); Lampung Timur (2012), Lampung Utara (2012), Tanggamus (2014), dan Lampung Tengah (2010, 2011, 2012, dan 2014).
Melongok pada sejumlah catatan kelam tersebut, Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Lampung merekomendasikan dua hal agar kasus ini tidak terulang di masa mendatang.
Dua rekomendasi itu dihasilkan dari musyawarah kerja wilayah (Mukerwil) PWNU Lampung yang dihelat di Taman Nasional Way Kambas Lampung Timur pada 6 November lalu.
Pertama, pemerintah melalui Badan Pertanahan harus menyelesaikan konflik agraria sesuai dengan peraturan perundang-undangan dengan mengedepankan hak asasi manusia dengan prinsip prikemanusiaan dan prikeadilan bagi orang miskin.
Kedua, Gubernur Lampung Ridho Ficardo harus menyelesaikan konflik sosial yang bersumber isu SARA dengan mengedepankan toleransi, dengan mengajak elemen masyarakat/ormas untuk menjadi meditor dalam penyelesaian konflik social tersebut. Maksimal akhir 2017 harus sudah selesai dengan baik tanpa merugikan kelompok lain. (jihun)