Warta

Pendidikan Islam dan Guru Bangsa (Gus Dur)

Ahad, 1 Januari 2017 | 22:41 WIB

Pendidikan Islam dan Guru Bangsa (Gus Dur) Oleh: M. Misbahul Munir KITA sering terjebak dalam dua istilah antara pendidikan Islam dan pendidikan Agama Islam. pada hakekatnya, secara substansial, pendidikan Agama Islam dan pendidikan Islam sangat berbeda. usaha–usaha yang diajarkan tentang persoalan Agama itulah yang kemudian bisa disebut dengan pendidikan Agama Islam. Sedangkan pendidikan Islam adalah nama sebuah sistem, yaitu sistem pendidikan yang Islami. Ada sebuah persepektif pendidikan Islam sebagai sebuah sistem. Pertama, pendidikan menurut Islam, atau pendidikan yang berdasarkan Agama Islam, yakni pendidikan yang dipahami dan dikembangkan serta disusun dari ajaran dan nilai nilai fundamental yang terkandung dalam sumbernya, yaitu Al-quran dan hadist. Kedua, pendidikan ke Islaman atau pendidikan Islam, yakni upaya mendidikkan Agama Islam atau ajaran ajaran Islam dan nilai-nilainya supaya menjadi way of life (pandangan dan sikap hidup). Ketiga, pendidikan dalam Islam atau proses dan praktik penyelenggaraan pendidikan yang berlangsung dan berkembang dalam sejarah umat Islam, dalam arti proses bertumbuh kembangnya pendidikan Islam dan umatnya Berbicara pendidikan Islam dalam konteks bangsa Indonesia, tidak bisa lepas dari Pancasila sebagai dasar bangsa, dan semboyan Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda tapi tetap satu) di dalam konsep Islam manusia sering disebut sebagai “Umatan Wahidah” atau umat yang satu. Maka diharapkan tidak sampai menumbuhkan sikap intoleran (perpecahan), dikalangan peserta didik serta masyarakat Indonesia, dan memperlemah kerukunan hidup umat beragama serta persatuan dan kesatuan nasional. Dengan demikian, pendidikan Islam mengajarkan toleransi sesama umat manusia dan menghargai terhadap bentuk pemikiran dan sikap dalam koridor untuk membangun kesalehan individual dan kesalehan sosial. Ada beberapa hal yang sangat perlu dikaji ulang terkait konsep yang berkembang dan sudah dijalankan dalam roda dunia pendidikan, khususnya pendidikan Islam. Kembali pada historiografi pendidikan Islam, ada tiga pokok pembahasan. Pertama, pendidikan Islam pada zaman klasik (Masa Nabi Muhammad SAW) untuk melihat sejauh mana teks Agama mengisyaratkan pendidikan, Kedua, pada masa pertengan untuk melihat sejauh mana teks Agama di tafsirkan. Ketiga, pada zaman modern sejauh mana relevansi teks dengan perkembangan zaman, yang ditelaah dengan epistemologi Bayani, burhany dan irfany.  Peran dan Kontribusi Pendidikan Islam Pendidikan secara general dalam sejarah peradapan anak manusia adalah salah satu komponen pendidikan yang paling urgen. Aktivitas ini telah dan akan terus berjalan semenjak manusia ada di dunia sampai berakhirnya kehidupan dimuka bumi ini. Faktor internal maupun eksternal sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan dan pertumbuhan, serta pembentukan karakter peserta didik dalam dinamika pembentukan potensi yang tersembunyi dalam diri seseorang. Kemudian, pendidikan Islam mengharuskan melihat berbagai macam persoalan terkait dengan perkembangan zaman dewasa ini. Secara kodrati, manusia terlahir dalam keadaan yang tidak tahu menahu semua yang ada di muka bumi ini. Akan tetapi dengan proses pertumbuhan dan perkembangannya, peserta didik banyak dikenalkan dengan berbagai macam hal, mulai dari pengalaman individu, proses transformasi budaya, sampai pada persoalan teologi. Perlu disadari bahwa nilai-nilai apapun yang akan disampaikan oleh pendidikan Islam tidak lepas dari peran teologi yang merupakan inti agama. Oleh karena itu, bila ada keinginan untuk merekontruksi pendidikan Islam, dalam arti nilai yang akan disampaikan dalam era pluralisme, bidang teologi inilah yang segera mendapatkan perhatian. Pendidikan Islam Persepektif KH Abdurrahman Wahid Tujuan pendidikan Islam untuk memanusiakan manusia merupakan hal yang mutlak adanya. Hal itu karena pendidikan Islam adalah wahana untuk pemerdekaan dan pembebasan manusia untuk menemukan jati diri yang sesungguhnya sehingga akan tampak karakteristik dari pola-pola yang dikembangkan oleh pendidikan Islam. Tujuan pendidikan Islam secara filosofis bertujuan sesuai hakekat penciptaan manusia, yaitu untuk menjadi hamba dan mengabdi kepada Allah SWT. Manusia sebagai makhluk yang sempurna diantara makhluk-makhluk lainnya. Pendidikan dalam Islam merupakan sebuah rangkaian proses pemberdayaan manusia menuju taklif (pendewasaan), baik secara akal, mental, maupun moral, untuk menjalankan fungsi kemanusian yang diemban sebagai seorang hamba dihadapan Kholiqnya dan sebagai pemelihara (khalifah) pada semesta. Tujuan ahir pendidikan dalam Islam, yaitu sebagai proses pembentukan diri peserta didik (manusia) agar sesuai dengan fitroh keberadaannya, hal ini meniscayakan adanya kebebasan gerak bagi setiap elemen dalam dunia pendidikan. Pendidikan Islam dalam persepektif Gus Dur tidak lepas dari peran pesantren sebagai salah satu institusi pendidikan Islam yang menjadi wahana resistensi moral dan budaya atau pewaris tradisi intelektual Islam tradisional. Dalam perjalanan historisnya, pesantren muncul sejak abad hijriah, hingga masa-masa paling akhir dari imperium usmaniyah di turki pada abad ke 20. Sampai kini, keberadaan pesantren masih sedemikian penting dalam pemberdayaan masyarakat. Bagi Gus Dur, pendidikan Islam haruslah memadukan sesuatu yang tradisional dan modern. Gus Dur berusaha mensintesiskan kedua pendidikan ini, yaitu pendidikan Islam klasik dengan pendidikan barat modern dengan tidak melupakan esensi ajaran Islam. Beliau berusaha konsisten mempertahankan nilai-nilai lama yang baik namun tetap melihat kedepan dan mengadopsi pemikiran barat modern yang sangat relevan dengan Islam sehingga dari sintesis tersebut menghasilkan neomodernisme untuk melihat Alquran Sistem pendidikan nasoinal menurut Bapak Bangsa tersebut bahwa harus diubah dengan pendidikan berbasis masyarakat. “Sebab sistem pendidikan saat ini hanya formalitas, orang tidak punya ijazah tidak dipakai. Padahal banyak warga masyarakat yang tidak berijazah, tetapi punya kemampuan, termasuk pendidikan pesantren yang sudah sekian tahun mengaji tidak pernah dihargai”. Pendidikan moral dan etika seakan diabaikan Kondisi masyarakat yang majemuk sungguh membutuhkan sistem dan metode yang mapan dan berbeda pada setiap daerah, dalam upaya menyelaraskan pendidikan yang diharapkan. Hal ini membutuhkan kerja estra dalam mengupayakan sistem pendidikan Islam di setiap daerah. Pendidikan haruslah beragam, mengingat kondisi sosial masyarakat Indonesia. perbedaan masyarakat di Indonesia ini bukan hanya aspek geografis, melainkan juga perbedaan segala aspek baik itu keyakinan, ekonomi, sosial-budaya. Problem yang mendasar saat ini adalah langkanya pemimpin pada tiap-tiap instansi yang memiliki wawasan yang luas, cara berfikir plural, dan jujur serta bijaksana dalam menjalankan tugasnya sebagai pemimpin pelayan masyarakat. Ada sebuah adagium yang sering dinyatakan oleh kalangan Islam “Tiada Islam tanpa kelompok, tiada kelompok tanpa kepemimpinan, dan tiada kepemimpinan tanpa ketundukan” (La Islama illa bi jama’ah wala jama’ata illa bi imarah wala imarata illa bi tha’ah). (Penulis adalah Sekretaris Umum PC PMII Metro periode 2012-2013 - Alumni Institut Agama Islam Ma'arif NU Metro Lampung)  


Terkait