Salah satu kebiasaan yang sudah menjadi ciri warga Nahdlatul Ulama (NU) adalah memakai kopiah atau biasa juga disebut peci. Selain kopiah, orang NU juga suka mengenakan kopiah atau sorban, yaitu penutup kepala yang juga dianggap sopan.
Saking ketatnya budaya memakai kopiah di masa lalu maka bila ada orang NU yang sholat di masjid tidak memakai kopiah, langsung dicap bukan orang NU.
Bagi warga NU, mengenakan penutup kepala dalam sholat, selain berfungsi agar tidak ada rambut yang menghalangi wajah ke tempat sujud, juga dinilai sopan. Memakai kopiah dianggap lebih beretika ketimbang tidak memakai berkopiah.
Namun, belakangan, budaya memakai kopiah itu semakin pudar. Banyak anak muda NU yang sholat tidak memakai kopiah. Meski begitu, di kalangan pesantren, bila ada yang tidak memakai kopiah tetap diangap tabu dan tetap dianggap tidak sopan. Bahkan saat menghadap kiai, bila hanya "gundulan", dianggap tidak bertata krama.
Inti dari pemakaian peci adalah mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW. Beberapa hadis menyebutkan bahwa Rasulullah selalu memakai penutup kepala, baik secara sempurna dengan Imamah /udeng-udeng (semacam sorban yang diikatkan di kepala, didasari oleh peci haji atau hanya sorban saja) maupun penutup yang sangat sederhana berupa kain yang diletakkan diatas kepala semacam peci haji.
Rahasia pemakaian peci adalah menjaga adab dan sopan santun kita terhadap Allah SWT. Sesederhana apapun bentuknya, peci sangat dianjurkan untuk digunakan kapanpun kita berada, kecuali ketika tidur atau dalam keadaan yang tidak patut.
Sebuah hadis menjelaskan bahwa para malaikat bershalawat (memintakan ampunan kepada Allah) bagi orang sholat yang memakai imamah atau penutup kepala.
Beberapa keutamaan dan anjuran pemakaian peci menegaskan bahwa peci bukanlah sekedar produk budaya suatu daerah tertentu. Sebaliknya peci adalah gambaran dari bentuk adab dan sopan santun kita terhadap sang pencipta yang telah dipelopori oleh panutan sejati kita, Rasulullah. (Jihan/dbs)