Meraih Taqwa dan Hidup Berkah Melalui Ramadhan
Oleh: Rudy Irawan, S.PdI, M.S.I. (*
SEBAGAI hamba yang beriman, kita dimuliakan oleh Allah. Disapa dan dimanjakan oleh Allah. Memang secara syar’i kita diwajibkan berpuasa, lapar dan haus serta pantang melakukan hal-hal yang bisa membatalkan puasa. Namun itu semua adalah untuk kebaikan dan kemashlahatan kita sendiri, yakni menjadi hamba yang senantiasa bertaqwa kepada-Nya (QS. Al-Baqarah: 183).
Kata “la’allakum tattaqun” pada ayat tersebut, digunakan kata kerja bentuk sedang (ingform) atau yang akan datang (future tense).
Menurut kaidah bahasa fi’il mudlari’ itu mengandung maksud sustainability update atau kesinambungan untuk memperbaharuinya.
Puasa yang diharapkan mampu memproses atau mengejawantah orang yang berpuasa menjadi orang yang bertaqwa. Namun ketaqwaan itu hanya bisa dinilai tidak cukup hanya dari chasing atau tampilan lahiriyah semata, akan tetapi yang lebih penting adalah dengan menjalankan ibadah puasa, seseorang –atau kita – menjadi hamba yang diharapkan menjadi orang yang bertaqwa.
Ketaqwaan seseorang sangat dipengaruhi oleh kapasitas ilmu, pengalaman, dan usaha yang terus menerus mendapatkan kesempurnaan dalam manifestasi ibadah.
Puasa merupakan instrumen untuk menghapus segala macam dosa, melalui ritual menahan diri dari makan, minum, dan hal-hal yang bisa membatalkan puasa. Puasa yang merupakan ibadah personal, hanya Allah dan dirinya sendiri yang tahu, untuk mendisiplinkan diri, sebagai bentuk ketaatan dan kepatuhan hamba kepada Allah.
Ketaatan dan kepatuhan ini adalah dorongan dan ungkapan manifestasi iman. Tanpa ada dasar iman, maka seseorang tidak disapa untuk menjalankan ibadah puasa. Karena itu, apabila ada seseorang yang mengaku beriman, akan tetapi tidak berpuasa tanpa alasan atau udzur syar’i, seperti sakit, musafir, atau keadaan yang tidak memungkinkan lagi ia berpuasa, maka perlu dipertanyakan keimanannya.
Sama halnya, seseorang yang katanya beriman tetapi mencuri, korupsi, dan melakukan kejahatan, maka sejatinya imannya sudah keluar dari dirinya.
Puasa mendidik pelakunya untuk jujur, amanah, tabligh, dan fathanah. Ini adalah sifat wajib Nabi Muhammad Rasulullah SAW. Melalui puasa juga, iman akan bertambah kualitasnya.
Dengan fondasi iman maka bangunan ketaqwaan itu akan bisa dibangun. Pilar atau tiangnya adalah shalat, zakat, puasa, dan melaksanakan ibadah haji bagi yang mampu. Bangunan ketaqwaan yang dibangun tanpa pilar, dapat dipastikan akan mudah roboh jika diterpa angin. Karena itu, ibadah puasa, akan bisa sempurna, jika dilakukan ibadah shalat, zakat, dan haji.
Orang yang mengerjakan puasa, dianjurkan untuk berderma dari yang sunnah hingga yang wajib. Yang sunnah, berupa memberi takjil (makanan dan minuman) kepada orang-orang yang berpuasa yang pahalanya sebesar pahala orang yang berpuasa yang dijamu, tanpa mengurangi pahala orang yang dijamu tersebut.
Setelah itu, apabila seseorang sudah memiliki harta atau penghasilan dalam setahun melebihi batas minimal kepemilikan (nishab) dan rentang waktu aman satu tahun (haul) diwajibkan mengeluarkan zakat sebanyak 2,5 persen.
Bulan Ramadlan adalah bulan penuh. Kebaikan dilipatgandakan pahalanya. Pintu surga dibuka lebar-lebar. Pintu neraka dikunci rapat. Dalam bulan Ramadlan digelar keberkahan dari langit. Karena hamba-hamba Allah memanifestasikan keimanan dan ketaqwaannya.
Allah ‘Azza wa Jalla menegaskan:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِن كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Dan sekiranya penduduk suatu negeri beriman dan bertaqwa (kepada-Kami), sungguh Kami bukakan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi, akan tetapi sebagian mereka mendustakan, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (QS. Al-A’raf: 96).
Semoga dengan ibadah puasa ini hidup kita bertambah keberkahan. Berkah, artinya bertambah kebaikan. Atau tiada hari kecuali bertambah kebaikan.
ما من يوم الا وبعده زيادة خير
Artinya “Tiada bertambah hari kecuali bertambah kebaikan”.
Setiap hari kita mendoakan kepada siapapun yang berjumpa dengan kita. Kita mengucapkan salam, artinya adalah ”Semoga keselamatan, kasih sayang, dan keberkahan Allah untuk kamu sekalian”.
Orang yang hidupnya berkah, ia akan merasa nyaman, tenang, tenteram, dan merasa cukup atas berbagai kenikmatan, rizqi, dan apapun pemberian Allah. Karena dia dapat mematrikan diri bersyukur dan merasa cukup atas semua pemberian Allah. Dia buang jauh-jauh rasa iri, dengki, dan hasud dalam hatinya terutama dalam soal materi kepada orang lain. Karena cinta harta secara berlebihan, akan memantik dan memicu seseorang dari ketamakan atau kerasukan, yang sering berakibat sangat merugikan.
Semoga kita mampu menjalani ibadah puasa ini dengan nyaman, nikmat, dan mampu merasakan lezat dan nikmatnya iman, dan terhindar dari kesia-siaan dalam berpuasa, seperti yang diingatkan Rasulullah SAW.
“Banyak sekali orang yang berpuasa, namun ia tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya itu, kecuali hanya lapar dan haus saja”.
سبحان الملك القدوس سبوح قدوس ربنا ورب الملائكة والروح اللهم انا نسئلك رضاك والجنة اللهم انك عفو كريم تحب العفو واعف عنا ياكريم ربنا تقبل منا صلاتنا وصيامنا وتقبل يا كريم الله اعلم
*) Penulis adalah Dosen UIN Raden Intan/ Sekretaris Komisi SBI MUI Lampung/ Wakil Ketua PCNU Kota Bandar Lampung