Karakteristik NU yang Berkarakter
Oleh : Lisna Rosihun
(Mahasiswa Universitas Lampung)
ADA lima karakteristik Ahlussunnah Waljama`ah Nahdlatul Ulama (NU) yang harus terus dijaga oleh warganya, yaitu Fikrah Tawassuthiyyah (pola pikir moderat), Fikrah Tasamuhiyah (pola pikir toleran), Fikrah Ishlahiyyah (pola pikir reformatif), Fikrah Tathowwuriyah (pola pikir dinamis), Fikrah Manhajiyah (pola pikir metodologis).
Lima pola pikir tersebut sangat penting karena itu merupakan tujuan prioritas agama. Fungsi agama adalah untuk kemaslahatan umat.
Di Negara Indonesia yang unik ini (berbangsa-bangsa dan bersuku-suku) kelima sikap tersebut dapat mengatur dan mempersatukannya. Istilahnya pemersatu bangsa, ya NU itulah.
NU memiliki peran penting dalam perjalanan Bangsa Indonesia yang tercinta ini.
NU yang dalam bermasyarakat selalu bersikap tawassuth atau ditengah-tengah. Tidak ke kanan juga tidak ke kiri, dan sampai sekarang sikap tersebut masih ada di NU, Masya Allah.
Ada beberapa orang yang mencibir bahwa NU itu tidak konsisten karena sikap tawassuthnya dalam berjam’iyyah. Tapi bukan itu yang sebenarnya. Yang benar NU selalu menjadi apa yang dibutuhkan masyarakat, agama, dan bangsa.
Karakteristik yang kedua yaitu fikrah tasamuhiyah (pola pikir toleran). Islam ala NU selalu menghargai perbedaan dan tidak memperuncing perselisihan. “wala ‘udwana illa ‘aladz dzolimin” musuh NU adalah kedzaliman.
Dzalim dalam ekonomi (kemiskinan), dzalim dalam ilmu (kebodohan), dzalim dalam politik (KKN), dzalim dalam berfikir (radikal), dzalim dalam bertindak (teroris), dan lain lain.
Oleh karena itu NU memusuhi sifat dan perbuatannya, bukan orang yang melakukannya. Inilah mengapa NU tidak kasar dalam berkata-kata, tidak mudah mencap orang lain salah. NU memiliki pandangan bahwa “kami benar dan bisa jadi anda juga benar, karena Allah lah pemilik kebenaran sejati”.
Sikap selanjutnya yaitu Ishlahiyyah (pola pikir reformatif), sikap ini menjadi salah satu manhajul fikr NU. “Al-muhafadzotu ‘ala qodimis sholih, wal-akhdu bijadidil ashlah” menjaga perkara lama yang baik dan mengambil perkara baru yang lebih baik. Ini sebabnya NU sangat menghargai kearifan budaya lokal yang tidak bertentangan dengan syari’at.
Rais ‘Aam PBNU KH. Ma’ruf Amin menambahkan kalimat tersebut dengan “mendahulukan perkara yang lebih baik dari yang baik dan menciptakan perkara yang lebih baik”.
Pola fikir ke empat adalah fikrah tathowwuriyah (pola pikir dinamis), NU tidak pernah jumud (terkungkung) dengan satu pemahaman, teori, atau manhaj fikr seorang ulama, namun NU selalu dinamis dalam mempelajari suatu hukum menurut manhaj ulama’-ulama’ dan salafus sholihin, tabi’in, sahabat hingga Rasululloh SAW. Sehingga memiliki kedinamisan tinggi untuk menghadapi segala bentuk tantangan zaman.
Fikrah Manhajiyah (pola pikir metodologis) adalah pola pikir yang terahir, NU sangat mendahulukan keabsahan suatu ilmu. Ilmu yang absah adalah ilmu yang memiliki silsilah keilmuwan (sanad) ilmu yang jelas, ilmu yang diperoleh muttashil dari para guru, masyayikh hingga Rasul. Bukan ilmu yang didapat secara instan dan dadakan dari sumber-sumber buku terjemah dan internet.
Memang boleh memperoleh wawasan dari sumber manapun. Namun dalam ilmu agama, seorang guru tidak hanya pengajar, namun juga penuntun rohani dan contoh untuk mempraktekkan ilmu yang diperoleh.
Pentingnya sanad menurut Hadrotus Syaikh Hasyim Asy’ari sebagai mana tertuang dalam kitab yang beliau karang, mengatakan bahwa para ulama dan para pemimpin umat bertakwa, mereka adalah pintu keilmuwan, dan sesungguhnya orang yang masuk rumah tanpa melalui pintu adalah pencuri.
NU berperan dalam perjalanan Bangsa Indonesia yang tercinta ini, termasuk kemajuan Bangsa Indonesia.
Lima pola pikir tersebut sangat penting karena itu merupakan tujuan prioritas agama. Pada intinya sikap tersebut merupakan sikap untuk menjaga dan mempertahankan NKRI. Kalau tidak dijaga ya pasti bisa dibayangkan bagaimana nantinya. Wallahua`lam. (*)