Duh Gusti, PMII-kah Aku?
Oleh : Abid Mustofa Abroziq
(Bendahara Umum PC PMII Metro)
KALAU Kata Gus Mus dalam puisi Islamnya menanyakan kepantasannya sebagai seorang muslim. Pada tulisan ini saya ingin menanyakan tentang ke-PMII-an saya sendiri.
Dulu, awal ketertarikan saya terhadap PMII di kampus tidak lebih karena background pendidikan saya dimasa silam. Sampai saat ini, setelah melewati banyak dinamika yang terjadi saat saya menjadi pengurus rayon dan pengurus komisariat, penulis masih bertanya tentang idealitas insan pergerakan.
Karena secara substansi ber-PMII tidak hanya sekedar baiat MAPABA, PKD atau PKL. Namun ada tanggung jawab yang besar di balik sandang kader PMII baik secara ideologis maupun praktis.
PMII secara tegas memposisikan secara ideologis pada gerbong aswaja dengan konsepsi sebagai metodologis berfikir dan bergerak.
Pada ranah pemikiran penulis sadar betul bahwab Aswaja PMII tidak jauh beda dengan Konsepsi Aswaja NU yang secara teologis berkiblat pada Asy’ariyah dan maturidi, dalam hukum Islam mengikuti 4 madzhab, secara suluk mengamini Al-Ghazali dan Junaidi Al-Baghdadi. Namun yang menjadi persoalan adalah wilayah implementatif betapa semakin tua dan bertambahnya ilmu semakin banyak kelalaian yang selalu penulis lakukan baik secara ubudiyah ilahiyah maupun insaniyah. Belum lagi nilai dasar ber-PMII yang secara sadar sering dipekikan hingga luar kepala. Namun kenapa masih banyak ketimpangan dalam beribadah, bersosial dan pelestarian Alam yang seringkali penulis lalaikan.
Gusti, Aku ingin bercerita. Di PMII, selain hamba dibekali dua hal di atas, banyak hal baru yang hamba peroleh. Dari wacana paling kanan sampai paling kiri, Berdialektika dengan para sahabat dari warung kopi satu ke warung kopi lainnya, menulis untuk eksistensi dan keabadian, Berpolitik untuk menjaga tradisi status quo, hingga mengorganisir perlawanan kepada setiap belenggu tirani.
Gusti, kini PMII telah berusia 56 tahun. Betapa pada usia itu banyak hal yang terus menjadi keresahan hamba. Ya, seperti kehidupan pada umumnya. Di PMII juga hamba lihat beragam bentuk manusia danhal ikhwalnya. Dari yang benar-benar tulus mengabdi hingga yang mencari hidup dengan menjual eksistensi dan organisasi.
Gusti, aku bahagia di PMII wanita begitu dimuliakan. Dengan adanya naungan tersendiri bernama KOPRI. Desas-desus gender, kesetaraan, keadilan kita bicarakan secara fasih. Namun masih banyak hati yang terluka atas nama birahi dan cinta.
Gusti, dedikasi hamba di PMII tidak seperti sahabat-sahabatku yang super. Hamba memilih jalan kesunyian lewat setiap tulisan. Hamba sangat terinspirasi dengan Mahbub Djunaidi Allahu Yarha, beliau seorang kyai, politisi namun juga penulis yang lihai nan cerdas. Hanya hal ini yang selalu hamba usahakan istiqomah dari mulai di rayon, komisariat dan cabang saat ini.
Tanpa hamba ceritakan Engkaulah Maha Mengetahui. Refleksi sederhana ber-PMII ini saya persembahkan untuk organisasi. Tiada hal yang istimewa, karena secara nyatanya sandang kader PMII belum pantas untuk saya. Di usia PMII yang ke-56 ini saya hanya ingin berbagi kisah sederhana ini betapa secara sadar dan insyaf hamba berterima kasih sebanyak-banyaknya atas ilmu yang tak bermuara dan pengalaman yang tiada harga. Kepada 13 pendiri PMII, organisasi yang sahabat dirikan dulu kini berduyun-duyun banyak dilirik oleh kalangan mahasiswa semoga memberi amal jariyah. Untuk para kader hebat yang kini menjadi kabinet kerja, semoga jabatan tidak melunturkan idealisme kalian, untuk sahabat-sahabatku PMII Metro baik rayon hingga cabang jangan karena sekarang distruktural tumbuh sifat arogansi kalian, dan untuk saya sendiri, kapan mulai berbenah diri menjadi benar. Sekalipun tidak ada kebenaran yang absolute, kebenaran selalu akan tetap diusahkan.
Dirgahayu PMII, semoga bayang-bayang fanatisme tidak meruntuhkanmu. (*)