Bulan puasa Ramadhan diyakini oleh masyarakat Islam merupakan bulan suci. Bulan suci ini memberikan kesempatan seluasnya bagi mereka yang berusaha menyucikan dirinya dengan menunaikan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan. Belum puas dengan penyucuian diri hanya dengan berpuasa.
Maka mereka pun terus mengejar target meraup pahala sebanyak mungkin dengan amalan ibadah-ibadah lainnya yaitu shalat shalat tarawih, membaca Al-Qur’an, beriktikaf di masjid, memperbanyak dzikir dan do'a, bersedekah dengan berbagi takjil dan santunan, dan mengeluarkan zakat mal serta zakat fitrah.
Kesemuanya dilakukan demi meraih pahala, meraup kebaikan, rahmat, berkah dan maghfirah atau ampunan dari Allah. Dengan demikian berpuasa memiliki dimensi sosia yang kuat untuk membentuk kesalehan individu dan sekaligus kesalehan sosial.
Kesalehan yang dibentuk dan dikembangkan dari ibadah puasa dan ibadah lainnya di bulan suci Ramadhan dapat menjadi penghubung yang kuat bagi individu dengan masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Puasa Ramadhan mengajarkan masyarakat Islam Indonesia untuk meningkatkan solidaritas dan empati dengan sesama dengan nilai-nilai kebaikan dari menunaikan ibadah puasa Ramadhan.
Hal demikian digambarkan dalam Al-Qur’an pada Surat Al-Baqarah bahwa berpuasa Ramadhan bertujuan untuk meningkatkan Iman dan Takwa kepada Allah. Sebab, wujud iman bagi masyarakat yang beragama Islam adalah takwa serta esensi takwa adalah kebaikan.
Kebaikan akan diperoleh bagi orang berpuasa yang mampu menahan hawa nafsu, seperti rakus, tamak, serakah dan lainnya. Maka orang yang berpuasa tidak boleh makan dan minum selama waktu berpuasa.
Dengan tidak makan dan minum berati melatih dan mendidik diri menjadi orang baik dengan berbuat kebaikan (amar ma'ruf) sekaligus menghindari dan mencegah dari perbuatan jahat (nahi munkar) sehingga yang ada dalam diri orang yang berpuasa hanyalah kebaikan. Dengan demikian pada intinya berpuasa untuk meraih kebaikan.
Dan kebaikan dapat meningkatkan derajat takwa bagi yang berpuasa mampu menghindari diri dari perbuatan mungkar. Begitu juga taqwa pada hakikatnya juga kebaikan yang lebih ditujukan kepada berbuat kebaikan sesama manusia bahkan dengan semua makhluk Allah dan lingkungan alam.
Orang Islam sebagai bagian dari masyarakat Islam yang mampu berpuasa mendatangkan kebaikan dan menghindari kejahatan atas dasar panggilan iman kepada Allah, maka Allah memuji mereka dengan pujian dan predikat masyarakat yang terbaik, masyarakat yang paling ideal di muka bumi di alam semesta.
Allah menyebutnya dengan istilah Khairu Ummah yang berarti masyarakat terbaik (QS Ali Imran ayat 110). Ayat 110 menggambarkan tiga ciri-ciri khairu ummah yaitu tegakkan kebaikan, cegahlah kejahatan, dan pegang teguhlah iman kepada Allah.
Dalam perspektif sosiologi dakwah, kebaikan masyarakat yang di bulan suci Ramadhan diraihnya dengan menunaikan ibadah puasa dan ibadah yang mengiringinya merupakan tonggak penegak moral peradaban masyarakat untuk menegakkan keadilan, dan kesejahteraan mereka dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Oleh sebab itu, baik rakyat maupun penguasa negeri yang beragama Islam, dalam menunaikan ibadah puasa Ramadhan berdampak pada penegakan moral peradaban masyarakat. Dengan demikian, puasa Ramadan yang juga lebih memiliki dimensi sosial agar dapat meningkatkan kepedulian sosial, solidaritas bangsa, dan kerja sama antar individu dalam kehidupan masyarakat dengan penguasa negeri.
Menegakkan moral Peradaban Masyarakat
Berpuasa mestinya mampu meningkatkan nilai-nilai spiritual yaitu kesadaran, komitmen, kejujuran, integritas, keadilan dan kemanusiaan, serta kesejahteraan kemakmuran bersama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Tokoh sosiologi kenamaan bernama Ibnu Khaldun dalam bukunya Muqaddimah menjelaskan upaya menegakkan moral peradaban masyarakat agar kehidupan bernegara tidak rapuh, generasi sekarang dan penerusnya tidak menghancurkan peradaban dan negaranya.
Memajukan peradaban berarti mempertahankan keberadaan masyarakat, bangsa dan negara, dan begitu juga sebaliknya. Tokoh sosiolog muslim bernama Ibnu Khaldun menjelaskan dan mengajak kepada.
Masyarakat untuk menjaga moral peradaban sekaligus memajukan peradaban. Maka melalui moment puasa Ramadhan ini mari kita berpuasa yang berdimensi pula pada menjaga moral Peradaban masyarakat.
Menurut Ibnu Khaldun, dalam bukunya berjudul Al-Muqaddimah, ada dua konsep kunci utama yaitu terori Al-Ashabiyah dan al-Umru untuk memajukan moral peradaban bangsa yaitu berpegang teguh pada ajaran agama untuk ditaati dan diamalkannya yang berdimensi peradaban.
Kedua menjunjung tinggi hukum demi tegaknya keadilan. Ketiga jauhkan kerusakan moral bangsa seperti korupsi, nepotisme, gratifikasi, kejahatan moral dan lainnya demi terjaganya keamanan dan ketertiban masyarakat serta kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat.
Uraian di atas sebuah harapan di momen Ramadhan ini supaya orang yang berpuasa mampu meningkatkan nilai spritualitas puasa yang berdimensi pada tegaknya moral peradaban masyarakat.
Untuk meningkatkan nilai spiritualitas puasa, maka berpuasa mampu mengosongkan penyakit hati seperti rakus, tamak, hasud, dengki, dan kejahatan atau maksiat lainnya disebut takhalli (pengosongan diri) dengan bertobat, beristighfar dan tazkiyatun nufus yaitu pembersihan diri dengan memperbanyak zikir kepada Allah dan istiqamah ibadah shalat.
Setelah takhalli, kemudian isilah diri orang yang berpuasa (tahalli) dengan memperbanyak amal kebaikan dan hindari kejahatan (takwa), selalu ikhlas, banyak sabar dan bersyukur kepada Allah. Kemudian tajalli yaitu penampakan diri setelah tahalli berupa kasih sayang dan cinta (mahabbah) kepada Allah dan Rasul-Nya, sesama manusia bahkan dengan makhluk dan lingkungan alam.
Dari mahabbah ini kemudian menuju hingga ke ma’rifatullah bagi orang yang berpuasa dengan iman, ikhlas dan ihtisab yaitu bermuhasabah, bermujahadah, dan bertaqarrub kepada Allah. Itu semua bermuara kepada taqwa sebagai tujuan puasa.
Takwa begitu urgen dalam kehidupan sosial untuk memajukan peradaban masyarakat sekaligus mencegah dari pemusnahan nilai moral peradaban. Peradaban adalah kemampuan manusia untuk memperbarui kondisi dunia, menemukan ciptaan baru, dan meningkatkan kesejahteraan. Peradaban dibangun atas dasar solidaritas, ilmu pengetahuan, dan keadilan.
Prof H Abdul Syukur, Dekan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Raden Intan Lampung