MENYEJUKKAN KEDAMAIAN "RUMAH KITA" YANG SEDANG TERUSIK?
Oleh Rudy Irawan
BAGI santri, tanggal 22 Oktober 2018, merupakan hari penting, yakni peringatan Hari Santri Nasional. Hari yang semestinya digunakan untuk melakukan muhasabah kebangsaan, introspeksi diri, dan mawasdiri, agar santri selain harus terus senantiasa bersyukur. Juga merupakan tantangan agar mampu menunjukkan jati diri, peran, dan fungsinya di era millenial dan revolusi industri 4.0, serta mampu menunjukkan kiprahnya secara nyata.
Tidak hanya membanggakan aspek kesejarahan atas Resolusi Jihad saja, yang waktu itu merupakan momentum sangat efektif untuk melecut dan membangkitkan semangat jihad para santri, warga NU, dan kaum muda waktu itu, sehingga gerakan jihadnya mampu mengusir penjajah, yang ingin merebut kembali kemerdekaan negeri jamrud katulistiwa yang kaya raya dengan sumber daya alam ini.
Upacara di berbagai tempat strategis pun digelar, dengan model sarungan dan pakaian lokal yang di balik simbol sarung itu terpendam semangat jihad mempertahankan NKRI. Karena bagi santri, NKRI adalah harga mati. Pancasila adalah final, sebagai konsekuensi kesadaran bersejarah untuk hidup dalam kemajemukan dan kebhinnekaan, sebagai Dar al-Salam atau “Rumah Perdamaian” atau meminjam konsep Muhammadiyah, yang menyebut Dar al-‘Ahdi wa sy-Syahadah atau Negara tempat kita melakukan konsensus nasional (Muktamar Muhammadiyah ke-47, Makassar, 3-7/8/2015).
Tema yang diusung secara nasional pun tidak tanggung-tanggung “Bersama Santri Damailah Negeri”? Judul di atas saya tambah titik dua dan kata muhasabah dengan tanda tanya? Tema tersebut sangat ideal dan menyejukkan bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang sejak kelahirannya dikaruniai Allah Tuhan Yang Maha Kuasa, kemajemukan dan keragaman. NKRI laksana irisan surga yang dikirim oleh Allah Sang Khaliq di nusantara ini.
Akan tetapi sayangnya, peringatan hari santri yang seharusnya berjalan khidmat terjadi insiden yang kemudian menjadi berita sangat besar, dan sekaligus menutupi kasus-kasus korupsi yang melanda sebagian kepala daerah yang ternyata tidak jera juga pada jebakan korupsi. Insiden “dibakarnya” kain hitam bertuliskan kalimat laa ilaaha illaa Allah Muhammad Rasulullah oleh “oknum” anggota “Banser” yang meyakini itu bendera Ormas terlarang yang sudah dibubarkan oleh Pemerintah pun menjadi viral secara dramatis.
Warga Banser, “Barisan Serbaguna” Ansor, dan “anak kandung” NU pun, yang selama ini dianggap sebagai ormas Islam “ahli bid’ah” dan anak kandung ormas Ialam yang paling rajin tahlilan, yang boleh dikata setiap saat senantiasa mengumandangkan kalimat tauhid, bahkan dengan dzikir suara keras (jahar) melafadhkan kalimat laa ilaaha illaa Allah Muhammadun Rasuulullaah pun menjadi sasaran demo yang luar biasa.
Isu pun oleh mereka beralih atau dialihkan menjadi pembakaran bendera tauhid. Karena kacamata yang digunakan adalah politik, dan menjadikan itu sebagai “amunisi” politik untuk menghantam hingga menuntut pembubaran Banser dan Ansor. Bahkan “oknum” waketum MUI Pusat pun, yang seharusnya bisa ikut mendinginkan suasana, dalam pernyataannya cenderung ikut manambah “panas” suasana.
Apalagi memang di saat musim kampanye pilpres dan pemilu legislatif. Ada baiknya dipikirkan, masa kampanye pemilu yang akan datang, cukup waktu satu atau dua minggu. Energi bangsa ini terkuras hanya untuk urusan dukung mendukung, yang banyak diwarnai hujatan, hoax, dan kata-kata yang sering tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang santun dan beradab.
Pimpinan Ansor yang menaungi Banser pun mendapatkan “serangan bertubi-tubi” baik dari kalangan “akademisi” maupun dari “para politisi” yang “route” dan “jalur politiknya” berbeda secara diametral dengan Ansor. Tidak kurang juga dari “sesepuh NU dan Dzurriyah pendiri NU” yang ikut “menjewer” anak-anak muda Banser dan Ansor. Bagaimana jika analisis itu dilihat dari perspektif “intelligen”? Tentu “intelligen” amatiran tidak yang resmi?
Menurut nalar umum, wajar, dan logis, di acara peringatan hari Santri Nasional 2018, yang merupakan harinya santri-santri NU, kalau kemudian ada bendera atau kain empat persegi panjang bertuliskan kalimat tauhid yang diduga bendera ormas terlarang itu, dari sebenarnya aneh. Tentu ini tidak ada pretensi untuk menyudutkan siapapun? Tanpa ada pihak-pihak yang bermain dan “menyelundupkan” bendera-bendera yang bukan bendera NU atau badan otonomnya, rasanya tidak mungkin. Apalagi tampaknya, modus “penyelundupan” bendera yang kemudian dibilang bendera tauhid tersebut, juga terjadi di beberapa daerah di Jawa Barat.
Di Semarang pun, ada beberapa anak muda yang sengaja memasang bendera hitam bertuliskan kalimat tauhid, di sela-sela atau di dekat bendera NU dan Merah Putih, yang memang di hari santri tersebut, para Santri sedang memperingati secara nasional. Maka setelah itu pun, reaksi massa yang tampaknya sudah dipersiapkan secara rapi dan relatif emosional menunjukkan reaksinya. Mudah-mudahan demo-demo yang menuntut Ansor dan Banser dibubarkan, bisa segera teratasi, dan tidak ada lagi. Atau boleh jadi karena musim kampanye yang 6,5 bulan , boleh jadi demo akan berlangsung hingga masa kampanye berkahir. Wapres RI yang juga Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) Dr H Jusuf Kalla, pun berinisiasi untuk mengumpulkan pimpinan Ormas Islam untuk mencari solusi dan kerjasama demi menjaga iklim yang kondusif.
Pimpinan dua ormas Islam terbesar di Negeri ini, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah pun sepakat mengeluarkan Pernyataan Bersama di Jakarta, 22 Safar 1440 H bertepatan dengan 31 Oktober 2018 M. Intinya, jangan sampai “kedamaian negeri ini” terusik, hanya karena kekeliruan atau kesalahan kecil. Kedaulatan dan kemajuan bangsa dan negara, merupakan hal yang sangat penting. Kalau dua ormas Islam terbesar di Indonesia ini sudah sepakat, insya Allah ormas Islam lainnya akan mengerti, menyadari, dan menindaklanjuti.
Ada empat poin, pertama, Muhammadiyah dan NU berkomitmen kuat menegakkan keutuhan dan kedaulatan NKRI berdasarkan Pancasila dan sistem ketatanegaraan yang Islami. Pilihan kalimat yang filosofis dan sarat makna. Kedua, mendukung sistem demokrasi dan proses demokratisasi sebagai mekanisme politik kenegaraan dan seleksi kepemimpinan nasional secara profesional, konstitusional, adil, jumur, dan berkeadaban. Bebas dari politik yang koruptif dan transaksional demi tegaknya kehidupan politik yang dijiwai nilai-nilai Agama, Pancasila, dan kebudayaan luhur Indonesia. Ketiga, meningkatkan komunikasi dan kerjasama yang konstruktif sebagai wujud ukhuwah demi kemajuan bersama. Keempat, di tahun politik, semua pihak perlu mengedepankan kearifan, kedamaian, toleransi, dan kebersamaan, meskipun pilihan politiknya berbeda.
Semoga kedamaian di rumah kita NKRI, tetap kondusif. Laksana kehidupan rumah tangga, kadang ada gesekan kecil, adalah wajar. Kita sudah teruji oleh sejarah panjang perjalanan bangsa Indonesia tercinta ini. Karena piring saja yang tidak bernyawa dan tidak berpendapat saja bisa berbenturan, apalagi manusia. Suami dan isteri, terkadang juga hanya karena buat kopi kurang gula, atau airnya kurang panas, atau bahkan hanya karena pilihan warna korden, bisa membuat salah satu “susah senyum”. Semoga setelah ini, bangsa dan umat ini, bisa bermesraan lagi. Beda pendapat adalah kasih sayang. Beda pendapatan juga tidak ada masalah, asal tidak karena hasil korupsi dan penghasilan lain yang tidak halal.
Indonesia adalah rumah kita bersama. Kalau ada yang ingin mengganti fondasi dan pilar rumah Indonesia dengan fondasi dan pilar yang lain, maka sebaiknya bangun di tempat atau negara lain. Para faunding fathers NKRI ini sudah bersabung nyawa, bercucurkan darah dan air mata, maka kalau masih mencintai NKRI, jika ada kekurangannya kita sempurnakan. Meminjam sabda Rasulullah saw, “baitii jannatii”, berarti NKRI semestinya diposisikan “Indonesia adalah Rumahku, dan Rumahku adalah surgaku, maka Indonesia adalah surgaku”. Allah al-musta’an.
Allah a’lam bi sh-shawab.
*) Penulis adalah Wakil Ketua PCNU Bandar Lampung/Dosen UIN Raden Intan Lampung