• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Sabtu, 27 April 2024

Warta

'Belajar' Politik dan Perjuangan Seperti Rasulullah dan Siti Khadijah

'Belajar' Politik dan Perjuangan Seperti Rasulullah dan Siti Khadijah
'Belajar' Politik dan Perjuangan Seperti Rasulullah SAW dan Siti Khadijah ra Oleh: Rudy Irawan   SETIAP manusia diamanati tugas sebagai khalifah Allah di muka bumi (QS. Al-Baqarah: 30). Meskipun sempat diprotes oleh para malaikat, mengapa Allah memberikan amanah kepada manusia yang suka membuat kerusakan dan menumpahkan darah? Tugas khalifah yang utama asalah menegakkan hukum dengan adil di antara manusia dan menjauhkan diri dari godaan hawa nafsu, yang setiap saat bisa menyesatkan manusia (QS. Shad: 26). Islam hadir untuk mewujudkan kemashlahatan di muka bumi ini, karena Islam diturunkan adalah untuk kasih sayang atau rahmatan lil ‘alamin, bukan hanya untuk manusia semata (QS. Al-Anbiya’: 107). Dan untuk bisa mewujudkan pesan suci Al Qur’an tersebut, diperlukan sebuah kekuasaan. Setidaknya kita bisa belajar, Rasulullah SAW setelah menerima wahyu di usia beliau 40 tahun, menyampaikan dakwah 12 tahun lebih di Mekah, tanpa didukung oleh kekuasaan, hanya mampu mendapatkan pengikut sebanyak 200 orang. Itu pun dengan berbagai ancaman, siksaan, hinaan, cercaan yang harus diterima oleh beliau. Bahkan sering dianggap sebagai gila dan membawa ajaran gila karena membawa ajaran tauhid, meng-Esakan Tuhan Tuhan, di tengah ajaran merek menyembah berhala. Untuk menyusun strategi baru, beliau kemudian hijrah dari Mekah ke Yatsrib yang kemudian beliau ganti nama menjadi Madinah. Secara sosio-politik, beliau didukung oleh dua suku besar Aus dan Khazraj. Kelompok pendatang dari Mekah disebut Muhajirin (orang-orang yang hijrah), dan orang-orang Madinah yang membantu dan menolong perjuangan disebut Anshar. Pada tahun kedua Hijriyah, beliau menyiapkan konstitusi untuk dimintakan persetujuan kepada semua suku dan klan yang ada di Madinah. Akhirnya mereka pun setuju konstitusi tersebut dijadikan sebagai Mitsaq/Dustur/Risalah/Piagam Madinah atau Madinah Charter. Berpolitik itu sangat membutuhkan kecerdasan, kepiawaian, keuletan. Akan tetapi juga kelembutan, kesantunan, dan keintellijenan yang tinggi. Setelah konstitusi disepakati, maka semua yang terlibat di dalam kesepakatan perjanjian harus mentaatinya. Jika ada yang melanggar, maka yang melanggar itu yang dikenai sanksi bahkan dikeluarkan dari kesepakatan. Isi perjanjian atau piagam Madinah, lebih banyak mengatur hal-hal yang substansial, universal, dan umum, sehingga mudah disepakati oleh semua suku dan kelompok masyarakat. Soal perbedaan-perbedaan kecil, dibangun saling pengertian, pemahaman, dan bahkan saling tolong menolong. Beberapa hal mendasar yang diatur di dalam Piagam Madinah ini di antaranya adalah: konsep umat, bahwa semua warga yang hidup di Madinah adalah satu, apapun suku dan etnisnya. Semua memiliki kedudukan yang sama atau egaliter (equal, musawah), hidup bertetangga dan saling bersaudara (ukhuwwah/brotherhood), hidup dalam kemajemukan, maka masing-masing harus toleran (tasamuh), agar hidup nyaman dan tenteram, pemimpin dan yang dipimpin harus adil (‘adalah/justice), dan dalam beragama menempuh jalan moderat (tawasuth) dan seimbang (tawazun). Karena manusia saling membutuhkan, maka dalam hidup keseharian harus saling tolong menolong dalam kebaikan (ta’awun ‘ala l-birri wa t-taqwa) (QS. Al-Maidah:3). Rasulullah SAW berpolitik dalam rangka menolong dan menjalankan agama Allah. Allah menegaskan “jika kamu menolong (agama) Allah maka Allah akan menolong kamu dan meneguhkan langkah kakimu” (QS. Muhammad: 3). Beliau bahkan menghabiskan seluruh kekayaan beliau dan kekayaan istri beliau Siti Khadijah ra. guna menjalankan agama dan kekuasaan dalam rangka berdakwah menyampaikan ajaran Allah ‘Azza wa Jalla. Zainul Hakim (2017) mengutip dari Sayid Muhammad al-Alawy, menceritakan bahwa pada saat baru saja Siti Khadijah ra. wafat, Rasulullah berkata di dekat jasadnya : “Wahai Khadijah istriku sayang, demi Allah ‘Azza wa Jalla, aku takkan pernah mendapatkan istri sepertimu. Pengabdianmu kepada Islam dan diriku sungguh luar biasa. Allah Maha Mengetahui semua amalanmu. Semua harta kekayaanmu kamu hibahkan untuk Islam. Kaum muslimin pun ikut menikmatinya. Semua pakaian kaum muslimin dan pakaianku ini juga darimu. Namun, mengapa permohonan terakhirmu kepadaku hanyalah selembar sorban?” Tersedu Rasulullah mengenang istrinya semasa hidup. Kita dapat pelajaran yang sangat berharga dari kisah nyata tersebut di atas. Seluruh harta kekayaan Siti Khadijah ra. diserahkan kepada Rasulullah untuk perjuangan agama Islam. Dua per tiga kekayaan Kota Mekkah adalah milik Khadijah. Tetapi ketika Khadijah hendak menjelang wafat, tidak ada kain kafan yang bisa digunakan untuk menutupi jasad Khadijah. Bahkan lebih tragis lagi, pakaian yang digunakan Siti Khadijah ketika itu adalah pakaian yang sudah sangat kumuh dengan 83 tambalan di antaranya dengan kulit kayu. Rasulullah kemudian berdoa kepada Allah. Ya Allah, limpahkanlah rahmat-Mu kepada Khadijahku, yang selalu membantuku dalam menegakkan Islam. Mempercayaiku pada saat orang lain menentangku. Menyenangkanku pada saat orang lain menyusahkanku. Menentramkanku pada saat orang lain membuatku gelisah. Oh Khadijahku sayang, kau meninggalkanku sendirian dalam perjuanganku. Siapa lagi yang akan membantuku?” Boleh jadi dalam berpolitik sekarang ini, apalagi di tahun-tahun politik yang baru awal saja sudah ramai soal mahar politik, apakah itu mahar untuk “katanya” parpol pengusung, ataukah “mahar” untuk para pemilih sebagai ganti dari “serangan fajar”, “serangan dhuha” atau apapun bentuknya, tampaknya dianggap sebagai “kewajaran”. Karena saya yang tidak politisi, baru membayangkan saja susah. Karena biaya politik di negeri kita ini yangebut memilih sistem demokrasi langsung, satu orang satu suara alias one man one vote, sangat-sangat mahal. Memang pepatah politik menyebut “tidak ada makan siang yang gratis”. Karena itu, tidak salah kiranya juga kita belajar politik dan perjuangan pada uswatun hasanah Rasulullah SAW yang didampingi oleh Siti Khasijah ra, supaya Anda yang mencalonkan diri dan  nanti terpilih bisa meluruskan niat, bahwa dengan kekuasaan dan politik itu adalah jalan dalam rangka menolong agama Allah, amar makruf, nahy munkar, dan mampu menjalankan jabatan dan tugas secara amanah dan adil. Pena ulama akan mampu merubah dunia akan tetapi tidak bisa diduga butuh berapa lama, akan tetapi pena Umara’ akan lebih cepat dan dahsyat merubah keadaan warga masyarakatnya. Karena itu ‘adlu l-umara’ agar keadilan pemimpin akan menjadi kata kunci keberhasilan sebuab negara dan pemerintahan. Lugasnya, tanda tangan sekali seorang gubernur, bupati, dan walikota, dalam Perda APBD, maka jika distribusinya adil, maka akan lebih dahsyat dari pada doa-doa para ulama. Sebaliknya, apabila dalam berpolitik dan menjalankan kekuasaan sudah tidak ada lagi keadilan, maka kita camkan secara seksama wanti-wanti Rasulullah saw : “sungguh sekiranya tidak ada keadilan umara atau pemimpin, maka niscaya akan saling memangsa (memakan) sebagian manusia atas sebagian lainnya” (لولا عدل الامراء لاكل الناس بعضهم بعضا). Saudaraku, berpolitiklah untuk mengabdi kepada dan di jalan Allah, agar hidup kita menjadi bermanfaat dunia dan akhirat. Janganlah Anda mencari dan menumpuk kekayaan dari jabatanmu dengan jalan yang tidak halal, maka Allah akan segera menunjukkan pengadilan dan keadilan-Nya. Allah a’lam bi sh-shawab. *) Penulis adalah Wakil Ketua PCNU Bandar Lampung/ Dosen UIN Raden Intan Lampung


Editor:

Warta Terbaru