Warta

Sikap Menyalahkan Amaliyah Pihak Lain adalah Muasal Perpecahan

Senin, 19 Juni 2017 | 13:44 WIB

Oleh : Ichwan Adji Wibowo (Ketua Tanfidziah Nahdlatul Ulama Kota Bandar Lampung) PERILAKU salah-menyalahkan model ubudiyah yang dilakukan oleh kelompok lain, dengan tuduhan perilaku bid'ah dan sesat, apalagi hanya urusan furu'iyah (cabang) yang sudah sedemikian lama dipahami sebagai ranah khilafiyah atau ikhtilaf, adalah sebuah kemerosotan sikap dalam memandang keberagaman atau perbedaan. Terlebih jika hal itu disampaikan oleh seorang tokoh pimpinan organisasi keagamaan. Pola pola dakwah yang menuduh sesat pihak lain secara sepihak, pada akhirnya tidak saja akan melukai hati dan perasaan pihak lain. Lebih dari itu juga menjadi kontra produktif di tengah upaya membangun harmoni, kebersamaan dan merajut ukhuwah islamiyah. Terlebih jika cara itu dikembangkan melalui media publik, baik media massa, maupun media sosial. Saya mengamati sesungguhnya persoalan khilafiyah di tengah kehidupan keagamaan di masyarakat kita sudah sangat nampak dewasa.  Mereka sudah sangat terbiasa dengan perbedaan lihat saja laku ubudiyah di masjid-masjid atau mushola di perkotaan yang jamaahnya beragam pemahamannya. Mereka seperti memiliki mekanisme sosial tersendiri untuk membangun harmoni (tawasuth), saling menghargai dan saling menghormati perbedaan (tasamuh), tidak bersikap keras terlebih ekstrim (tawazun). Saya ingin mengingatkan bahwa hati-hati dengan perilaku salah menyalahkan, menyudutkan, menuduh bidah dan sesat, yang pada awalnya bermaksud ingin menyampaikan kebenaran yang diyakininya, tetapi pada saat yang bersamaan mempersalahkan pendapat dan keyakinan pihak lain. Pertama, disadari atau tidak hal itu menunjukan sikap "merasa diri paling benar" karena setidaknya mengindikasikan ketidakmampuan menerima peluang adanya kemungkinan kebenaran yang dimiliki pihak lain. Kedua, sikap serupa itu menjadi muasal cara pandang dan sikap ekstrim, yang pada akhirnya tidak membuka ruang orang lain juga berhak memiliki keyakinan sesuai dengan pemahamannya. Maka, mari kita terus belajar mengelola perbedaan. Menjadi sangat indah mengenang ucapan Syaikh Al-Albani rahimahullah, dalam mengomentari perbededaan pendapat antara dia dengan sahabatnya: “Perbedaan pendapat (Khilaf) yang terjadi di antara kita adalah khilaf yang menggabungkan dan tidak menceraiberaikan, berbeda dengan khilafnya orang lain. Perbedaan pendapat ini oleh para ulama sering diistilahkan dengan perbedaan keberagaman dan variatif (tanawwu’ wa itsra’) yang menawarkan banyak solusi untuk setiap masalah, bukanlah perbedaan yang menggiring umat kepada perpecahan dan konflik (tanazu’ wa tudhad). Sekali lagi, di bulan penuh kemuliaan ini tak ada jalan lain fokus dan gairah kita semata mata secara personal mengupayakan bagaimana meningkatkan kapasitas iman dan takwa masing masing individu, dengan akselerasi meningkatkan baik intensitas maupun kualitas ibadah ritual dan sosial kita. Pada saat yang bersamaan secara kolektif seluruh kelompok, komunitas, institusi, lembaga, organisasi, media, secara tersadar harus memanfaatkan momentum ramadhan ini. Upaya itu sebagai cara membangun sistem kehidupan dan kemasyarakatan yang religius sekaligus merajut ukhuwah dalam berbagai level, seperti ukhuwah islamiyahukhuwah wathaniyah, ukhuwah basyariyah dan ukhuwah insaniyah.  Dan setiap upaya yang bertolak belakang dengan semangat tersebut menjadi wajib kita tolak. (*)


Terkait