PASANGAN suami istri yang cukup subur dan sehat menghendaki seorang anak. Namun ternyata kondisi rahim sang istri tidak cukup siap untuk mengandung seorang bayi. Tetapi dengan kemajuan teknologi modern, keinginan pasangan tersebut dapat diwujudkan dengan cara menitipkan sperma suami dan indung telur istri ke rahim perempuan lain dengan akad sewa .
a. Bagaimana hukum menyewakan rahim untuk kepentingan tersebut di atas?
b. Kepada siapa nisbah anak tersebut dalam hal nasab, kewalian, hukum waris dan hadhanah?
Jawaban:
a. Tidak sah dan haram.
b. 1. Dalam hal nasab, kewalian, waris dan hadhanah tidak bisa dinisabkan kepada pemilik sperma menurut Imam Ibnu Hajar, karena masuknya tidak muhtaram.
2. Yang menjadi ibu secara syar’i adalah :
Apabila sperma dan indung telur yang ditanam itu tidak memungkinkan campur dengan indung telur pemilik rahim, maka yang menjadi ibu anak tersebut adalah pemilik indung telur.
Jika dimungkinkan adanya percampuran indung telur dari pemilik rahim, maka ibu anak itu adalah pemilik rahim (yang melahirkan).
Keterangan dari kitab:
1. Tafsir Ibn Katsir :
عَنِ الْهُثَيْمِ بْنِ مَالِكٍ الطَّائِيِّ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَا مِنْ ذَنْبٍ بَعْدَ الشِّرْكِ أَعْظَمُ عِنْدَ اللهِ مِنْ نُطْفَةٍ وَضَعَهَا رَجُلٌ فِيْ رَحِمٍ لاَ يَحِلُّ لَهُ.(رواه إبن أبي الدنيا).
Riwayat dari al-Hutsaim Ibn Malik al-Tha’i, Rasulullah saw. bersabda :”Tidak ada dosa yang lebih besar setelah syirik pada sisi Allah swt. dibandingkan dengan seseorang yang menaruh spermanya didalam rahim perempuan yang tidak halal baginya”. (HR Ibnu Abi al-Dunya).”
2. Hikmatut Tasyri’ wa Falsafatuhu :
وَروي عن رسول الله صلى الله عليه وسلم: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يُسْقِيَنَّ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ.
“Diriwayatkan, Rasulullah saw bersabda: Barang siapa beriman kepada Allah SWT. dan hari akhir, maka jangan sekali-kali mengalirkan maninya (sperma) ke dalam rahim (istri) orang lain (HR. Ibnu Abi Syaibah).”
3. Hasyiyatur Rasyidi :
قَالَ ع ش (قَوْلُهُ وَكَذَا لَوْ مَسَحَ ذَكَرَهُ الخ) أَفْهَمَ أَنَّهُ لَوْ أَلْقَتْ امْرَأَةٌ مُضْغَةً أَوْ عَلَقَةً فَاسْتَدْخَلَتْهَا امْرَأَةٌ أُخْرَى حُرَّةً أَوْ أَمَةً مَحَلَتُهَا الحَيَاةُ وَاسْتَمَرَّتْ حَتَّى وَضَعَتْهَا المَرأَةُ وَلَدًا لَيَكُوْنُ اِبْنًا لِلثَّانِيَةِ وَلاَ تَصِيْرُ مُسْتَوْلَدَةً لِلْوَاطِئِ لَوْ كَانَتْ أَمَةً ِلأَنَّ الْوَلَدَ لَمْ يَنْعَقِدْ مِنْ مَنِيِّ الْوَاطِئِ وَمَنِيِّهَا بَلْ مِنْ مَنِيِّ الْوَاطِئِ وَ الْمَوْطُوْأَةِ فَهُوَ وَلَدٌ لَهُمَا.
“Ali al-Syibramalisi mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan kata-kata: “Demikian juga jika seseorang meremas-remas dzakar-nya”, bahwasannya seandainya seorang perempuan mengeluarkan mudlghah atau ‘alaqah dalam keadaan hidup lalu perempuan yang lainnya, baik ia orang merdeka atau hamba sahaya, memasukkannya ke dalam rahimnya hingga saat ia melahirkannya menjadi seorang bayi maka bayi itu tidak dipandang sebagai anak perempuan pihak kedua (yang memasukkan itu). Tidak pula bayi tersebut dipandang sebagai anak orang yang menyetubuhi perempuan itu seandainya ia adalah hamba sahaya, dengan alasan karena bayi itu terjadi dari mani pihak yang menyetubuhi dan mani perempuan hamba sahaya itu, akan tetapi ia berasal dari mani orang yang menyetubuhi dan yang disetubuhi sehingga ia menjadi anaknya.”
4. Hasyiyatusy Syirwani :
(قَوْلُهُ وَاسْتِدْخَالُهُ) خِلاَفًا لِلنِّهَايَةِ عِبَارَتُهُ وَلاَ أَثَرَ لِوَقْتِ اسْتِدْخَالِهِ كَمَا أَفْتَى بِهِ الْوَالِدُ. وَإِنْ نَقَلَ الْمَاوَرْدِيُّ عَنِ اْلأَصْحَابِ اعْتِبَارَ حَالِهِ اْلإِنْزَالَ وَاْلاِسْتِدْخَالَ. فَقَدْ صَرَحُوْا بِأَنَّهُ لَوِ اسْتَنْجَى بِحَجَرٍ فَأَمْنَى ثُمَّ اسْتَدْخَلَتْهُ أَجْنَبِيَّةٌ عَالِمَةٌ بِالْحَالِ أَوْ أَنْزَلَ فِيْ زَوْجَتِهِ فَسَاحَقَتْ بِنْتَهُ مَثَلاً فَأَتَتْ بِوَلَدٍ لَحِقَهُ.
Para ulama menjelaskan, seandainya ada seorang lelaki yang membersihkan kotorannya dengan batu, kemudian keluar sperma dan sperma tersebut dimasukkan (ke dalam vaginanya) oleh seorang wanita yang bukan istrinya yang mengetahui keadaan sperma tersebut, atau mengeluarkan sperma di rahim istrinya kemudian istri tersebut melakukan hubungan seks dengan sesama wanita dan ternyata hamil, maka anak itu menjadi anak sah dari lelaki tersebut.
4. Hasyiyatul Bujairimi :
الْحَاصِلُ الْمُرَادُ بِالْمَنِيِّ الْمُحْتَرَمِ حَالَ خُرُوْجِهِ فَقَطْ عَلَى مَا اعْتَقَدَهُ م ر وَإِنْ كَانَ غَيْرَ مُحْتَرَمٍ حَالَ الدُّخُوْلِ.
“Kesimpulannya, yang dimaksud dengan mani muhtaram (yang terhormat) adalah hanya cara keluarnya saja, meskipun cara memasukkannya ghairu muhtaram (yang tidak terhormat), sebagaimana pendapat al-Ramli. Seperti, jika seorang suami bermimpi keluar mani lalu istrinya mengambil maninya dan memasukkan ke dalam farjinya karena mengira mani orang lain, maka hal ini termasuk muhtaram saat keluarnya, tetapi ghairu muhtaram saat memasukkannya.” (Dikutip dari Muktamar ke-29)