INDONESIA mengenal Mahbub Djunaidi sebagai seorang jurnalis yang selalu vokal menyuarakan keprihatinan pada feodalisme dan berkembangnya irasionalitas dalam budaya bangsa.
Dia merupakan tokoh sentral berdirinya Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dan bahkan didaulat menjadi ketua umum selama dua periode sejak 17 April 1960.
Bahkan, Mahbub-lah yang menyusun lirik lagu Mars PMII, lagu yang dinyanyikan pada setiap acara penting PMII. Dia juga yang menyusun lirik lagu mars Ansor. Lagu itu dibuat untuk membangkitkan semangat juang kaum muda. Mahbub memang cukup piawai dalam menciptakan lagu.
Pada masa kepemimpinannya, PMII secara politis menjadi sangat populer di dunia kemahasiswaan dan kepemudaan.
Suatu kali, ia pernah memaksa datang menemui Presiden Soekarno di Istana Bogor ketika presiden pertama Indonesia itu hendak membubarkan HMI.
Kala itu, Soekarno mencurigai banyak tokoh Masyumi terlibat dalam pemberontakan PRRI Permesta di Sumatera Barat. Dan pemintaan Mahbub kala itu sangat tegas, yaitu meminta HMI tidak dibubarkan. Dan akhirnya Soekarno mengabulkan permintaan tersebut.
Dari perjuangannya sebagai ketua umum PB PMII, membuat karir Mahbub melesat ke Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
NU Tulen
Jika mau, Mahbub sendiri sebenarya bisa dipanggil Gus. Ayahnya adalah seorang kyai, KH Muhammad Djunaidi yang merupakan Ketua Pengadilan Tinggi Jakarta dan ibunya Muchsinati. Ia juga merupakan menantu KH Asymawi. Ayah mertuanya merupakan seorang sesepuh NU di daerah Solo.
Tapi Mahbub sendiri sepertinya tak butuh embel-embel julukan. Dia pernah menulis, ”Pentingkah keturunan itu? Tentu penting, walau sama sekali tidak menentukan kualitas. Soal kualitas ditentukan oleh berbagai faktor yang komplek.”
“Lewat kacamata awam pun orang bisa maklum betapa keturunan itu bukanlah apa-apa dan tidak seratus persen dominan. Taruhlah Anda itu memang keturunan Gadjah Mada yang hebat. Tapi yang penting siapakah anda sekarang ini? Antara kehebatan Gadjah Mada dan anda tidak ada hubungannya sama sekali. Anda tak lebih dari sekedar pendompleng kebesaran, tak lebih. Sementara anda tetap bukan siapa-siapa. Anda adalah anda, habis perkara. Anda tak perlu macam-macam dengan dongeng keturunan itu. Anda harus bekerja keras dan jadi semacam Gadjah Mada. Kualitas tidak jatuh dari keturunan, dan tidak juga dari langit. (Keturunan, 5/4/1987).
Aktif Menulis
Yang paling dikenang dari Mahbub adalah kepiawaiannya dalam tulis menulis. Bakat menulisnya dimulai sejak SMA. Bahkan, hasil tulisannya sering kali dimuat di berbagai media ibukota.
Dia pula yang mempelopori sekaligus pengelola majalah dinding (madding) sekolahnya, SMA Budi Utomo, Jakarta.
Pria kelahiran Jakarta 27 Juli 1933 ini bahkan pernah berstatemen, “Saya akan menulis dan terus menulis hingga saya tak mampu lagi menulis.”
Mahbub mengatakan, masa-masa yang berpengaruh pada hidupnya adalah ketika ia mengungsi ke Solo karena kondisi yang belum aman saat awal kemerdekaan. Di Solo, ia menempuh pendidikan di Madrasah Mambaul Ulum. Di tempat itu Mahbub diperkenalkan tulisan-tulisan Mark Twain, Karl May, Sutan Takdir Alisjahbana, dan lain-lain.
Sebagai seorang sastrawan, ia banyak meninggalkan hasil karya tulis. Novel dari “Hari ke Hari” karyanya (1974) memenangkan sayembara mengarang roman Dewan Kesenian Jakarta. Cerpen dan sajak-sajaknya juga banyak dimuat di Majalah Gelanggang, Siasat (puisi), Mimbar Indonesia (cerpen) dan lain-lain. Tahun 1979, dia menyelesaikan terjemahan “Ramadhan to Ramadhan” karya Hasanain Haikal.
Mahbub mengaku lebih menyukai sastra daripada jurnalistik. Dia membuat sejumlah buku. Dan dari sederetan buku, yang paling banyak pengemarnya adalah buku terjemahan “100 Tokoh yang paling Berpemngaruh dalam Sejarah” (Michael H. Hart) yang dicetak ulang hingga16 kali selama dua tahun sejak terbitnya tahun 1982.
Mahbub sangat terkenal dengan bahasa satire dan bahasanya yang humoris. Bahkan, Bung Karno sampai terkesan dengan tulisannya, “Pancasila lebih agung dari Declaration of Independence”, sehingga Bung Karno sempat mengundang Mahbub ke Istana Bogor. Dari situlah Mahbub Junaidi menjadi sangat dekat dengan sang proklamator.
Ajaran Bung Karno, memang cukup mempengaruhi nasionalisme Mahbub. Pada sebuah pertemuan wartawan di Vietnam, Mahbub menggunakan bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi kendati ia cukup fasih berbahasa Inggris atau Prancis. Inilah sikap nasionalismenya. “Bahasa Prancis bukan bahasa elu, dan bahasa Inggris juga bukan bukan bahasa gua.”
Salah satu ciri dari tulisan Mahbub adalah memasukkan unsur humor. Menurutnya, humor adalah cara jitu untuk mengajak seseorang masuk ke dalam suatu masalah.
Dia berpendapat, salah satu kebiasaan orang Indonesia adalah suka tertawa. Maka untuk mengkritik dengan cara yang enak adalah lewat humor.
Namun, akibat tulisannya yang tajam, ia pernah ditahan selama satu tahun di tahun 1978. Namun, jeruji besi dan gelapnya penjara tak menghambat nalar menulisnya. Di dalam penjara, ia menerjemahkan “Road to Ramadhan”, karya Heikal, dan menulis sebuah novel “Maka Lakulah Sebuah Hotel Jaya” pada tahun 1975.
Mahbub juga terkenal sebagai seorang politikus dan organisator. Ia pernah menjadi wakil rakyat (legislatif) di DPR-GR, dan turut membidani kelahiran UU Pers pertama. Ia juga aktif di organisasi NU—bahkan sejak masih bersekolah. (Jihan/berbagai sumber)