Warta

Kultus Individu, Idola, dan Irasionalitas Politik dan Sepakbola

Kamis, 12 Juli 2018 | 07:50 WIB

Kultus Individu, Idola, dan Irasionalitas Politik dan Sepakbola Oleh: Rudy Irawan   PUTARAN Piala Dunia sepakbola sudah memasuki final. Prancis yang mengalahkan Belgia akan melawan Kroasia yang semalam menundukkan Inggris. Mengikuti “pertarungan” para penonton di media sosial “pertarungan” dan “perkelahian” para penonton pun cukup seru. Sepertinya para penonton dengan idola dan bahkan pengkultusan “jagoannya” masing-masing pun tidak terhindarkan. Dan ini dialami oleh siapapun tidak memandang usia. Secara umum timbulnya “idolanisasi” figur atau sosok pemain, memang membutuhkan waktu yang panjang. Taruhlah pada putaran piala dunia sepak bola ini, ada dua sosok yang kebanjiran “idolanisasi” yakni Cristiano Renaldo dan Lionel Messi, meskipun akhirnya menyisakan banyak kekecewaaan para pengidola di jagad Indonesia, karena harus “terusir” dari Piala Dunia 2018. Apakah kekecewaaan penonton dan “supporter” yang sesunggunya secara kebangsaan tidak ada, karena tim Indonesia memang belum mendapat “kelas” masuk di putaran 36 besar, apalagi 16 besar, salah? Mengapa para penonton begitu “dramatis” bahkan ada yang “histeris” dalam mendukung bintang yang diidolakan mereka? Bahkan ada yang mengatakan, putaran Piala Dunia 2018 kali ini sudah kehilangan “greget” dan pamor, karena pemain yang diidolakan atau bahkan “dikultus-individukan” sudah tumbang dan pulang kampung? Apakah munculnya sikap “idolanisasi” ini mendadak atau terbangun dalam proses waktu yang panjang dan lama? Jawabannya, tampaknya memang membutuhkan waktu yang lama. Kalau idolanisasi ini diarahkan kepada tim boleh jadi masih wajar, itupun jika terkait dengan soal adanya hubungan psikologis antara penonton dan negara dan/atau pemainnya? Dalam waktu yang sama, perhelatan pemilu kepala daerah (Pilkada) serentak di 171 daerah di Indonesia tanggal 27 Juni 2018 yang telah lalu juga menyisakan berbagai kejutan, kekecewaan, dan sekaligus harapan baru bagi mereka merasa tidak mendapatkan “nilai tambah apapun” selama lima tahun berjalan dari gaya dan kepemimpinan para petahana. Peta politik yang menggambarkan 2018 ini pilkada serentak serasa Pilpres di 2019 pun mengalami pergeseran. Berbagai analisis pun bermunculan. Ada yang memposisikan berhadap-hadapan antara RI-1 dengan Partai Politik pengusungnya, yang spekulasinya RI-1 yang sudah dideklarasikan “pencalonannya” pada pilpres 2019 pun, membuat “route dan skema baru” koalisi dan kemitraaan parpol, akibat Parpol pengusung ini jagonya bertumbangan di berbagai daerah. Sepertinya antara politik di Indonesia dan sepakbola dunia ini, “menggelinding” seperti bola bundar yang kadang bisa liar, tak terprediksikan dengan akurat, dan para “jagoan dan idola” pun yang biasanya dielu-elukan, belakangan menjadi sasaran “ejekan dan cacian”, sebagaimana illustrasi gambar yang diposting di berbagai media sosial tersebut. Politik dan sepak bola tampaknya punya sisi “irasionalitas” bagi para penonton dan pengidola figur dan sosok yang diidolakan. Boleh jadi ini yang dinasehatkan oleh Al-Qur’an surat Al-Baqarah: 216, yang menggambarkan tentang “kewajiban perang waktu itu”. Tetapi yang lebih penting adalah pelajaran “jangan membenci sesuatu (berlebihan) boleh jadi itu akan baik buat kita, demikian juga sebaliknya, jangan mencintai sesuatu (berlebihan), boleh jadi yang dicintai berlebihan itu sesungguhnya tidak baik bagi kita”. Dalam berpolitik juga demikian. Hukum sejarah yang akan berjalan sebagai sunnatuLlah. Kekuasaan itu milik Allah, diberikan kepada yang dikehendaki-Nya. Ada yang dengan “keangkuhannya” dan sudah menebar sikap intoleransinya akibat kepongahannya dalam kekuasaan itu, akhirnya rakyat cenderung melawan dan “menjatuhkannya” secara demokratis. Karena ketika ada seorang “gubernur” yang mestinya harus memposisikan diri sebagai “gubernurnya rakyat” ia menampakkan diri sebagai gubernur golongan atau suku tertentu, dan cenderung menghasut rakyat untuk merusak sendi-sendi dan nilai-nilai keharmonisan dan persatuan, maka Tuhan pun melalui rakyat “menistakan”-nya. Dalam perspektif inilah, adagium “suara rakyat suara Tuhan” atau “fox populi fox dei” itu menampakkan wujudnya. Seorang pemimpin mestinya mengayomi, melindungi, dan menjaga kehormatan semua rakyatnya. Tidak malah sebaliknya, memprovokasi, menganggap saudaranya yang sudah bertahun-tahun hidup berdampingan dianggap sebagai “penjajah” dan ini akan sangat membahayakan persatuan, kesatuan, dan kerukunan bangsa. Al-Qur’an mengintrodusir teori “mudawalah” seperti berikut: إِن يَمْسَسْكُمْ قَرْحٌ فَقَدْ مَسَّ الْقَوْمَ قَرْحٌ مِّثْلُهُ ۚ وَتِلْكَ الْأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَيَتَّخِذَ مِنكُمْ شُهَدَاءَ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ  “Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaaan dan kehancuran) itu akami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang berjman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada’. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim” (QS. Ali Imran: 140). Marilah kita ambil pelajaran perharga dari politik dan sepak bola. Bola itu sendiri bundar. Giliran perputarannya merata. Yang di atas juga pernah di bawah. Bagi yang idolanya kalah, biasa saja. Boleh jadi karena itu, Rasulullah saw menghindarkan diri dari pengkultusan individu, bahkan beliau digambar saja tidak berkenan. Ini bedanya dengan kita, termasuk yang menulis ini, masih sering tampil “narsis” dan mengunggah gambarnya, apalagi jika tampil di even yang “memamerkan diri” bahwa dirinya penting, yang sesungguhnya ia sadar bahwa kebiasaan tersebut, bisa menghadirkan komentar positif dan negatif sekaligus. Tetapi sebagai manusia biasa memang sah-sah saja, ingin tampil dan ingin dikenal. Sementara orang-orang hebat yang sudah sangat dikemal, justru ingin menyembunyikan diri dari keramaian, karena ia sudah capek dalam berbagai keramaian itu. Kita kembalikan pada diri kita masing-masing, semoga Allah memilihkan yang rasional dan kita tidak terlalu sentimental apalagi emosional dalam kekecewaan pada idola atau sosok yang kita idolakan. Allah a’lam bi sh-shawab. *) Penulis adalah Wakil Ketua PCNU Bandar Lampung/Dosen UIN Lampung 


Terkait