Warta

Koherensi Bahtsul Masail dan Sidang Isbat 12 Bulan Hijriah Jadi Pembahasan Seminar Istinbath Hukum Islam

Selasa, 1 Oktober 2024 | 09:30 WIB

Koherensi Bahtsul Masail dan Sidang Isbat 12 Bulan Hijriah Jadi Pembahasan Seminar Istinbath Hukum Islam

Seminar Bahtsul Masail metode penetapan awal bulan hijriah di Hotel Emersia Bandar Lampung, Senin (30/9/2024) malam. (Foto: Dian R/ NU Online Lampung)

Bandar Lampung, NU Online Lampung

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Prof Rumadi Ahmad menyampaikan keputusan keagamaan di berbagai tingkatan pada dasarnya adalah keputusan syuriyah.  Seperti contohnya Lembaga Bahtsul Masail (LBM) di tingkat Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) menggelar bahtsul masail, maka hasilnya adalah keputusan syuriyah. 

 

Pernyataan tersebut disampaikan pada seminar Istinbath Hukum Islam dan Bahtsul Masail Diniyah Metode Penetapan Awal Bulan Hijriyah di Hotel Emersia Bandar Lampung, Senin (30/9/2024). Kegiatan ini diikuti Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) dan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) 3 provinsi yaitu Lampung, Sumatra Selatan, dan Bengkulu. 

 

Acara itu juga dihadiri Wakil Ketua Umum PBNU KH Zulfa Mustofa, Ketua PBNU Fahmy Akbar Idries, Katib Syuriyah PBNU KH Muhyiddin Thohir, dan Rais Syuriyah A Wahid Zamas.  

 

Seminar Istinbath Hukum Islam ini bertujuan untuk menyosialisasikan Peraturan Perkumpulan Nahdlatul Ulama (Perkum NU) Nomor 7 Tahun 2024 tentang Pembahasan dan Penetapan Hukum atas Masalah Keagamaan dan Kemasyarakatan atau bahtsul masail. 

 

“Perkum ini secara khusus membahas mengenai kelembagaan syuriyah. Dan perkum ini juga merupakan hasil Musyawarah Nasional (Munas) dan Konferensi Besar (Konbes) NU, bukan peraturan PBNU,” ujar Rumadi. 

 

Dalam teknis pelaksanaan bahstul masail juga, jika di dalam forum tersebut telah ada jajaran syuriyah, maka sudah menjadi keputusan syuriyah. Namun jika tidak ada perwakilan syuriyah, maka wajib melaporkan bahtsul masail itu ke jajaran syuriyah NU. 

 

“Maka, kemudian keputusan tersebut akan menjadi keputusan organisasi dalam menjawab permasalahan keagamaan di masyarakat. Dengan adanya perkum ini juga untuk menghindari inkoherensi keputusan bahtsul masail,” katanya. 

 

Menurutnya, melalui perkum tersebut juga meminimalisir disharmoni dan disorganisasi yang kemungkinan adanya ketidak koherenan di berbagai tingkatan. Karena keputusan itu yang nantinya menjadi keputusan organisasi, maka keputusan bahtsul masail, baik dari tingkat MWCNU hingga PBNU pun harus koheren.

 

“Dalam forum bahtsul masail kita boleh berbeda karena pemikiran pribadi dan merupakan keluasan fiqih, akan tetapi setelah menjadi keputusan kita harus sama di persoalan yang menjadi permasalahan itu,” ungkapnya.  

 

Sementara itu, Wakil Sekretaris Lembaga Falakiyah (LF) PBNU, Ma’rufin Sudibyo menyampaikan, pada sesi ketiga membahas bagaimana konsep sidang isbat ke depan, karena pada saat ini sidang isbat belum memiliki landasan hukum positif. 

 

“Sidang isbat ini belum memiliki landasan perundang-undangan yang jelas, sehingga ke depan diharapkan memiliki kekuatan hukum yang legal untuk melaksanakan sidang isbat penentuan awal bulan hijriah,” ujarnya. 

 

Terkait hal itu juga, dalam pelaksanaannya menimbulkan berbagai masalah, untuk NU sendiri ikhbarnya sudah ditetapkan berdasarkan Muktamar tahun 1954, namun sidang isbat belum memiliki itu.

 

“Sidang isbat yang dilaksanakan pemerintah juga hanya 3 kesempatan yaitu penentuan awal bulan Ramadhan (awal puasa), Syawal (lebaran Idul Fitri), dan Dzulhijjah (lebaran Idul Adha),” tuturnya kepada NU Online Lampung, Senin (30/9/2024) malam. 

 

Ia melanjutkan, sementara 9 bulan lainnya tidak ada isbat, padahal jika NU harus merujuk ke sidang isbat, sementara isbatnya belum ada. Bahkan bisa jadi isbat sahnya karena hisab, itu yang tidak boleh dipedomani. 

 

“Maka ini kemudian masalah yang bagaimana cara menjembataninya dengan pemerintah, atau kemudian NU bisa menyampaikan isbat atau pengumumannya sendiri melalui ikhbar setiap awal bulan hijriyah seperti biasanya,” katanya.