Warta

Jabatan, Ujian, Dan Pertanggungjawaban

Selasa, 14 Mei 2019 | 10:45 WIB

Oleh: Rudy Irawan, M.S.I. (Wakil ketua PCNU Bandar Lampung, dosen Tarbiyah UIN Lampung) Rasulullah saw mengingatkan kita, agar kita tidak terkena penyakit waham, yaitu besar angan, cinta harta, dan tidak suka pada kematian atau takut mati. Ketika umat sudah terkena serangan penyakit tersebut, maka ia akan dengan mudah menggadaikan iman dan dengan sangat mudah terjebak dalam prilaku yang tidak sesuai dengan ajaran agama. Para leluhur kita menasihati dan mengatakan : “Jadikan harta cukup di tanganmu saja, jangan di hatimu”. Ini dimaksudkan, apabila kita hanya menempatkan harta cukup di tangan saja, maka kita akan dengan mudah memberi orang lain, mudah bershadaqah untuk kepentingan umum, dan mudah meletakkannya di tengah kesibukannya untuk beribadah kepada-Nya. Namun apabila harta sudah sampai tersimpan dalam di lubuk hati, maka pasti akan terasa berat sekali untuk mengeluarkannya di jalan Allah, berat juga meninggalkannya saat adzan berkumandang. Itulah sebabnya, banyak manusia terjangkit penyakit yang sangat berpotensi mematikan iman dan menghancurkan akidah, yakni “Hubbu d-dunya wa karahiyatu l-maut” (cinta berlebihan terhadap dunia dan takut mati.” (HR Abu Dawud). Dalam versi lain, dinyatakan “Hubbu l-mal wa l-jah ra’su kulli khathi-ah” artinya “cinta harta dan jabatan adalah biang dari kekeliruan/kesalahan”. Tidak mudah memang, namun setidaknya, apabila kita masih ingat akan nasihat bijak ini, kita akan lebih berhati-hati. Sebenarnya manusia mencintai harta itu adalah bagian dari tabiatnya. “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanaita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan binatang-binatang ternah dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembai yang baik (surga)” (QS. Ali ‘Imran (3): 14). Para mufassir menafsirkan bahwa dijadikan tampak baik, mencintai hal-hal yang diinginkan, wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan binatang-binatang ternah dari unta, sapi, dan kambing, dan sawah ladang untuk ditanami dan pertanian. Yang demikian itulah bunga-bunga kehidupan dunia dan perhiasan yang fana. Allah lah sebaik-baik tempat kembali dan pemberi pahala, yakni surga. Menariknya, adalah banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an yang memberikan warning kepada manusia, agar kekayaan itu tidak melalaikan kita dari berdzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Misalnya QS. al-Munafiqun (63), 9: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah melalikan kamu harta-hartamu dan anak-anakmu dari ingat (berdzikir) kepada Allah, barang siapa mengerjakan yang demikian, maka mereka itulah orang-orang yang sesat”. Rasulullah saw pun melarang pada umatnya untuk tidak meminta jabatan. Karena apabila seseorang menjabat karena meminta, maka akan berat terasa beban dari jabatan tersebut. Namun apabila seseorang diberi jabatan tidak karena meminta, maka Allah akan membantu, menolong, dan meringankan pelaksanaan amanat jabatan tersebut (Riwayat Bukhari dan Muslim). mengingatkan akan sejarah Khalifah ‘Umar ibn Abdul ‘Aziz ra cucu Sayyidina ‘Umar ibn al-Khaththab ra. Beliau itu pada awal mendapat “wasiyat” dari Khalifah sebelumnya, menangis, dan menyatakan keberatannya, karena tidak dipilih oleh rakyat banyak. Karena itu beliau mengembalikan, biar rakyat banyak yang memilihnya. Namun saat itu juga, karena rakyat sudah mengenal dan memahami rekam jejak beliau, rakyat secara aklamasi memilih beliau sebagai khalifah. Referensi yang saya baca, beliau hampir setiap malam menangis sedu sedan. Ketika ditanya isteri beliau, “mengapa suamiku hampir setiap malam menangis?” Beliau menjawab: “Saya takut nanti di akhirat akan dimintai peranggungjawaban rakyat yang hidup dalam kekurangan, baik dari anak-anak maupun para janda yang ditinggal mati suaminya. Sementara mereka memohon kesaksian pada Rasulullah saw”. ‘Umar ibn Abdul ‘Aziz (2 November 682 -4 Februari 720). Beliau adalah khalifah yang berkuasa dari tahun 717 (umur 34–35 tahun) sampai 720 (selama 2–3 tahun). Meski masa kekuasaannya relatif singkat, 'Umar bin 'Abdul 'Aziz merupakan salah satu khalifah yang paling dikenal dalam sejarah Islam. Dia dipandang sebagai sosok yang saleh dan kerap disebut sebagai khulafaur rasyidin kelima. Kekayaannya pun dari awal menjabat dan selesai menjabat, mengalami penyusutan 90 persen. Sampai-sampai dalam kitab Tarikh Baghdad karya Al-Khathib al-Baghdady, disebutkan bahwa pakaian hingga akhir hayat beliau, hanya selebar yang dikenakan. Ada sahabat belkiau yang beberapa kali menjenguk, sempat “agak marah” dan menanyakan kepada isteri beliau, “kamu sebagai isteri itu bagaimana, pakaian suamimu tidak pernah ganti”. Istri beliau menjawab, “Demi Allah suami saya tidak mempunyai akaian ganti, kecuali hanya dikenakannya itu”. Subhanallah. Jabatan adalah ujian dan pasti dimintai pertanggungjawaban. Yang tidak menjabat pun akan dimintai pertanggungjawaban. Yang jelas, para pejabat, pertanggungjawabannya lebih rumit, lebih lama, karena tugas dan amanatnya lebih besar. Maka para Ulama, ketika diberi jabatan, mereka tidak bersyukur, akan tetapi membaca tarji’, innaa liLlaahi wa innaa ilaihi raaji’uun artinya “Sesungguhnya kita ini hanya milik Allah, dan sesungguhnya kita kepada Allah akan kembali”. Ini dimaksudkan agar para pejabat, jalankan jabatan itu sebagai amanat dan laksanakan secara adil. Karena adil itu, dekat kepada taqwa. Dan taqwa itu adalah satu-satunya bekal paling berharga menghadap Allah ‘Azza wa Jalla. In uriidu illaa l-ishlaah maa istatha’tu wa maa taufiiqii illaa billaah. Allah a’lam bi sh-shawab


Terkait