Hubungan Agama dan Politik
Oleh: M. Misbahul Munir
(Alumni IAIM NU Metro Lampung)
AGAMA Islam tidak sekedar dihadapkan pada ruang ibadah saja. Dengan kata lain, Islam memberikan arahan-arahan berharga terhadap kehidupan manusia. Maka berkat spirit religius agama, roda kehidupan manusia menjadi terwarnai, bahkan grafik kehidupan manusia tampak lebih teratur dan harmonis, baik secara emosional maupun intelektual.
Peran agama di ruang lebih luas tidak hanya sebatas keyakinan semata (doktrin ideologi), namun jauh dari sekedar hanya itu, artinya agama juga ikut memperhatikan berbagai faktor yang menunjang kesejahteraan manusia, seperti ekonomi, sosial, politik, budaya, ilmu pengetahuan (sciens) dan lain sebagainya.
Faktor-faktor tersebut sudah ada takaranya dalam syariat Islam, tinggal manusia memaksimalkan fungsi akal untuk menggali dan intepretasi pada pundi-pundi Alquran dan Sunnah. Adapun dari sisi analisa sejarahnya, Islam punya hubungan yang tidak dinafikan, bahwa islam dekat dengan politik. Politik yang dimaksud spesifik dalam hal bernegara (wathoniyyah), yang semuanya diilhami oleh Alquran dan Sunnah, juga tidak terlepas dari ijma qiyas, sebagai referensi utama terciptanya sistem politik Islam.
Mendefinisikan agama secara komprehensif yang mampu merangkum semua aspek nampaknya menjadi suatu permasalahan yang pelik bahkan mustahil untuk dilakukan mengingat luasnya aspek yang terkandung dalam agama itu sendiri.
Nottingham menegaskan bahwa fokus utama perhatian sosiologi terhadap agama adalah bersumber pada tingkah laku manusia dalam kelompok sebagai wujud pelaksanaan agama dalam kehidupan sehari-hari dan peranan yang dimainkan oleh agama selama berabad-abad sampai sekarang dalam mengembangkan dan menghambat kelangsungan hidup kelompok-kelompok masyarakat.
Musyawarah adalah komponen penting dalam politik islam, yang berlaku untuk menjawab segala problematika masyarakat. Seperti pada masa Khulafaur Rasyidin, Abu Bakar RA. kerap membawa perkara-perkara masyarakat ke dalam Majelis untuk dimusyawarahkan bersama sahabat-sahabat yang lain. Begitu pula ketika ingin menetapkan sebuah aturan (undang-undang) baru.
Hal itu dilakukan oleh Abu Bakar manakala perkara yang muncul tidak disinggung oleh Nash Al Quran dan Sunah. Dari sini kita mengerti bahwa Islam telah menjalankan demokrasi jauh-jauh hari sebelum akhirnya ide itu muncul di Yunani. Al-Qurtubi, seorang mufassir mengungkapkan, ”Musyawarah adalah salah satu anjuran syariat dalam ketentuan hukum yang harus ditegakkan. Maka barang siapa yang menjabat sebagai kepala negara, tetapi ia tidak bermusyawarah dengan ahli ilmu dan agama (ulama) maka harus dipecat.
”Bentuk pelaksanaan musyawarah memang tak ada yang menjelaskannya. Nabi Muhammad SAW. Yang gemar bermusyawarah dengan para sahabatnya tak mempunyai pola dan bentuk tertentu. Sehingga, bentuk pelaksanaan musyawarah bisa disesuaikan dengan kondisi dan zaman umat Islam
Demokrasi sering diartikan sebagai penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, partisipasi dalam pengambilan keputusan dan persamaan hak di depan hukum. Dari sini kemudian muncul idiom-idiom demokrasi, seperti persamaan, keadilan, kebebasan, hak asasi manusia, dan sebagainya.
Demokrasi sebagai sistem berbasis politik praktis yang dicetuskan secara etimologi oleh peradaban barat sebenarnya memiliki corak hukum positif, menghubungkan setiap individu masyarakat pada sebuah tataran dan batasan yang sama sebagai komponen bangsa, tidak memberikan hak dan kewajiban yang berbeda antara satu dengan yang lain.
Isi dari ide demokrasi tak lain adalah buah pemikiran yang bersifat responsif terhadap lembaran aktual meskipun hanya berkisar pada filosofi dunia saja yang sekedar didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan dunia. Namun apabila demokrasi itu dipimpin oleh politik Islam akan menggandeng pesan-pesan Tuhan, dan yang paling penting demokrasi ala Islam menjangkau dua dimensi, dunia maupun akhirat.
Bekal menuju akhirat cuma tersedia di dunia, mengatur, menyeimbangkan dan membuat sinkronisasi terhadap arahan-arahan Tuhan, adalah hal yang wajar, karena urgensi turunnya manusia di dunia agar dapat menyesuaikan diri di dunia tapi tidak melepas dan melupakan kewajibannya kepada Tuhan.
Hubungan politik dengan agama tidak dapat dipisahkan. Dapat dikatakan bahwa politik berbuah dari hasil pemikiran agama agar tercipta kehidupan yang harmonis dan tentram dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hal ini disebabkan, pertama, oleh sikap dan keyakinan bahwa seluruh aktifitas manusia, tidak terkecuali politik, harus dijiwai oleh ajaran-ajaran agama; kedua, disebabkan oleh fakta bahwa kegiatan manusia yang paling banyak membutuhkan legitimasi adalah bidang politik, dan hanya agamalah yang dipercayai mampu memberikan legitimasi yang paling meyakinkan karena sifat dan sumbernya yang transcendent.
Di dalam sejarah Islam, masuknya faktor agama (teologi) ke dalam politik muncul ke permukaan dengan jelas menjelang berdirinya dinasti Umayyah. Hal ini terjadi sejak perang Siffin pada tahun 657, suatu perang saudara yang melibatkan khalifah ‘Ali Bin. Abi Talib dan pasukannya melawan Mu’awiyah Bin Abi Sufyan, Peristiwa ini kemudian melahirkan tiga golongan umat Islam, yang masing-masing dikenal dengan nama Khawarij, Syi’ah, dan Sunni.
Dalam kehidupan bernegara, bidang politik sangat diperlukan. Namun semua ilmu yang berhubungan dengan politik tidak dapat dipisahkan dengan ilmu dan konsep agama yang telah ada.
Pada agama ada suatu kalimat yang membuat dan merupakan konsep awal politik yaitu “Allah memerintahkan kepada manusia untuk tidak mendekati perbuatan-perbuatan keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi (QS Al An’am. :151)”. Jjadi Allah melarang perbuatan jelek, perbuatan jahat dan ketidakadilan. Ini dapat diartikan bahwa semua ilmu politik merupakan bentuk nyata dari penggunaan agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sebagai contoh, dalam ilmu politik terdapat pemilihan pemimpim berdasarkan demokrasi, konsep itu didapat dari ilmu agama yang tidak menginginkan adanya perpecahan para pejabat yang akan menyengsarakan rakyat. Dan masih banyak lagi yang merupakan konsep dalam agama dan diadaptasi serta di jadikan politik dalam berbangsa dan bernegara.
Jadi, esensi politik dalam pandangan Islam adalah pengaturan urusan-urusan rakyat yang didasarkan kepada hukum-hukum Islam. Adapun hubungan antara politik dan Islam secara tepat digambarkan oleh Imam al-Ghajali: “Agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan runtuh dan segala sesuatu yang tidak berpenjaga niscaya akan hilang dan lenyap”.
Abu Hamid Al Ghazali pernah mangatakan, bahwa tuntutan agama belum bisa dicapai secara sempurna jika tatanan dunia belum siap. Dengan kata lain keduanya memiliki relasi yang saling menghubungkan Kewajiban ibadah misalnya, dengan menjalankan ibadah salat, puasa dan pergi ke tanah Haram untuk haji, semuanya bisa dilaksanakan secara sempurna jika fisiknya sehat, tempat tinggalnya layak, makanan dan keamanannya memadai. Seluruhnya diatur dalam keseimbangan yang sama dalam rangka menciptakan kehidupan dunia yang harmonis dan mencapai cita-cita akhirat yang mendapat lisensi ridho dari Allah SWT.
Politik praktis oleh Islam tidak dipandang sebagai sesuatu yang tabu bahkan asing, namun hal yang harus dilakukan atas sebuah keharusan untuk manajemen kehidupan dunia. Islam sangat akrab dengan kegiatan politik sejak zaman Nabi dan masa setelahnya.
Sebuah pelajaran berharga yang dapat diambil dari seluruh perjalanan politik nabi dan kebijakan para Khulafaur Rasyidin adalah bagaimana umat Islam mengonsepsikannya sebagai sebuah kebijakan yang secara substansial tidak bertolak belakang dari ajaran syariat. Adapun praktek negara dan sistem yang dipakainya tidak perlu menggunakan nama aliansi keislaman, bukan nama atau simbol yang diharapkan, tapi muatan dan unsur kandungannya yang bisa sepihak dengan tujuan dalam berbagai manfaat dalam kehidupan manusia. Wallahualam. (*)