Warta

Sabun Mandi Poligami

Senin, 9 Oktober 2017 | 09:07 WIB

SUATU ketika Kiai Hamid Pasuruan kedatangan tamu, kebetulan di waktu tersebut ada dua rombongan tamu, yang pertama adalah seorang lelaki dari kota Pasuruan yang datang sendirian dengan tujuan untuk meminta pendapat bagaiman kalau ia menikah lagi. Sedangkan yang lain adalah rombongan dari luar kota dan kedatangan rombongan tersebut hanya untuk bersilaturrahim. Kiai Hamid adalah seorang Auliya’illah yang diberi keistimewaan mengetahui tujuan para tamunya. “Oh, sampean tah iku mau… tak kiro sopo. Sek yo sampean enteni diluk aku tak nemoni sing akeh disek, sak aken teko adoh.” (Oh, kamu to iku … Saya kira siapa tadi. Sebentar ya, saya menemui rombongan tamu dulu, kasihan datang dari jauh)," ujar Kiai Hamid. “Enggeh kiai”. Akhirnya Kiai Hamid pun menemui tamu rombongan tadi. Kiai Hamid terlihat sangat akrab sekali sewaktu mengobrol dengan para tamu yang datang dari jauh tersebut. Seakan-akan beliau sedang mengobrol dengan teman yang telah lama tak pernah bertemu. Sedangkan tamu yang datang sendirian itu menunggu Kiai Hamid tepat di sebelah pintu. Setelah sekitar 20 menit laki-laki itu menunggu, akhirnya rombongan tamu itu meminta undur diri dan Kiai Hamid pun mengantarkan para rombongan tersebut hingga di depan gerbang pesantren. Setelah itu beliau langsung kembali ke rumah dan menemui lelaki itu. “Sek yo aku tak nang mburi diluk entenono… sing sabar,” (sebentar ya, saya mau ke belakang dulu… yang sabar ya),” ujar Kiai Hamid. Lelaki itu pun hanya bisa menganggukkan kepalanya. Ahinya tak lama kemudian Kiai Hamid keluar dengan membawa sebungkus sabun mandi baru. “Wes, sabun iki sampean gowo moleh gawien ados dino iki sampek entek. Mene sampean mbali’o mane yo!” (Sudah, sabun ini kamu bawa pulang, buat mandi hari ini sampai sabunnya habis. Besok kembali lagi!” kata Kiai Hamid sembari menyodorkan sabun tersebut kepada lelaki itu. “Enggeh, mator nuwon kyai… tapi…” (Terimakasih kiai…) Tapi…” Jawab lelaki itu tercekat seakan mau meneruskan pembicaraan tapi gak jadi. “Tapi opo…?! Wes moleho sek, sa’aken bojomu ngenteni neng omah, mene balik rene maneh yo.” (tapi apa..?! Sudah pulang dulu ya, kasihan istrimu menunggu di rumah, besok kembali lagi ya) tegas Kiai Hamid. Akhirnya lelaki itu pun pulang. Setibanya di rumah, lelaki itu langsung mandi menggunakan sabun yang dikasih oleh Kiai Hamid. Lelaki tersebut mandi sangat lama sekali. Ia menjalankan perintah Kiai Hamid agar menghabiskan sabun mandi itu. Lama-kelamaan lelaki tersebut merasa badannya menggigil kedinginan dan tak kuat lagi, sedangkan sabun yang diberi oleh Kiai Hamid itu juga tak kunjung habis ketika digosokkan di seluruh tubuhnya. Keesokan harinya lelaki itu kembali datang dengan membawa sabun yang diberi oleh Kiai Hamid. Ketika sudah memasuki kawasan Pondok Pesantren Salafiyah, lelaki itu melihat Kiai Hamid sedang berada di teras rumahnya. Lelaki itu pun langsung menghampiri Kiai Hamid. “Lah, iki… aku ngenteni sampean… yok op owes entek sabune?” (Lah, ini… saya tunggu kamu… bagaimana sabunnya? sudah habis?) tanya Kiai Hamid. “Niki kyai… sepuntene dereng telas…” (Ini kiai….. sabunnya… ma’af belum habis), jawab lelaki tersebut. “Anggepen ae sabon iku mau bojomu…, Wong siji ae gak entek-entek, ngono kate kawin maneh.” (sabun itu ibarat istrimu, satu saja tidak habis kenapa harus kawin lagi) tegas Kiai Hamid. Subhanallah…! padahal lelaki tersebut mulai kemarin belum mengutarakan isi hatinya, tapi sekarang langsung dijawab dengan tegas oleh Kiai Hamid. Dan lelaki tersebut betul-betul menjalankan nasehat Kiai Hamid untuk tidak menikah lagi. Dan hidupnya bersama keluarganya sangat bahagia dan sukses dalam bisnisnya. (Disarikan dari nahdlatul-ulama.org)